بسم الله الرحمن الرحيم
🕊 Semenjak mengetahui kabar kehamilan Khaila, Ardan semakin betah dirumah. Tak hanya berdiam diri, ia pun selalu mengambil alih pekerjaan Khaila saat tidak bekerja. Seperti mengepel dan mencuci piring setelah makan misalnya. Karena biasanya, meskipun ada bi Ratih di rumah Khaila selalu membantu pekerjaan bi Ratih agar lebih ringan. Dan sudah dua hari ini, Ardan lah yang sedang mengantikan.
Saat ini Ardan sedang mengepel di ruang tengah. Sedangkan Khaila duduk manis di atas sofa.
"Itu belum bersih." tunjuk Khaila ke bawah kolong meja.
Ardan menegapkan tubuhnya sambil mengusap keningnya yang dipenuhi keringat, lalu berkata, "Sabar sayang, aku kan masih belajar." ucap Ardan pasrah mendengar ocehan Khaila yang semakin hari semakin panjang.
Belakangan ini Khaila memang mendadak sangat bawel, sering meminta sesuatu yang tidak masuk akal di jam-jam batas wajar. Khaila pun sering mengeluh kelelahan meskipun tidak melakukan aktivitas berat seperti yang biasa ia lakukan. Ardan pun sangat memahami perubahan pada khaila saat ini. Sangat wajar bagi wanita hamil mengalami perubahan di fase pertama kehamilannya. Karena jangankan sedang hamil, dalam keadaan biasa pun wanita cenderung moody. Sehingga Ardan sampai menyuruhnya berhenti mengurus butik sementara, agar beristirahat dirumah.
"Kamu capek?"
Ardan mengangguk pelan.
"Sama aku juga." ucap Khaila pelan sambil memeluk bantal sofa.
"Kan aku yang ngepel, ko kamu yang capek."
"Iya aku capek. Abisnya liat kamu ngepel di situ-situ aja, sekalinya pindah, kaki kamu nginjek ke tempat yang udah di pel, kapan selesainya." kekeh Khaila geli.
"Ya abis gimana, aku biasa pegang suntikan, ini pegang pel-an." Ardan memberengut sebal.
"Yaudah, sini duduk." Khaila menepuk sofa di sebelah kirinya, dan Ardan duduk di sana.
Khaila mengambil beberapa lembar tisu yang terletak di atas meja. Lalu mengusapkannya ke kening Ardan yang dipenuhi oleh keringat.
"Lagian ada angin apa coba, gaya-gayaan gantiin aku." Khaila mengepak-ngepakkan jari-jari tangannya, mengipasi Ardan.
"Aku kan mau bantu kamu. Biar gak capek."
Khaila tersenyum manis. "Udah rapihin aja, aku udah pel ko tadi."
"Kamu udah ngepel?"
Khaila menaik-turunkan kepalanya.
"Kenapa gak bilang, Khai."
"Kamu gak nanya." Khaila terus senyum-senyum sendiri, sedangkan Ardan mengacak-acak rambut belakangnya, kesal.
"Aku mau jalan-jalan." seru Khaila saat Ardan hendak berdiri.
Ardan duduk kembali. "Mau jalan-jalan kemana?" tanyanya lembut.
"Kemana aja, yang penting jalan-jalan."
"Yaudah, aku ambil konci mobil dulu ya." Ardan kembali berdiri, namun dicegah Khaila lagi.
"Ngapain naik kendaraan. Aku kan bilangnya jalan-jalan, jadi ya jalan." rengek Khaila membuat Ardan mengacak-acak rambutnya lagi.
Sepertinya kesalahan telah berpindah kepada dirinya. Jadi apapun yang ia lakukan, jika bukan kehendak khaila, maka ia salah.
"Iya, sayang. Ayok." ucap Ardan, sambil mengulurkan tangan.
Khaila begitu bahagia menyambut tangan Ardan. Ia berdiri dan mereka berjalan bergandengan. Menguji kesabaran Ardan membuat Khaila merasa senang. Sebab dari situ Khaila dapat mengetahui seberapa besar sayang Ardan terhadap dirinya, meskipun sebenarnya ia sedikit kasihan saat melihatnya kelelahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terlatih ✓
SpiritualHaziqah Khaila Nala. Seorang perempuan sederhana yang sejak kecil sudah ditinggal oleh kedua orangtuanya. Kepergian seseorang yang paling ia kasihi, telah menjadikannya sebagai sosok wanita tangguh yang selalu ikhlas dalam menghadapi segala takdir y...