بسم الله الرحمن الرحيم
"...Tidak ada orang yang memberi maaf kepada orang lain, melainkan Allah akan menambah kemuliaannya. Dan tidak ada orang yang merendahkan diri karena Allah, melainkan Allah akan mengangkat derajatnya."
~ Riwayat muslim; 4689
•••🕊 Besok Sinta akan melangsungkan pernikahannya di salah satu hotel yang berada di Bali. Sinta dan Dimas akan melangsungkan akad mereka di sana. dilanjutkan acara resepsi yang akan di gelar di tepi pantai pada sore harinya.
Sejak dua hari lalu Sinta sudah pergi ke sana bersama seseorang yang ku percayakan untuk menjaganya. Aku tak bisa menemaninya sebab kemarin Rafka masih sekolah dan Ardan belum bisa mengajukan cuti. Sehingga aku harus menunggu mereka sampai mereka bisa ikut ke sana.
Finally... di hari yang sudah mepet ini kita baru bisa terbang ke sana.
Segala keperluan sudah ku persiapakan dari jauh-jauh hari, mulai dari pakaian, obat-obatan, sampai memeriksakan kondisi kesehatan Hawa dan Rafka untuk berjaga-jaga sebelum perjalanan. Sebab ini merupakan kali pertama bagi Hawa menaiki pesawat, tidak seperti Rafka yang sudah terbiasa di ajak kemana-mana oleh Rama. Jadi aku harus siap siaga sekalipun suamiku ahlinya.
"Ummi kita ke sananya naik pesawat?" ucap Rafka semangat ketika kami sampai di bandara soeta.
"Iya, dong. Masa naik becak, kapan sampainya." sahut Ardan.
"Abi ikut-ikut aja. Aku nanya ummi juga." cibir Rafka.
Kedua ayah dan anak itu habis berperang di rumah. Rafka keukeuh ingin membawa robot-robotan mainannya, sedangkan Ardan melarangnya. Sehingga kini mereka berdua menjaga jarak, lebih tepatnya Rafka lah yang tak mau berada di dekat Ardan. Ia masih nampak kesal, terbukti selalu cemberut jika Ardan menimpalinya.
"Rafka masih kesal sama abi?" tanya ku pelan sambil menggandeng tangannya.
Rafka diam. Bibirnya cemberut dan malah melepaskan tangannya dariku.
"Aku kesal dengan abi, aku kan ingin memberi mainan itu kepada Azam." celetuk Rafka padaku saat Ardan tengah check-in.
"Kenapa tidak bilang jika itu untuk Azam?"
"Aku takut abi marah, itukan pemberian dari abi."
Ardan kembali sambil tersenyum tipis. "Kalau kamu bilang dari awal tentu abi tidak akan melarang. Azam kan juga adik kamu." Ardan membelai pucuk kepala Rafka. "Abi melarang kamu membawa mainan sebab abi pikir takut hilang atau ketinggalan, dari pada beli terus yang baru, lebih baik kan di simpan di rumah dulu biar aman." sambung Ardan.
Rafka mengangguk pelan. "Maafin aku abi, aku sudah kesal sama abi."
"Iya, tidak apa-apa. Maafin abi juga ya." Ardan merangkul tubuh mungilnya.
Setelah bermaaf-maafan mereka kembali bersama. Ardan terus menuntunnya hingga kami sampai di kabin pesawat.
Rafka dan Hawa begitu senang saat kami sudah menempati salah satu tempat duduk di sana. Kami mendapat set bagian depan kabin, sehingga dapat lebih leluasa ketika memangku Hawa. Ardan pun sudah memesan satu tempat duduk tambahan khusus untuk Hawa. Karena sangat tidak dianjurkan memangku bayi terus menerus saat di dalam kabin pesawat. Hal tersebut bisa jadi sangat berbahaya jika terjadi turbulensi atau perubahan udara drastis yang bisa membuat bayi terlepas dari pangkuan. Sehingga Ardan sudah siap sedia, termasuk tadi ia sudah memberi informasi kepada pihak maskapai bahwa kami membawa anak berusia tiga belas bulan.
Satu persatu penumpang mulai memenuhi tempat duduk yang kosong. Hawa yang tadinya berada di pangkuan Ardan kini telah berpindah ke dalam pangkuanku. Meskipun bicara Hawa belum begitu jelas, tetapi dari raut wajahnya ia terlihat bahagia. Apalagi saat melihat ke arah jendela yang berada di sebelah kananku, ia seperti mengerti bahwa kami akan pergi berjalan-jalan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terlatih ✓
SpiritualHaziqah Khaila Nala. Seorang perempuan sederhana yang sejak kecil sudah ditinggal oleh kedua orangtuanya. Kepergian seseorang yang paling ia kasihi, telah menjadikannya sebagai sosok wanita tangguh yang selalu ikhlas dalam menghadapi segala takdir y...