7. Thoughts

4.4K 683 36
                                    

Seokjin memandang langit-langit kamarnya. Ini pukul sebelas malam namun matanya tak bisa terpejam. Ia mendesah dan membalikkan badannya, berusaha untuk terlelap. Namun hasilnya nihil. Ia menggerutu dan menatap langit-langit kamarnya lagi. Ia menghela napas berat. Ia tahu persis mengapa ia sulit tidur. Pikirannya dipenuhi oleh seseorang. Kim Namjoon. Jujur, Seokjin merasa sangat kehilangan sosok Namjoon belakangan ini. Namjoon jadi lebih sering menghabiskan waktunya dengan teman-teman tim basketnya dan juga Jimin. Park Jimin. Seokjin menutup matanya.
Waktu itu ia bertemu dengan Jimin. Anak itu sangat tampan, baik, manis, dan pintar. Sempurna sekali. Namjoon? Ia juga sesempurna Jimin. Pasangan yang sangat sempurna, bukan? Seokjin membandingkan Jimin dengan dirinya. Seokjin yang merupakan murid biasa yang sama sekali tidak populer seperti Namjoon dan Jimin. Tidak pintar seperti Namjoon dan Jimin. Tidak tampan seperti Namjoon dan Jimin. Seokjin menghela napas berat. Benar, ia bukanlah apa-apa jika dibandingkan dengan Jimin. Pantas saja kini Namjoon sudah jarang bersamanya, toh dia sekarang memiliki yang lebih baik, kan?
Seokjin tiba-tiba terduduk. Hey, tapi Namjoon adalah teman baiknya sejak kecil! Mereka tahu apa? Seokjin-lah yang mengetahui segalanya tentang Namjoon. Mereka sudah bersama lebih dari sepuluh tahun! Seokjin berkacak pinggang dan berdecak. Ini tidak bisa dibiarkan. Namjoon adalah sahabatnya, miliknya. Ia takkan membiarkan posisinya digeser begitu saja. Ia akan berusaha agar perhatian Namjoon kembali padanya, apapun caranya. Seokjin kembali membaringkan badannya, mencoba untuk terlelap sambil tersenyum puas.

-

Seokjin mengawasi seluruh murid di cafetaria. Ia mencari-cari sosok Namjoon. Ketika ia mendapati Namjoon memasuki cafetaria, Seokjin tersenyum lebar dan langsung berdiri, mengejar Namjoon.

"Namjoonie!"

Namjoon menoleh dan menahan Seokjin ketika Seokjin menubrukkan tubuhnya ke tubuh Namjoon. Namjoon berdecak pelan.

"Hati-hati, Seokjin."

Seokjin hanya tersenyum malu. Ia menggamit lengan Namjoon dan berjalan menuju stall makanan.

"Ayo makan, Namjoonie!"

Setelah mengambil makanan, mereka duduk berdua di meja. Seokjin menepuk tangannya senang.

"Ah, makan siang kali ini sepertinya enak ya, Namjoonie? Selamat makan!"

Seokjin makan dengan lahap. Namjoon menatap Seokjin terheran-heran. Mengapa tiba-tiba ia berkelakuan seperti ini? Seokjin menjadi lebih clingy dari biasanya. Dilihatnya orang-orang di sekitarnya yang mulai menatap mereka dengan tatapan aneh dan bahkan ada yang menatap Seokjin dengan jijik.

"Sstt, lihat! Seokjin mendekati Namjoon lagi. Gila apa dia?"

"Apakah dia tidak tahu bahwa sekarang Namjoon sedang dekat dengan Jimin?"

"Dia buta atau bagaimana?"

"Lihat Namjoon, ia begitu kaku. Aku yakin Namjoon sekarang merasa tidak nyaman bersama Seokjin."

"Seokjin itu tidak tahu malu, ya?"

"Aduh, Seokjin kan bodoh."

"Aku jadi kasihan dengan Namjoon."

Pendengaran tajam Namjoon mendengar itu semua. Mau tak mau ia juga jadi memikirkan perkataan mereka. Benar juga. Apa kata Jimin jika ia melihat dirinya sedang makan siang bersama Seokjin? Jimin pasti cemburu. Namjoon bergerak-gerak tidak tenang. Ia menghela napas.

"Seokjin-"

"Dagingnya enak sekali, kau mau tambah?"

Seokjin menyela. Pipinya menggembung karena penuh makanan. Ia tersenyum lebar. Namjoon menghela napas.

"Seokjin, aku-"

"Habiskan makananmu, Namjoonie. Lihat, makananku sudah hampir habis."

Seokjin melahap makanannya kembali. Namjoon mengerjap tak percaya. Apakah Seokjin secara halus memaksanya agar tetap disini bersamanya dengan cara tak membiarkannya berkata-kata? Namjoon menggerutu dalam hati dan segera melahap makanannya. Dia tidak suka dengan sikap Seokjin yang seperti ini.

-

"Namjoonie!"

Namjoon menutup lockernya dengan kasar. Ia menoleh melihat Seokjin melompat-lompat menghampirinya dengan riang. Ia menggamit lengan Namjoon dan menggoyangkannya.

"Sekarang kau ada latihan basket, kan? Aku temani, ya?"

Seokjin menyeret Namjoon ke lapangan basket. Namjoon pasrah diseret seperti itu. Begitu mereka memasuki lapangan basket, dilihatnya Jimin yang sedang duduk di bangku penonton, dengan handuk dan botol air mineralnya. Jimin menoleh melihat kedatangan Namjoon. Awalnya ia tersenyum, namun senyumannya memudar ketika melihat Seokjin menggamit lengan Namjoon dengan riang. Namjoon membuang muka dan segera melepaskan dirinya dari tangan Seokjin. Ia berjalan ke ruang ganti. Seokjin melambaikan tangan pada Namjoon.

"Aku akan duduk di bangku penonton!"

Seokjin berjalan menuju bangku penonton. Jimin berdeham dan tersenyum pada Seokjin.

"Kak Seokjin!"

Seokjin menoleh dan tersenyum lebar. Seokjin melambaikan tangannya pada Jimin dan duduk di sebelahnya.

"Sedang apa disini, Kak?"

"Apa? Tentu saja untuk mendukung Namjoonie!"

Hati Jimin seketika menciut. Tadi siang ia melihat Namjoon dan Seokjin makan berdua. Sekarang Seokjin datang untuk mendukung Namjoon. Ternyata, hubungan mereka sespesial itu. Jimin kembali menciut dan menghela napas. Ia mengumpulkan barang-barangnya dan berdiri.

"Loh? Kau mau ke mana, Jimin?"

Jimin menoleh dan menatap Seokjin sambil menggigit bibirnya. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Ah.. Aku baru ingat kalau aku memiliki tugas yang banyak sekali. Aku harus pulang dan mengerjakannya. Aku duluan, Kak Seokjin."

Jimin segera berjalan cepat ke luar lapangan. Seokjin hanya mengernyitkan dahi dan kembali fokus mencari Namjoon yang belum juga keluar dari ruang ganti. Seokjin tak tahu jika tatapan tajam dari rekan-rekan satu tim Namjoon mengarah padanya.

-

Latihan basket hari itu selesai. Semua pemain mandi dan membereskan barang-barangnya di ruang ganti. Namjoon menghela napas seraya melipat bajunya. Ia tadi tak melihat Jimin seperti biasanya. Ia malah melihat Seokjin yang berjingkrak-jingkrak menyemangatinya seperti bocah kegirangan. Sebenarnya Seokjin memang sudah seperti itu, dulu sebelum ia bertemu Jimin. Entah kenapa ia jengkel sekali pada Seokjin.

"Hey, Namjoon."

Namjoon menoleh kepada Jackson. Jackson menatapnya tajam. Namjoon menaikkan kedua alisnya.

"Ada apa, Jackson?"

"Sekarang kau kembali bersama Seokjin, ya? Anak itu mengekorimu lagi, hm?"

Namjoon diam saja. Seketika ruangan itu menjadi sunyi, menunggu jawaban Namjoon. Jackson berdecak.

"Kau bisa bayangkan perasaan Jimin? Tadi Jimin langsung pergi ketika melihatmu dengan Seokjin. Kau tega sekali padanya, Namjoon."

Ucapan Jackson disambut anggukan oleh yang lain. Namjoon merasa terpojok. Kini otak dan hatinya sedang berperang, memikirkan perkataan Jackson dan anggapan teman-temannya.

"Waktu itu kau bilang jika Seokjin hanya sekedar teman bagimu dan kau memilih Jimin. Tapi buktinya? Kau menyakiti Jimin, Namjoon."

Namjoon mengerang frustasi. Kini ia benar-benar memikirkan Jimin dan kesal sekali pada Seokjin. Jackson benar. Semua perkataan Jackson benar. Ia harus kembali mendapatkan Jimin dan menyingkirkan Seokjin, secepat mungkin.

--

Hmm, Namjoon mau ngapain ya?👀 Seokjin baby I'm so sorry😭😭

If You Only KnewTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang