Kana membenci air mata, dan hari ini dia berhasil untuk tidak mengeluarkannya setitik pun. Baginya, air mata hanya dimiliki oleh orang yang lemah, sebab itulah dirinya tidak mau terlihat rapuh di mata orang lain. Cukup kemarin saja dirinya tampak lemah di hadapan Rayan. Dalam fase selanjutnya, walau perih terus saja menggerus luka terdalamnya, Kana akan berusaha sebaik mungkin untuk tetap berwajah tebal, menampakkan bahwa dirinya tetap bisa berdiri tegak dalam terpaan cacian.
Dirinya berpikir bahwa menjadi seorang antagonis tidaklah buruk. Hanya perlu bersikap tidak peduli saat mendapati caci maki, lalu semuanya beres. Pilihannya hanya ada dua, kan? Memikirkannya atau mengabaikannya, dan yang jelas Kana memilih opsi yang kedua. Terlihat lemah tidak akan pernah menguntungkan baginya, dia tidak ingin dikasihani oleh siapa pun, termasuk Rayan.
Keluar dari kamar mandi dalam keadaan helaian surai yang basah, dirinya terusik menatap Rayan yang kini terlelap dengan ponsel yang berada dalam genggamannya. Kana sadar, mungkin sudah lebih dari setengah jam dirinya berada dalam kamar mandi, melucuti segala keringat dan debu dalam pori-pori sembari melamunkan kehidupan selanjutnya; yang belum dapat ia ramalkan mengenai bagaimana takdir akan membawanya. Akankah berakhir bahagia? Atau bahkan dia akan kembali sendiri seperti dulu?
Helaan napas beriringan dengan langkah tungkai yang melaju menuju Rayan, menatap sejenak pria yang kini tampak mengeluarkan gurat gelisah walau dalam keadaan terlelap. Kana tahu, pasti Rayan sedang memikirkan Ayara yang menghilang entah ke mana. Dirinya sadar, bahwa penyebab semua kekacauan ini berasal darinya. Kana tidak menampik bahwa ia turut menarik Rayan dalam penderitaannya. Namun, memangnya dia tidak berhak mendapatkan kebahagiaan kendati hanya setitik debu? Kenapa orang-orang tidak ada yang berpihak padanya?
"Rayan," panggil Kana lirih. Bahkan wanita itu cukup merasa segan hanya untuk sekadar menyentuh ujung tuksedo yang masih dikenakan Rayan. Bukannya Kana sedang membuat batasan di antara keduanya, tetapi pria itu sendiri yang membangun tembok kokoh seakan keduanya tak pernah mengenal, hingga yang bisa Kana lakukan hanyalah menuruti segala apa yang dilakukan oleh suaminya kini.
Ya, Rayan sudah menjadi suaminya, kan?
Tapi, Kana berusaha untuk tahu diri. Status mereka boleh menjadi sepasang suami-istri, namun Kana tidak akan menuntut lebih dari itu. Merusak kebahagiaan kakaknya sudah menjadi suatu dosa besar yang pernah ia lakukan, dan dirinya juga sudah membuat perjanjian dengan pria yang masih terlelap itu bahwasanya semua akan berakhir ketika bayi dalam kandungannya telah menghirup udara dunia. Setelahnya, dia akan kembali menjadi asing untuk siapapun, seakan tidak pernah tersentuh dengan keluarga angkatnya atau bahkan Rayan sendiri.
"Bangun, Rayan."
Dengan nada setingkat lebih tinggi, pada akhirnya si pria membuka kelopak matanya yang sipit, terganggu dengan terang lampu dalam ruangan. Dirinya bahkan sempat terkesiap saat menemukan Kana tepat di hadapannya, bukannya Ayara, dan sesaat dia baru tersadar bahwa seseorang yang dirinya nikahi adalah sahabatnya sendiri.
Oh, shit happens.
"Giliran lo yang mandi, gue udah selesai."
Setelahnya, Kana beranjak, menggosok-gosok handuk pada helaian rambut, melangkah menjauh dan tidak memedulikan apakah Rayan akan membalas ucapannya atau tidak. Balik pada peraturan awal yang sudah keduanya setujui, menjadi antagonis akan lebih mudah dibandingkan seorang protagonis dan menerima penyakit hati lebih awal. Toh, keduanya saling menggores hati satu sama lain. Perbedaannya, hanya terletak pada waktu saja dan bagaimana pandangan orang lain terhadapnya.
Dirinya sempat menghentikan langkah saat suara pintu yang tertutup mampir ke dalam rungu, yang berarti Rayan sudah masuk ke dalam kamar mandi. Lagi, Kana menghela napas saat melihat koper Rayan yang masih teronggok rapi di sudut ruangan, pertanda bahwa pria itu tidak membawa apa pun ke dalam kamar mandi.
Sebagai seorang istri yang berpanut dalam janji omong kosong di hadapan pendeta, Kana mempersiapkan kebutuhan sandang sang suami dan meletakkannya di atas ranjang. Usai itu, dirinya memilih untuk meringkuk dalam sofa yang untungnya cukup dimuati untuk daksanya yang lumayan semampai. Hingga secara tak sadar, hormon melatonin mulai mengalir dalam peredaran darah, mengatur ritme sirkadian pada tubuh hingga pada akhirnya wanita itu terlelap, melupakan sejenak perihal kisah menyedihkan yang ia alami hari ini.
Sementara pada dinding lain, Rayan membersihkan tubuhnya dalam diam. Hanya Ayara yang ia pikirkan saat ini, dan dirinya cukup pusing untuk memikirkan di mana keberadaan sang kekasih. Bahkan, mungkin saat ini Rayan hanya memerlukan mendengar pita vokal Ayara, sehingga dirinya bisa memastikan bahwa wanita itu sedang baik-baik saja kendati sembilan puluh persen berada dalam keadaan yang tidak memungkinkan. Setidaknya, Rayan akan meyakinkan Ayara bahwa semua yang ada dalam dirinya hanya milik wanita itu, tidak untuk seorang Kana walau kini status mereka sudah sah dalam negara dan agama.
Usai membersihkan diri, Rayan keluar dengan jubah mandi yang membalut tubuh, karena dirinya memang tidak sempat berpikiran untuk mengambil pakaiannya yang ternyata sudah disiapkan oleh Kana di atas ranjang. Korneanya sempat bolak-balik menatap Kana yang memilih meringkuk dalam sofa serta pada pakaiannya yang tersusun rapi di ranjang.
Dirinya sempat ingin menghampiri wanita tersebut, menyuruhnya untuk pindah. Namun, sejemang dua langkah yang dirinya ciptakan pun terhenti. Ayara kembali terbayang dalam pikiran, hingga niatnya pun ia urungkan. Pria itu kembali melangkah untuk mengambil pakaian dan mengenakannya di dalam kamar mandi.
***
Selelah apa pun, tertidur pada sofa yang empuk tidak akan memberikan kenyamanan dalam jangka waktu yang lama. Bahkan, rasanya Kana tidak mengubah posisi tubuhnya saat terlelap, kendati kini kondisi ruangan sudah menggelap; pertanda bahwa daksa lain juga tengah ikut mengarungi mimpi di ranjang lain. Diubahnya posisi memunggungi sandaran sofa, menemukan daksa Rayan yang terlelap miring, membelakanginya. Namun Kana tahu, pria itu belum tertidur sebab tampak dari pendar cahaya pada daerah kepalanya yang menandakan bahwa pria itu masih memainkan ponselnya.
"Belum tidur?"
Kana hanya berbasa-basi, yang sejujurnya tidak dirinya perlukan.
"Belum," balas Rayan, tetap pada posisinya.
"Lo nyesel, Yan?"
Sejujurnya, pertanyaan itu ingin dirinya munculkan setelah pendeta mengesahkan mereka dalam mata agama, yang mengingatkan pada Rayan bahwa saat ini mereka sudah berstatus suami-istri. Dan kesempatannya baru bisa ia lakukan saat ini, di saat tidak ada orang lain; hanya mereka berdua.
Namun, pertanyaan itu pun hanya mengambang dalam udara, entah terserap dalam rungu pria itu atau tidak. Tapi, Kana tahu jelas bahwa Rayan mendengarnya. Tuli bahkan bukan menjadi alasan tatkala hanya ada keheningan dalam ruangan.
Dan sebenarnya, tanpa perlu mendengar jawaban dari bibir Rayan pun, segalanya sudah dapat dijelaskan secara gamblang.
Keterpaksaan mengudara dalam senyap.
***
![](https://img.wattpad.com/cover/176797081-288-k148810.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelakon Antagonis [Sudah Terbit]
General FictionSemua tak lagi sama, lebur seketika dalam satu kedipan mata. Demi mereka yang kusebut sebagai keluarga dan sahabat, aku rela mengoyak perih luka sendiri. ©astaghiri Sebagian cerita masih ada di wattpad, ya.