Seokjin berlari. Ia tak tahu dan tak peduli dia berlari ke arah mana. Kedua kakinya lemas dan berdenyut, namun ia tak peduli. Tubuhnya bergetar hebat karena kedinginan, namun ia tak menghiraukannya. Ia hanya ingin berlari, sejauh mungkin. Jalanan sepi sekali karena memang sedang hujan lebat, dan orang gila macam apa yang ingin berada di luar ketika hujan begini lebat? Tentu saja orang gila macam Kim Seokjin.
Kedua kaki Seokjin sudah tidak tahan lagi dan dia ambruk ke tanah. Ia memeluk tubuhnya sendiri sambil terus menangis. Perkataan Namjoon benar-benar membuatnya patah hati. Ia meremas dadanya yang sakit sambil terus memikirkan perkataan Namjoon. Benarkah ia ingin memutuskan persahabatan mereka? Benarkah Namjoon mengetahui Seokjin yang mencintainya sejak dulu? Berarti, Namjoon memang tidak menyimpan rasa apapun terhadap Seokjin? Seokjin perlahan membuka matanya yang merah karena menangis. Seokjin mengernyitkan dahinya begitu melihat ayunan di hadapannya. Ayunan sederhana yang besinya sudah berkarat karena tua. Tapi ternyata itu bukan ayunan biasa. Ayunan itu adalah ayunan yang menjadi saksi bisu pertemuan pertamanya dengan Namjoon. Seokjin bangkit perlahan dan melihat ke sekelilingnya. Ia mengerjap dan menutup mulutnya tak percaya. Kini ia sedang berada di taman, di mana taman ini merupakan tempat pertama kali Namjoon dan Seokjin bertemu bertahun-tahun lalu. Tangis Seokjin kembali pecah dan ia memeluk lututnya.
Seberapa sakit hati Seokjin, instingnya akan tetap membawanya pada Namjoon, orang yang sangat dicintainya.
-
Yoongi menggeretakkan gigi. Ia berjalan cepat sambil mencari sosok Namjoon. Yoongi sudah tak tahan lagi dengan sikap Namjoon akhir-akhir ini. Ia mengepalkan tangannya begitu melihat Namjoon hendak berbelok ke koridor locker kelas satu. Ia berlari dan menarik lengan Namjoon, menghempaskannya ke dinding.
Buk!
Yoongi melepaskan tinjunya pada pipi Namjoon. Namjoon terkesiap kaget dan mengelus pipinya yang sakit terkena bogem mentah Yoongi. Namjoon hendak membalas perlakuan Yoongi, namun Yoongi dengan sigap menahan kedua tangan Namjoon.
"Itu untuk Seokjin."
Namjoon terdiam. Yoongi melepaskan tangan Namjoon perlahan.
"Ada apa ini?"
Jimin muncul dengan wajah khawatir. Ia segera menghampiri Namjoon dan Yoongi. Yoongi tetap menatap tajam pada Namjoon.
"Kau senang berada di atas penderitaan orang lain, Namjoon? Kau telah mematahkan hati anak itu, yang benar-benar tulus mencintaimu. Congratulations."
Namjoon mengulum bibirnya. Perkataan Yoongi ada benarnya juga. Yoongi menghela napas.
"Sekarang, lakukanlah apa maumu. Lakukan apapun sesuka hatimu. Aku sudah tidak peduli lagi. Aku benar-benar kecewa padamu, sungguh kecewa. Kau bukan Namjoon yang kukenal lagi."
Yoongi meninggalkan Namjoon dan Jimin yang masih terpaku dengan perkataannya. Namjoon menghela napas berat.
"Apa yang terjadi, Kak Namjoon?"
Jimin terkesiap melihat darah di ujung bibir Namjoon. Ia menggenggam tangan Namjoon erat.
"Ayo ke ruang kesehatan, aku akan mengobatimu."
Jimin setengah menyeret Namjoon ke ruang kesehatan. Namjoon mendesah pelan. Setidaknya ia punya Jimin, yang akan selalu menjadi malaikatnya. Jimin memang satu-satunya untuk Namjoon.
-
Jisoo bergerak-gerak tak nyaman di sofa ruang keluarga. Orang tuanya sedang dinas ke luar kota dan kakaknya hingga jam sembilan malam pun belum pulang juga. Rasanya ia ingin menangis. Ia telah mengetahui apa yang terjadi di koridor locker kelas tiga tadi sore dan ia benar-benar mencemaskan kakaknya itu. Ia sudah mencoba menghubungi Hoseok dan Yoongi, namun mereka juga tidak menemukan keberadaan Seokjin. Jisoo menitikkan air mata. Ia benar-benar mencemaskan kakaknya.
Tiba-tiba terdengar suara pintu yang terbuka perlahan. Jisoo langsung berlari menghampirinya. Jisoo terkesiap dan menutup mulutnya melihat sosok di hadapannya. Seokjin, kakaknya, dengan baju seragam yang sangat kotor dan basah. Seluruh tubuh Seokjin basah. Tubuh Seokjin bergetar kedinginan. Jisoo menghapus air matanya dengan kasar dan meremas pundak kakaknya itu."Kak Seokjin.."
Seokjin tidak bergeming. Ia melepaskan sepatunya dengan kaku dan berjalan menuju tangga, naik ke kamarnya. Tak terasa air mata Jisoo menetes tanpa henti. Terdengar bunyi gemericik air di kamar mandi. Jisoo menghela napas lega ketika Seokjin mandi. Ia segera menyiapkan sup hangat dan beberapa makanan lainnya untuk kakaknya. Tak lupa ia memberitahu Hoseok dan Yoongi bahwa kakaknya kini sudah di rumah.
Setelah makanannya siap, Jisoo membawa makanan tersebut ke kamar Seokjin. Jisoo membuka pintu kamar Seokjin perlahan. Dilihatnya Seokjin yang terbaring di ranjangnya, tampak tenang dan damai. Namun perasaan Jisoo tidak enak. Ia meletakkan nampan makannya di meja dan menghampiri kakaknya. Jisoo terkesiap kaget ketika melihat betapa pucat kakaknya itu. Perlahan ia menempelkan telapak tangannya pada dahi Seokjin dan seketika ia menjerit.
"Kak Seokjin demam tinggi!"
-
Hoseok meremas tangannya dan melihat arlojinya. Sudah hampir pukul delapan tapi mengapa Seokjin belum datang? Ia menghela napas dan menatap Yoongi yang juga sama cemasnya.
"Seokjin ke mana, ya?"
Tiba-tiba pintu kelasnya terbuka. Dilihatnya Jisoo, adik Seokjin, berdiri di depan pintu. Hoseok langsung berlari menghampirinya.
"Jisoo? Kakakmu ke mana?"
"Kakak sedang sakit. Aku mengantarkan surat dari dokter. Dokter menyuruhnya untuk istirahat kira-kira lima hari."
Hoseok menutup mulutnya. Ia menerima surat dari Jisoo.
"Lima hari? Apakah separah itu, Jisoo?"
Jisoo mengangguk lemah dan matanya terasa panas, hendak mengeluarkan air mata.
"Separah itu, Kak Hoseok."
Hoseok menghela napas. Ia meremas pundak Jisoo.
"Pulang sekolah, tunggu aku dan Yoongi di gerbang sekolah. Kita pulang bersama, ya? Aku akan ikut merawat Seokjin."
Jisoo mengangguk lemah dan segera berjalan cepat menuju kelasnya. Hoseok menghela napas berat dan kembali ke kelasnya.
-
Kegiatan belajar mengajar sedang dimulai. Namjoon yang sudah mengerti materi itu hanya menenggelamkan wajahnya ke meja. Ia memiringkan kepalanya, melihat bangku kosong di sebelahnya. Bangku yang seharusnya milik Seokjin kini kosong, ditinggal pemiliknya. Hoseok memberikan informasi pada seluruh kelas bahwa Seokjin tidak masuk sekolah karena sakit. Apakah sakitnya itu dikarenakan oleh Namjoon? Namjoon menggelengkan kepalanya, berusaha menghapus pikirannya. Tidak, tidak mungkin. Seokjin tidak mungkin sesakit hati itu, kan?
-
Seokjin memeluk lututnya. Makanan yang ada di sampingnya ia tatap dengan enggan. Ia hanya meneguk air mineral dan kembali menatap langit-lagit kamarnya dengan pandangan kosong. Demam di tubuhnya tidak berangsur turun. Seokjin memejamkan matanya, mengingat kenangannya bersama Namjoon dulu. Namjoon yang selalu membangunkannya dengan melemparkan batu kerikil ke jendelanya. Namjoon yang selalu pasrah jika Seokjin mencuri makanannya. Namjoon yang selalu mencubit pipi Seokjin yang tembam dengan gemas. Namjoon yang dengan sabar mengajari Seokjin materi di sekolah. Namjoon yang selalu bersikap baik padanya. Namjoon yang selalu melindunginya. Tak terasa air mata kembali jatuh dari matanya. Kini semua itu hanyalah kenangan. Kenangan yang harus ia simpan di lubuk hatinya yang terdalam. Karena kini, Namjoon sudah sangat jelas menolaknya dan ingin Seokjin enyah darinya. Seokjin meremas selimutnya, berusaha menahan sakit yang dideritanya.
---
Ditunggu selalu kritik dan sarannya! Vote dan commentnya jugaa hihi😁💜
KAMU SEDANG MEMBACA
If You Only Knew
Fanfiction"Kim Namjoon? Oh, kami sangat dekat! Kami selalu bersama dan tidak ada yang bisa memisahkan kami. Dia adalah galaksiku, segalanya bagiku." - Kim Seokjin "Kim Seokjin? Oh, dia hanyalah temanku, tidak lebih." - Kim Namjoon Ketika cinta yang mereka ras...