"Suami lo mana? Kenapa nggak ikut?"
Wardhani mengambil foto yang sudah tercetak di mesin dan menempelkannya pada salah satu lembar di buku KIA, kemudian menulis sesuatu yang bahkan Kana sendiri tidak bisa membacanya.
Nah, kan. Pertanyaan itu akhirnya muncul juga. Mau jawab apa dia?
"Lagi sakit," jawab Kana jujur. Lagipula, Rayan memang beneran sakit. Tapi, nggak tahu deh sekarang kondisinya gimana.
Wardhani hanya ber-oh ria. "Siapa orangnya?"
Haruskah dia berbohong? Kana juga sudah malas menyimpan bangkai terlalu banyak.
"Nanya-nanya mulu lo, kayak wartawan."
"Ya kali aja gue kenal."
Kana berdecak malas. "Rayan."
"Tetangga tengil lo itu?"
Rayan memang terkenal dalam lingkungan pertemanan Kana serta Ayara. Awalnya, bahkan Wardhani mengira bahwa Rayan juga merupakan bagian dari keluarga dua wanita itu; mungkin sepupu atau sejenisnya; karena saking seringnya melihat pria itu berada dalam jangkauan rumah keluarga Ayara.
"Ya emangnya siapa lagi? Tadinya gue mau nikah sama Afgan, eh malah nggak jadi."
"Jangan kebanyakan mengkhayal lo, nggak bagus buat kesehatan otak," sambat Wardhani. Pria itu memang selalu punya celah untuk menghardik mantan calon adik iparnya itu. Sebab ia tahu, Kana tidak terlalu mengambil pusing ucapannya yang kelewat pedas. "Lain kali kalau ke sini bawa suami, jangan sendiri, biar dia tau gimana repotnya ibu hamil."
Setelahnya, tiba-tiba saja Wardhani meraih lengan atasnya, menatap sebentar, lalu kembali melepas. "Tanpa gue ukur lingkar lengan lo pun, gue yakin lo kasuk kategori Kekurangan Energi Kronis (KEK). Perasaan makan lo kan kayak babi. Kenapa sekarang jadi kurus begini, dah? Cacingan lo?"
"Bakat kurus, berisik lo."
Wardhani berdecak. "Ditingkatkan lagi asupannya. Susu sebenernya nggak wajib, tapi kalau lo nggak enek, boleh diminum 1-2 kali sehari. Boleh banyak cemilin buah, kurangin makan makanan instan, kurangin aktivitas berat, jangan stres, dan yang paling penting; perut lo nggak boleh dipijet. Awas lu kalau dipijet."
"Emangnya gue sedongo itu apa sampai ngelakuin pijet perut?"
"Ya kan dongo lu kadang suka kelewatan."
"BANGS—"
"Syuh! Syuh! Syuh! Ayo! Ibu hamil nggak boleh misuh, hehehe." Wardhani tertawa mengejek. "Nih, setiap periksa, buku pinknya dibawa. Nggak wajib harus di dokter kandungan terus, di Bidan terdekat bisa. Rajin-rajin periksa kandungan. Mulai sekarang bisa setiap sebulan sekali atau dua kali. Tapi nanti pas masuk ke trimester tiga mulai dirajinin, sekalian USG lagi biar tau posisi kepala sama jumlah cairan ketuban. Ck. Kok bengong? Lo dengerin gue nggak sih?"
"Eh, iya, Bang."
Wardhani memandang wanita yang usianya delapan tahun lebih muda darinya, yang ia anggap sebagai adik sendiri walaupun sudah tidak ada lagi hubungan dengan kakak si wanita. Kalau diperhatikan, dibanding dengan tingkat pemahaman, cara Kana melamun lebih ke arah sedang memikirkan suatu hal; entah apa. Bertemu dengan ribuan pasien membuatnya sedikit-banyak dapat memahami berbagai macam karakteristik.
"Lo belum siap sama kehamilan lo sekarang?"
Pandangannya beralih, beradu pada netra Wardhani yang sepertinya sedang mencari jawaban untuk pertanyaannya sendiri. Setelahnya, pria itu justru menghela napas panjang saat jeda tercipta di antaranya.
"Kana, anak itu amanah dan anugerah; begitu pula untuk jadi seorang ibu. Nggak gampang bawa perut besar ke mana-mana, beraktivitas juga semakin lama bakalan sulit. Gue nggak tahu lo lagi ada masalah apa sampai beberapa kali lo kelihatan ngawang sendiri. Sekarang, di kandungan lo ada satu nyawa, apa yang dirasain sama ibunya, bakalan dirasain juga sama anaknya. Ingat, refleksi anak itu sebagian besar berasal dari ibunya. Banyakin bahagianya, jauhin stres. Kalau lo kuat, bayi lo juga akan kuat."
"Aduh, gue geli kalau denger lo lagi serius, hehehe."
"Et, ini bocah!" Wardhani berdecak. "Kalau dibilangin pasti ngeyel. Dah, ada yang mau ditanyain nggak?"
"Nggak."
"Apaan tuh kayak gitu? Nggak betah lo diperiksa sama gue?"
"Tuh tau."
"Puppy memang kau ya," Wardhani menggeram, membuat Kana cengengesan. Wardhani tetaplah Wardhani yang suka berkata kasar, walau sudah dibentuk dalam bahasa halus. "Nih, resep vitamin. Jangan lupa diminum, ditebus di apotek bawah."
"Oke."
"Pulang sendiri?"
"Lah emangnya lo daritadi ngeliat gue bawa orang ke sini?" balas Kana sewot.
"Oh iya, bego juga pertanyaan gue."
"Tuh tau."
***
Satu kondisi yang menyergap saat memasuki unit apartemen yaitu; senyap. Akan tetapi, bukankah memang akan selalu seperti itu?
Sepatu yang masih tak tergeletak rapi di dekat pintu menandakan penghuni lainnya masih berada di unit apartemen. Entah sedang melakukan aktivitas apa, namun Kana tak dapat menangkap suara apapun dalam rungu selain langkahnya sendiri. Sesudah menaruh tas di dalam kamar, wanita itu memutuskan untuk memeriksa keadaan Rayan; barangkali pria itu mati, kan?
Bercanda. Nggak seru kalau mati duluan.
Pintu kamar yang sengaja tak ia tutup sepertinya masih dalam posisinya, menandakan si pemiliki kamar sama sekali tak keluar selama Kana mengurus kepentingannya. Setelah dilihat, nyatanya pria itu juga masih terlentang, menyembulkan kepalanya dengan selimut yang menutupi hingga mencapai leher. Kana semakin mendekat tatkala menyadari terdapat bulir-bulir keringat di pelipis pria itu, dan dia seperti sedang menggigil?
"Yan? Rayan?"
Guncangan pada bahu pun tak mampu membangunkan pria itu; hanya ringisan yang dapat ia dengar.
"Ayo ke rumah sakit, badan lo panas banget." Pria itu terus saja meringis. "Ayo, gue yang nyetir. Mau mati lo ampe panas kayak gini? Panas lo udah kayak uap neraka anjir," Kana menyentuh dahi Rayan. Biarpun kalimatnya lebay, tapi dia nggak bohong perihal panas yang dialami sang suami.
Rayan menepis tangan Kana, lalu memunggunginya. "Kalau gue mati, jangan lupa kubur di taman makam pahlawan."
"Ngawur!" Kana hampir saja ingin menempeleng batok kepala itu, kalau dia tidak ingat bahwasanya si pria sedang tidak berdaya.
Rayan yang mabuk alkohol dengan keadaan sakit memang hampir sama; sama-sama sering melantur aneh.
"Ayooo! Ke rumah sakit!"
Terpaksa, Kana mengibas lepas selimut yang dipakai Rayan hingga mencapai pinggangnya, membuat pria itu langsung bergerak layaknya ulat yang diberi garam; melingkar macam fetus. Kembali, dia meringis, lalu mencapai-capai ujung selimut untuk kembali menghangatkan diri. Dia kedinginan, tapi hawa tubuhnya terasa panas.
"Nggak mau disuntiiik, takut huhu mamaaa."
Sepertinya tingkat panas yang menyerang pria itu sudah mencapai sel otak, hingga membuatnya meracau macam anak kecil. Tapi Kana nggak heran, karena Rayan memang selalu begitu ketika sakit. Sering mengeluh tapi tidak mau diobati.
"Ya nanti bilang nggak usah disuntik, minta obat aja. Ayooo! Atau gue nyalain nih AC kamar lo?!"
"Nggak mau! Lo kan suka boong, tiba-tiba nyuruh dokternya buat nyuntik diem-diem. Dikira nggak sakit apa?"
Kana berdecak, sebal dengan sifat manja Rayan yang tidak pernah berubah ketika sakit.
***
![](https://img.wattpad.com/cover/176797081-288-k148810.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelakon Antagonis [Sudah Terbit]
Ficción GeneralSemua tak lagi sama, lebur seketika dalam satu kedipan mata. Demi mereka yang kusebut sebagai keluarga dan sahabat, aku rela mengoyak perih luka sendiri. ©astaghiri Sebagian cerita masih ada di wattpad, ya.