Kegelapan mendominasi di dalam ruangan, menyisakan setitik redup cahaya rembulan melewati tirai yang tidak sepenuhnya menutupi sisi jendela. Dalam pendar cahaya yang teduh, bayangan hitam pun masih tercipta kendati tampak samar menyelimuti satu insan yang sedang berpeluk dengan kegelisahan. Lewat kuku-kuku jemari, dirinya melampiaskan kelesah di setiap gigitannya. Kendati rasanya perih, dirinya tak menyadari bila aktivitas tersebut kini meninggalkan bekas luka kemerahan di ujung jemari.
Ketukan pelan pada pintu menginvasi rungu, sejenak dapat menghentikan resahnya yang terus saja menggerogoti. Akan tetapi, dirinya memilih untuk membisu kendati kedua netranya sudah melekat pada pintu yang masih tertutup rapat; menduga-duga siapa yang ingin menghampirinya.
"Kana?"
Tanpa perlu memunculkan wajah, Kana mengenali si pemilik suara. Dirinya hendak menyahut, namun baru menyadari bila isak tangis semalam turut meletihkan pita suaranya.
Tanpa menunggu si pemilik kamar sekadar menyahut panggilannya, pintu mulai terbuka perlahan. Celah yang tercipta memendarkan cahaya lampu dari luar hingga merambat mengenai sisi wajah Kana, yang membuat salah satu matanya menyipit sebab merasa begitu asing dengan kilap lampu yang menyerang matanya begitu cepat.
Setelahnya, satu kepala menyembul dari balik pintu, memastikan untuk meminta izin terlebih dahulu sebelum benar-benar masuk ke dalam ruangan untuk menemui si wanita.
"Gue masuk, ya?"
Agaknya, Kana dapat merasakan kelegaan dalam hati, sebab pria yang menyandang sebagai sahabat tersebut sepertinya datang untuk melimpahkan segala dukungan padanya. Setidaknya, itu yang dapat dirinya yakini.
Rayan sudah masuk ke dalam dan segera menutup pintu, tidak ingin mengganggu temaram kelam dalam ruangan yang dirinya yakini akan mengganggu penglihatan Kana. Pria itu sangat tahu bahwa sahabatnya tidak menyukai cahaya; baik itu matahari ataupun lampu, yang membuat kulitnya semakin tampak pucat. Walau kegelapan ini lumayan menyakitkan penglihatannya untuk memantapkan fokus, setidaknya Rayan masih bisa menatap sang sahabat, melihat jejak pipinya yang sembab; yang agaknya juga membuat hatinya meringis, apalagi setelah mendengar penjelasan dari Ayara. Tak peduli dengan kecepatan mobilnya yang terus saja dirutuki dengan sahutan klakson di jalan raya agar bisa bertemu dengan Kana secepat mungkin.
Pria itu duduk di pinggir ranjang, sedikitnya dapat membuat tubuh Kana memantul pelan. Diraihnya salah satu tangan tanpa ada penolakan keras; bahkan cenderung terkulai lemas layaknya tak memiliki nyawa. Ibu jarinya membentuk pola melingkar di punggung tangan sang lawan jenis, memberi afeksi yang dapat dimengerti oleh keduanya.
"Udah makan?"
Pertanyaan yang cukup sederhana, tapi dapat membuat Kana bernapas nyeri, menyimpulkan bahwa Rayan masih bersikap sama pada keadaan yang sudah jauh berbeda. Setidaknya, dia memiliki Rayan, walau hanya Rayan; untuk saat ini, tidak tahu bagaimana ke depannya.
"Mana bisa?" Sekian lama membisu, itu kalimat pertama yang ia ucapkan hari ini. Selebihnya, Kana menghabiskannya dengan merenung dan juga menangis, bergelung di kamar tanpa ada yang menanyakan keadaannya. Lapar bahkan tidak menjadi prioritas. Memangnya, siapa yang bisa mementingkan perih asam lambung yang merambat menuju esofagus saat berada dalam kondisi terpuruk seperti ini?
"Jangan egois, pikirin bayi lo juga, dia butuh makan. Kalau lo nggak makan, bayi lo dapet nutrisi dari mana?"
Hela napas kembali mendominasi. Kana tahu, apa yang dilakukan olehnya merupakan sebuah kebodohan, dan juga dosa besar. Tidak memenuhi kebutuhan asupan diri sama saja ikut serta membunuh janinnya secara perlahan, walau dirinya sama sekali tidak memiliki niatan untuk melakukan hal itu.
"Sekarang, lo punya rencana apa?"
Afeksi pada usapan ibu jari Rayan berubah, berganti dengan mengeratkan genggamannya pada semua jemari. Pandangannya ikut menggelap, karena pada dasarnya dia juga membenci musibah—atau lebih tepatnya kesialan—yang dialami oleh sahabatnya.
Oh, Kana tidak tahu saja bahwa saat Ayara menceritakan hal ini padanya, pria itu ingin segera menarik Javas menuju neraka.
"Javas kabur?" Rayan kembali mencerca. Sejujurnya, dia kurang—bahkan cenderung tidak—menyukai pria brengsek yang merupakan kekasih Kana dua tahun belakangan itu, yang membuatnya juga sedikit mengurangi intensitas bertemu dengan sahabatnya ini—apalagi beberapa minggu lagi Rayan dan Ayara akan melangsungkan pernikahan. Tapi, setelah sekian lama, mereka kembali bertemu dengan kondisi yang tidak diharapkan keduanya. "Di mana Javas sekarang?"
"Emangnya lo mau ngapain kalau tau Javas ada di mana?"
"Dia harus tanggung jawab. Apalagi memangnya?"
Kana mengempas tangan Rayan, lalu memutus netra dengan memalingkan wajah ke arah lain. "Ke laut. Cari aja sendiri sana."
"Ck. Kana—"
"MANA GUE TAU, BANGSAT!"
"Kana!" Rayan memegangi kedua lengan wanita itu, mencoba mengatur tantrum yang sebenarnya sering Rayan terima. Kana memang tidak bisa mengontrol emosinya, apalagi wanita itu agaknya memang ringan tangan hingga Rayan sering dijadikan samsak bernyawa. Tapi kali ini kondisinya lain, Kana butuh berhati-hati saat berbicara. "Inget, saat ini ada calon bayi di perut lo, jaga ucapan lo. Paham?"
"Tau apa sih lo?" Lagi, Kana tidak mau disentuh barang seujung kuku pun. Dia hanya tidak mau mendengar ceramah dari siapapun, termasuk Rayan yang Kana kira bakalan berada di pihaknya.
"Kasih tau gue Javas ada di mana. Alamat rumahnya, kant—"
"JANGAN SEBUT NAMA DIA DI DEPAN GUE! PERGI LO, SANA! PERGI!"
Rayan tidak kehabisan akal, dia langsung menarik daksa Kana yang sempat memberontak, pukulan pun tak elak didapatnya—yang manakala bogemannya terasa tidak main-main, apalagi jika pukulannya menghantam dada. Tetapi Rayan tahu, Kana sedang merasa frustasi, barangkali cercaan pertanyaannya tadi sangat mengusik mentalnya. Di sisi lain, Rayan juga ikutan geram. Dia tidak sudi apabila sahabatnya ini ditinggalkan begitu saja—walau Rayan lebih berharap ada orang lain yang mau mengambil tanggung jawab terhadap wanita di pelukannya dibanding harus bersama Javas.
Setelah dirasa tantrum Kana mulai menyusut, Rayan menepuk pelan punggung wanita itu, mengela napas berkali-kali seakan turut alur merasakan kesedihannya. Tapi dia benar-benar kesal, ingin melampiaskan bogem mentahnya pada si brengsek yang bahkan tidak diketahui keberadaannya.
"Kana, sebentar lagi gue nikah sama Ayara, kita bakal jadi ipar. Gue juga mau lo ngerasain kebahagiaan gue. Kita cari jalan keluarnya, oke? Jav—" Rayan menggeram, bahkan sekadar melafalkan nama itu di lidahnya terasa haram, "terserah, apapun keputusan lo selanjutnya, akan gue dukung, hm? Jangan pernah berpikiran kalau lo sendirian. Ada gue."
Kana masih membisu, deru napas yang ia hela semakin menyakiti rongga paru-paru. Dilepasnya lengan Rayan dari daksa, menatap lurus si pemilik netra teduh.
"Lo mau gue bahagia?"
Pertanyaan yang sejujurnya tak memerlukan jawaban, namun Rayan mengangguk pelan sebagai balasan. Kana memang menyebalkan, tapi Rayan juga sama menyebalkan baginya. Mereka membutuhkan satu sama lain, bagai fraternal yang tak bisa berpisah jauh. Pria itu sudah menganggap Kana sebagai adik kandungnya sendiri.
"Kalau begitu, nikahin gue."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelakon Antagonis [Sudah Terbit]
Ficción GeneralSemua tak lagi sama, lebur seketika dalam satu kedipan mata. Demi mereka yang kusebut sebagai keluarga dan sahabat, aku rela mengoyak perih luka sendiri. ©astaghiri Sebagian cerita masih ada di wattpad, ya.