بسم الله الرحمن الرحيم
Jika seorang wanita tugasnya memberi keputusan. Maka sebagai seorang lelaki bertugaslah untuk memberi kepastian.
∽ Terlatih ∽
•••🕊 Ardan ikut tercengang mendengar apa yang barusan pegawai percetakan itu katakan. Khaila? Mengapa bisa dirinya sampai salah menulis nama.
"Mm-maaf mas, seperti tadi saya tidak fokus. Itu nama sahabat saya. Kalau calon istri saya, Aisyah Nabila Almashyra. Jadi untuk nama Khaila, sandingkan saja dengan nama Ahnaf Firdaus ya mas. Saya pesan undangan untuk mereka juga." tutur Ardan, membuat Ahnaf semakin tercengang.
"Kamu apa-apaan, Ardan. Aku dan Khaila belum.."
"Sudah gak apa-apa mas, sekalian. Biar nanti pas kalian jadi nikah undangannya tinggal di sebar." sela Ardan cepat dan kembali berkata, "Maaf ya mas, tadi aku gak fokus. Gara-gara mikirin pendapat Khai, jadi malah nulis nama dia dikertasnya."
Ahnaf tersenyum tipis.
Suasana menjadi canggung, hingga akhirnya Ardan mengajak Ahnaf untuk meninggalkan percetakan. "Ayo mas, kita pulang. Sepertinya kita sudah terlalu lama berada di sini." ajak Ardan yang sudah berdiri.
Ahnaf mengangguk pelan. "Kamu baru sadar." ikut berdiri, lalu pergi.
°°°
"Terimakasih, Khai. Seperti dengan siapa saja aku sampai di buatkan minuman." ucap kak Aisyah saat aku membawakannya secangkir teh dan camilan.
"Gak apa-apa kak. Jarang-jarang." seraya tersenyum ramah.
"Oh iya, aku jadi ingin membicarakan Ardan, Khai. Dia itu memang seperti itu ya? Apa-apa harus bertanya padamu, apa-apa denganmu." tanya kak Aisyah dengan kekehan pelan.
"Ya begitulah kak, dia. Jika salah seorang omnya mengajaknya jalan-jalan saja, aku juga harus ikut dengannya. Jika tidak, ia pasti akan ngambek seharian. Parahnya ia juga pernah sampai sakit panas, karena aku meminta pada ayah agar di masukkan ke dalam pesantren.
Maka dari itu akhirnya kita selalu bersekolah ditempat yang sama. Bahkan ayah selalu meminta kepada pihak sekolah agar tidak menaruh kita di kelas yang berbeda." kesalku mengingat kelakuan lebay Ardan.
Apalagi Ardan merupakan anak yang memiliki IQ di atas rata-rata. Kelas yang ia dapatkan tak jarang selalu kelas unggulan. Jadi, pada saat itu akulah yang harus berusaha mati-matian untuk bisa lulus tes dan menyeimbangi kemampuan para murid dikelas yang Ardan dapatkan. Karena jika hanya mengandalkan bantuan dari pihak sekolah saja, itu hanya akan menyulitkan diriku saja.
Jadi aku selalu berusaha keras membuktikan kepada pihak sekolah, bahwa aku memang pantas berada di sana. Hikmahnya, kini semua kerja kerasku membuahkan hasil yang tidak sia-sia. Aku dapat kuliah dengan beasiswa, bisa mendapat beberapa penghargaan, dan pengetahuanku sekarang tidak beda jauh-lah dengan Ardan. Alhamdulillah.
"Tapi kenapa tidak Ardan saja yang ikut bersamamu ke pesantren, Khai?"
"Aduh kak. Dia terpisah dengan ku saja tidak mau, apalagi dengan ibunya. Lagipula di pesantren itu kan tempat santri putra dan santri putri di pisah. Bisa-bisa ia melompat pagar agar bisa mengikutiku kemana-mana. Dia tidak pandai mencari teman."
Kak Aisyah semakin terkekeh geli. "Lucu ya membayangkan kalian berdua, seperti anak kembar. Apabila di pisahkan salah satunya sampai ada yang sakit."
"Ya begitulah kak. Nama kita saja sering dipanggil dengan sebutan yang hampir sama. Khai untukku, dan Khal untuk Ardan. Karena nama tengah dia yang ada Khalif nya." lanjutku mengingat masa sekolah dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terlatih ✓
SpiritualHaziqah Khaila Nala. Seorang perempuan sederhana yang sejak kecil sudah ditinggal oleh kedua orangtuanya. Kepergian seseorang yang paling ia kasihi, telah menjadikannya sebagai sosok wanita tangguh yang selalu ikhlas dalam menghadapi segala takdir y...