Ketika usiaku tiga belas tahun adik ketigaku lahir, juga perempuan. Jadi lengkap sudah penderitaanku. Aku dijepit oleh enam perempuan menyebalkan, tiga di atas dan tiga di bawah. Kata orang menjadi anak lelaki satu-satunya sangat menyenangkan, apapun yang aku minta pasti diberi dan tentunya sangat disayang keluarga.
Disayang apanya....? Justru aku sengsara dan selalu menjadi korban. Bak mandi kosong aku! Genteng bocor aku! WC mampet aku, urusan sampah aku! Beli cabai atau terasi, aku! Pokoknya semua serba aku! Sementara keenam perempuan rambut panjang itu saat disuruh ibuku selalu beralasan.
“Aku habis keramas, bu, suruh Gee saja!”
Terkadang aku heran apa hubungannya beli terasi dengan habis keramas? Jika mereka keramasnya pakai terasi, aku maklum! Hal paling menyebalkan dari semua itu adalah, soal uang jajan. Ketiga kakak dan adikku selalu diberi uang jajan meskipun mereka tak meminta. Tapi saat aku yang meminta, sampai menangis bombay sekalipun aku tak akan diberi, padahal aku bukan anak tiri. Saking kesalnya aku pernah berharap, semoga kakak dan adik-adikku tercebur di sungai Bogowonto dan ditelan buaya. Dan ibuku selalu bilang.
“Kau anak laki-laki, cari uang jajan sendiri!”
Perintah yang berbau nasehat itu sering kudengar dari ibuku, satu nasehat yang enak didengar, tapi tak enak dijalankan. Aku pernah bertanya pada ibuku, waktu aku lahir berapa anak yang dilahirkan di Puskesmas itu. Aku tertukar atau tidak? Ibuku pun melotot marah.
Setelah kupikir-pikir mempunyai rambut panjang ternyata sangat menyenangkan. Itu sebabnya meskipun aku laki-laki, aku ingin punya rambut panjang seperti kakak dan adik-adikku atau para seniman yang terlihat pemalas, jarang mandi dan jarang gosok gigi. Yang jelas aku tak mau diperintah mengerjakan sesuatu yang bukan urusanku. Jika rambutku panjang ketika ibuku minta aku beli terasi atau menyuruh apa pun, aku juga bisa beralasan.
“Aku habis keramas, bu. Suruh yang lain saja!”
Kulihat ibuku semakin kurus, mungkin karena kenakalanku semakin menjadi-jadi. Banyak perbuatan aneh yang sering aku lakukan, buatku itu biasa-biasa saja, buat orang lain mungkin luar biasa. Aku hanya berpikir sebentar saja, maka puluhan buah kelapa akan berjatuhan. Seorang rentenir yang terkenal kejam di kampungku, tiba-tiba jatuh dari sepeda motornya dan masuk ke dalam got hingga melukainya, semua itu karena keinginanku. Tapi tak semua perbuatanku merugikan orang, ada beberapa kejadian yang membuat orang lain senang padaku.
Suatu ketika, panen raya di kampungku nyaris gagal, ribuan tikus menyerang hektaran sawah. Petani bingung, segala cara sudah ditempuh guna memusnahkan tikus-tikus tersebut, semakin dimusnahkan tikus-tikus itu seolah semakin banyak. Pak Lurah dan stafnya murung, jika panen gagal kerugian akan sangat besar. Hutang Pak Lurah sangat banyak, dahulu saat pemilihan lurah dia sudah menghabiskan uang yang sangat besar. Jika dia tak sanggup bayar hutang, dia bakal dipenjara. Itu akibat dari kecurangannya saat pemilihan lurah berlangsung, dia melakukan serangan fajar kepada warga. Sementara pesaingnya ibu Sri Handayani memilih diam. Sebenarnya bisa saja dia menuntut, tapi yang ditakuti akan terjadi tawuran antar pendukung. Ibu Sri Handayani pun mengalah.
Aku ikut berpikir bagaimana cara mengusir tikus-tikus tersebut, paling tidak mengurangi jumlahnya. Ini gilanya aku! Aku mencari tikus besar yang jadi pemimpin di tempat itu, aku berdialog dari hati ke hati dengan tikus besar tersebut.
“Haai, tikus! Aku tahu kalian butuh makan untuk hidup, tapi tak boleh seperti itu. Itu namanya rakus dan merampok hak manusia. Kalau panen raya gagal, berapa banyak orang yang akan kelaparan dan berapa banyak petani yang jatuh miskin.” Kataku lembut.
Tikus besar itu mencuit-cuit, nampaknya dia mengerti apa yang kuucapkan dan aku pun paham apa yang dikatakannya.
“Tidak semua manusia serakah, hanya manusia tertentu saja. Perut kalian tak sebesar perut manusia, kalian bisa makan secukupnya saja, bukan sebanyak-banyaknya. Jika kalian makan sebanyak-banyaknya, itu namanya kalian yang serakah. Kasihan para petani, mereka bekerja banting-tulang menghidupi keluarganya. Kudengar Pak Lurah hari ini pergi ke Jakarta membeli racun paling ampuh untuk memusnahkan kalian. Aku tak ingin kalian jadi korban keganasan dan keputusasaan manusia. Aku harap kalian mengerti.”
Kembali tikus besar itu mencuit-cuit dan menganggukkan kepala, kemudian pergi diikuti tikus-tikus lain. Hatiku lega ternyata mereka mengerti apa yang kukatakan. Tak lama berselang terdengar suara riuh mencuit-cuit, ribuan ekor tikus berbondong- bondong meninggalkan pesawahan menuju hutan. Aku merinding, pantas saja padi sebanyak itu ludes, jumlah mereka ribuan ekor. Dari kejadian itu ada hikmah yang aku dapat, ternyata hewan juga butuh pendekatan lebih lembut, bukan pemusnahan massal.
Saat aku bicara dengan tikus besar tadi, beberapa staf pak Lurah memperhatikan aku, mereka tersenyum heran. Salah seorang menyilangkan jari telunjuk di keningnya, artinya, aku anak tak waras! Untunglah mereka tak pernah memergoki aku yang sering ngobrol bareng dengan ayam, kucing dan pohon pisang.
Beberapa hari kemudian terjadi keanehan, tak seekor tikus pun terlihat di sawah dan panen raya pun berlangsung meriah. Pak Lurah senang, hutangnya waktu kampanye dahulu terbayar sudah dan dia berjanji akan membelikan aku sepeda. Sungguh aku senang mendengarnya, sebab selama ini ayahku tak sanggup membelikannya.
Seminggu kutunggu sepeda yang dijanjikan pak Lurah belum datang. Sebulan berlalu, sepeda idamanku belum diantar ke rumah. Setahun, dua tahun, sampai akhirnya Pak Lurah pensiun, sepeda idamanku masih dalam impian. Setiap pulang sekolah aku melirik toko Babah Aliong, sepedaku masih setia menunggu di pojok toko. Terakhir kudengar Pak Lurah dijemput paksa polisi dan dia masuk penjara karena korupsi. Dia melakukan perbuatan tercela itu karena diperas istri mudanya yang baru lulus SMA. Tentang sepedaku, aku sudah rela.
Itu perbuatanku yang menyenangkan, sementara perbuatan yang menyebalkan tak terhitung. Yang membuat ibuku marah besar saat aku mengencingi gudeg buatannya satu kuali penuh, padahal gudeg itu hendak dijual pamanku di warung makannya. Atas kejadian itu pamanku tak berjualan, warungnya tutup karena tak ada makanan yang bisa dijual. Ibuku habis kesabaran, dia menjerit dan menghardikku.
“Betul-betul anak setan, kau!”
Ibuku memukul keningku dengan gagang sapu, meski berdarah aku tak merasa sakit. Ibuku terkesima, dia mundur beberapa langkah dan menyesali perbuatannya.
“Kepalamu terbuat dari apa?” gumam ibuku heran, kemudian dia jatuh pingsan.
Sebenarnya yang membuatnya pingsan bukan karena memukul keningku, tapi suara benturan di keningku, seperti besi bertemu besi. Yang lebih aneh lagi darah yang keluar dari keningku bukan merah selayaknya darah, tapi ungu keemasan berkilau bagai permata diterpa matahari. Aku pun pergi.
Perbuatanku mengencingi gudeg itu ternyata ada hikmahnya, pamanku menutup warungnya. Tiba-tiba pohon albasia yang tumbuh di dekat warung tersebut tumbang dan menimpa warung yang hanya terbuat dari bambu, hingga hancur. Untung tak ada siapa-siapa di dalam, seandainya paman dan bibiku ada di dalam mereka pasti jadi korban.
Sampai jauh malam aku belum pulang, ibu dan ketiga kakakku khawatir. Menurut pak RT aku diculik Wewegombel, atas idenya pula pak RT mengumpulkan warga untuk mencariku. Mereka membawa berbagai alat penerangan, senter, obor dan berbagai peralatan dapur untuk tetabuhan. Sementara ketiga kakakku dengan rambut yang sengaja digerai hingga pantat ikut mencariku. Mereka membawa tombak, mirip anak buah Mak Lampir yang siap berperang. Lantas tombak itu buat apa…?
Warga kampung mencariku ke semua penjuru, mereka berteriak memanggil namaku berulang-ulang sambil memukuli alat dapur yang mereka bawa, terutama panci dan penggorengan yang bersuara nyaring. Sangat ramai, seperti orang mengepung babi ngepet yang tengah beraksi di rumah juragan pabrik kerupuk beberapa tahun lalu. Tapi ada yang terlihat aneh dan lucu, wajah mereka dicoreng-moreng dengan arang dari pantat panci atau penggorengan yang mereka bawa. Wajah mereka benar-benar seperti Kucing Garong.
Sampai larut malam aku belum ditemukan, sementara warga sudah terlihat lelah, letih dan putus asa ditambah lapar dan haus. Mereka menggerutu tak habis-habis.
“Betul-betul anak setan kau, Gee! Menjijikkan!” gerutu warga.
“Aku pernah mencari anak diculik Wewegombel, tapi setahuku wajah tak perlu dicoreng-moreng seperti ini!” kata seorang warga kesal.
“Yang menyuruh wajah kita harus dibelepoti arang seperti ini memangnya siapa?” tanya rekannya yang juga heran.
“Pak RT.”
“Lihat saja, wajah Pak RT sendiri bersih tanpa arang!” “Rupanya kita dikerjai, kurang asem betul dia! Tahun depan kita tak usah pilih lagi!”
Akhirnya jam empat pagi barulah aku ditemukan, aku tengah asyik nangkring di atas pohon rambutan yang tumbuh di dekat kuburan.
“Lihat…..itu dia!” teriak Pak RT senang.
“Anak setan tolol, mencuri rambutan sampai tertidur di pohonnya!”
Aku juga heran kenapa aku berada di pohon rambutan ini, seingatku aku dibawa perempuan cantik itu ke istananya yang megah. Perempuan berambut pirang bernama Georgyna Gabrilla itu sangat baik, Aku disuguhi berbagai makanan dan minuman dan dia juga bercerita tentang kisah heroik yang pernah dilakukannya di lima ribu tahun silam. Aku enggan pulang, tapi perempuan cantik itu melarangku tinggal berlama-lama di istananya. Tapi dia berjanji suatu saat dia akan mengajakku berjalan-jalan ke suatu tempat yang jauh lebih indah. Dan kini baru kutahu perempuan cantik berambut pirang bernama Georgyna Gabrilla itu benar-benar hantu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Indigo Mencari Tuhan [TAMAT]
Historical Fiction(TELAH TERBIT) - TAMAT Jangan lupa kasih bintang dan share cerita ini ya :) Blurb Sakit kepala yang diderita anak laki-laki bernama Gee, bukan sakit kepala biasa. Jika sakit kepalanya muncul membuatnya sangat menderita, bahkan kepalanya sampai menya...