[5] I'm Fine, I said.

2.1K 211 19
                                    

Tidak memiliki niat untuk berpindah daksa pada tempat yang lebih nyaman dalam mencapai lelap, Kana masih melengketkan daksa di sofa. Seandainya saja lampu bisa dimatikan hanya dalam sekali tepukan atau yang lebih canggih lagi hanya dengan sinyal bicara, dirinya tak perlu bersusah diri hanya untuk menghampiri saklar lampu dan mematikannya, sebab pada dasarnya dia memang membenci cahaya.

Kali ini, dirinya membiarkan terlelap dengan ditemani cahaya lampu ruangan, sebab rasa lelahnya akan kegiatan hari ini sudah mampu mencipta arung mimpi dalam waktu sekejap setelah kepergian Rayan.

Kepulangan Rayan bahkan tak perlu diharapkan, karena Kana dapat memastikan bahwa pria itu tidak akan kembali. Hanya ada dua kemungkinan yang akan dilakukan oleh Rayan; yaitu si pria yang akan terus mencari keberadaan Ayara hingga fajar menyongsong, atau saat dirinya sudah menemukan Ayara; tentu saja pria itu akan menemani kekasihnya.

Memangnya Kana ini siapa kendati wanita itu sudah berstatus seorang istri bila saja memang dari awal tidak pernah diinginkan? Akan terkesan menggelikan bila Rayan sudah menemukan kekasihnya lalu memilih untuk kembali pada Kana; yang dirasa itu akan sangat mustahil.

Saat matahari bahkan sudah menggantikan peran bulan di langit, Kana mendapati remuk pada sekujur daksa akibat melanjut lelap pada tempat yang biasa digunakan untuk berduduk santai. Padahal ranjang besar di ruangan itu sangat luas dan tak memiliki empu, yang nyatanya bahkan sampai kini belum memunculkan entitasnya. Sementara itu, sebentar lagi mereka harus check out, yang menyebabkan Kana terpaksa membereskan segala barang seorang diri, termasuk milik pria yang kini sudah berstatus suami lebih dari dua puluh empat jam itu.

Usai membereskan segala barang yang bahkan sebenarnya mereka tidak melakukan apa pun untuk memberantaki kepunyaan masing-masing, membersihkan diri menjadi alternatif untuk menghilangkan rasa penat pada kepalanya. Bahkan walau saat ini dirimya merasa sedikit demam, berendam air hangat mungkin bisa ikut melenyapkan segala kelu pada tubuh, terutama pada sendi-sendi ototnya.

Sejemang Kana berpikir, ke mana dirinya setelah ini? Berpulang pada rumah orang tuanya bahkan tidak lagi bisa menjadi pilihan utama, sebab mereka sudah membuang dirinya sejak saat itu. Kana juga tahu diri untuk tidak lagi menampakkan diri di hadapan kedua orang tua angkatnya di saat bahkan setelah pemberkatan, dua paruh baya itu langsung pergi tanpa meninggalkan jejak.

Ah. Dia baru ingat, sesungguhnya lupa juga jika ia pernah mencuri dengar atau memang Rayan sendiri yang mengatakannya bahwa pria itu berencana tinggal dengan Ayara di apartemen yang Kana sendiri tidak mengetahui di mana alamatnya. Mungkin, dirinya bisa singgah di sana hingga menunggu kelahiran bayi yang bahkan belum membuncitkan abdomennya ini.

Melupakan kondisi dirinya yang tengah mengandung, Kana menarik sendiri dua koper miliknya serta milik Rayan menuju lobi. Kana bahkan sempat menolak pertolongan orang-orang di sana sebab dirinya memang merasa tidak membutuhkan bantuan. Toh, kopernya hanya berukuran sedang, dan isinya juga tidak terlalu banyak.

Setelah melakukan proses check out, wanita itu menunggu di lobi, hampir lupa mengabarkan Rayan bahwa dirinya sudah menyelesaikan proses administrasi perhotelan.


Kana

Gue udah check out.

Jemput gue ya. Gue di lobi.

Gue tunggu sampai lo dateng.


Menunggu merupakan hal yang paling wanita itu benci, bahkan walau dirinya sudah mengetahui alasan sang pria yang belum menampakkan batang hidungnya sampai saat ini. Namun, Kana mencoba untuk memaklumi, bahwasanya kepemilikan hati seorang Rayan memang hanya Ayara semata. Kana cukup tahu diri untuk tidak mengklaim si pria sepenuhnya.

***

Bergegas memasuki hotel yang semalam sempat dirinya tinggali walau hanya beberapa jam, Rayan mendapati Kana yang terduduk di sofa dengan kepalanya yang terkulai serta belah bibir turut sedikit terbuka. Tampaknya, Rayan mengakui bahwa dirinya sedikit keterlaluan ketika baru saja membaca pesan dari wanita itu saat menjelang petang akibat daya baterai ponselnya yang mati total entah sejak kapan.

Yah, keterlambatannya itu mungkin tidak sepenuhnya salah Rayan. Melupakan presensi Kana saat telah menemukan Ayara membuktikan bahwa wanita yang bersandang sebagai istri di dokumen kenegaraan itu memang bukan menjadi suatu prioritas baginya. Namun, Rayan tak mengakui terdapat perasaan bersalah kendati dirinya meninggalkan tanpa memberi kabar, bahkan sempat ingin mengabaikan karena dirinya tahu bahwa Kana paling benci menunggu. Kenyataannya, justru terpampang seperti ini.

Rayan hanya tidak memahami saja. Apa wanita itu sedang mencari perhatiannya? Sampai seperti ini?

"Kana."

Rayan mendengus, mendapati usaha pertama dalam membangunkan wanita itu tidak menampakkan hasil. Tatkala bahkan beberapa panggilan sepanjutnya tak berhasil membangunkan si wanita, kali ini Rayan menyentuh lengan Kana yang dirasa sangat kurus. Padahal, yang Rayan tahu, wanita ini sangat menggemari makan serta memiliki gen yang mudah untuk menggemuk.

"Kana, bangun."

Digoyangkannya lengan itu, hingga kepala yang tadinya terkulai kini mendongak lemah, membuka kelopak yang menampakkan gurat merah pada sklera, turut sempat mengulat sejenak untuk meregangkan otot. Lagi, tidur di sofa seempuk apa pun tidak akan pernah nyaman.

"Jam berapa?" Belum sempat menjawab, Kana kembali berbicara saat melihat keadaan luar lewat pintu kaca. "Ouh? Udah malem? Lama juga, ya."

Rayan merasa, kok, kalau dirinya baru saja disindir.

Tanpa memedulikan sarkastik sang wanita, Rayan beranjak menuju koper, menarik kedua tuas tersebut dengan Kana yang membuntuti di belakangnya.

"Yan, laper. Ayo makan dulu, gue belum makan dari kemarin."

Sejemang, Rayan menghentikan langkah, melayangkan raut amarah pada Kana yang bersikap santai dengan keteledorannya.

"Lo berniat ngegugurin kandungan lo apa gimana? Nggak inget lo punya satu nyawa lagi di perut?"

Kana menyerong daksa, memegangi perut dengan kedua tangan seakan sedang menjauhi kandungannya dari penglihatan Rayan, tak menyukai bila pria itu mengucapkan hal-hal yang tampak tak pantas untuk didengar. "Kok lo bilang kayak gitu sih? Bayi gue bisa denger, tau!"

Oh. Sekarang dia sudah bisa menerima bayinya?

"Harusnya lo tau sekarang kebutuhan nutrisi lo lebih meningkat dari sebelumnya. Jangan egois ke diri sendiri."

"Sekarang yang jahat siapa?" Kini, Rayan menukikkan alis. "Dari siang gue udah nge-chat elo, nungguin elo sampai sekarang baru dateng. Lo pikir gue yang egois? Gitu?"

Baiklah, Rayan mengakui, dirinya memiliki andil terkait 'kelaparan' sang wanita. Tapi, memangnya Kana tidak bisa memesan makanan di hotel? Atau keluar sebentar membeli makanan? Kenapa harus menunggu Rayan?

"Udahlah, malah jadi ribut mau makan doang. Mampir bentar aja dong ke nasi padang gitu kek, asam lambung gue naik nih, perih banget di perut."

Nyatanya, wanita itu malah bersikap tak acuh, menganggap semuanya sedang baik-baik saja. Tidak memedulikan Rayan yang masih stagnan di tempatnya; turut mengerutkan dahi atas sikap Kana yang bermuka tebal.

Bukankah memang begitu caranya untuk berperan menjadi antagonis?

***

Pelakon Antagonis [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang