13. Pilihan untukku

17.1K 1.3K 28
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم

Jika setiap harapan selalu kita simpan di atas sajadah. Insya Allah, kita takkan merasakan sesaknya hati yang patah.
Khaila
- - -

🕊 Dua hari setelah pernikahan kami memutuskan pindah ke sebuah rumah yang sudah Ardan siapkan. Seharusnya rumah bertingkat dua dengan ukuran yang cukup luas ini, ia tinggali bersama kak Aisyah setelah menikah. Namun apa daya nyatanya takdir membuat kami berdua yang malah menempatinya.

Masih dalam keadaan yang sama. Aku dan Ardan tidur dalam keadaan kamar yang terpisah. Ia tidur di kamar atas dan aku memilih kamar yang berada di bawah.

Di rumah yang cukup luas ini, kami tidak hanya tinggal berdua saja. Karena Ardan sudah menyiapkan satu asisten rumah tangga dan satu orang supir untuk membantu ku di rumah serta mengantarku kemana-mana.

Sebenarnya aku tidak terlalu menginginkan itu semua. Tetapi Ardan bilang, kedua suami istri itu sudah bekerja lumayan lama padanya untuk menjaga rumah itu selama ia belum menikah. Makanya Ardan tidak mungkin memecat mereka begitu saja setelah ia berkeluarga.

Hari ini kami masih libur bekerja. Merapikan barang-barang pribadi menjadi pilihan kami berdua. Meskipun ayah dan bunda telah menyuruh kami untuk liburan bersama.

Kami menolaknya, karena percuma bagi kami berdua. Ketika kami berlibur bersama, pasti di sana kami akan berjaga jarak tidak seperti pengantin baru lainnya.

Lebih menyedihkannya lagi, Ardan pasti akan memesan dua kamar yang terpisah agar kami tidak tidur bersama. Jadi untuk apa kami pergi ke suatu tempat yang hanya membuat capek badan saja.

Honey moon hanya untuk pasangan yang berbahagia. Bukan terpaksa. Pikirku.

"Ada yang bisa bibi bantu lagi mbak Khai?" tanya bi Ratih yang membantu kami di rumah.

"Enggak ada lagi bi. Bibi istirahat aja, biar ini aku yang buang." aku memegang sekantong plastik hitam, berisi sampah sisa kami memasak.

"Sini bibi aja mbak yang buang."

"Gakpapa bi. Aku sekalian mau ke depan."

Aku melenggang pergi ke luar.

"Kau mau kemana?" tanya Ardan yang sedang menonton televisi di ruang tengah.

"Buang sampah." seraya kembali berjalan.

Sesampainya di depan aku membuang kantong itu ke tempat sampah yang berada di dekat gerbang rumah, lalu kembali setelah menyelesaikannya.

Di saat aku ingin mengunci gerbang, sebuah mobil berhenti tak jauh dari tempat aku berdiri. Aku sempat memastikan siapa yang datang.

"Dia?" mataku terbelak sempurna, mengetahui seseorang yang berada di dalam mobil tersebut adalah Rama.

"Hai nona, kau baru pindah?" tanya dia.

Aku berdeham pelan, hendak kembali ke dalam.

"Kau itu benar-benar sombong ya. Tidak memiliki tatakrama sedikit pun, aku ini tetanggamu."

"Tetangga?"

"Ya. Rumah ku di sebelah." lelaki itu mengedikkan dagunya, menunjukkan sebuah rumah berukuran besar yang berada tepat di sebelah rumah ku dan Ardan.

"Sepertinya Tuhan merestui kita untuk berjodoh."

"Jangan terlalu banyak mengkhayal. Cari saja wanita lain yang bisa kau mainkan." lontar seseorang dari belakang punggungku.

Terlatih ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang