Seperti biasanya setiap Sabtu sore, aku dan Ki Rono Kentir berlari menyusuri kampung dan setelah melewati hamparan ladang manihot utilissima, Ki Rono mengajakku berlari melewati sungai dan bebatuan tajam. Jika ada bagian sungai yang dalam kami harus berenang hingga sampai ke tujuan. Tak jarang kami harus naik turun bukit atau lembah, menguak belukar gelap di tengah hutan jati. Tapi jalan yang tak pernah terlewat adalah, jalan menuju sebuah rumah mewah milik janda kaya juragan pabrik kerupuk, bernama Bunda Geulis. Rumah itu bukan hanya mewah, tapi terlihat modern. Antena parabola terpasang di tiga sudut dan sebuah pemancar radio berdiri di halaman depan. Menurutku itu bukan rumah biasa, tapi sebuah stasiun radio. Herannya tiap kali kami lewat Bunda Geulis sudah duduk di depan rumah, nampaknya dia sengaja menunggu kedatangan kami. Setelah itu terjadilah adegan yang membuat aku tersenyum, mata Ki Rono Kentir berkerling genit ke arah Bunda Geulis dan perempuan bertubuh gendut itu membalasnya lebih genit. Akhirnya aku mengerti, itu urusan orang dewasa!
Anak kampung tak berani bertemu Bunda Geulis, apalagi sampai berkunjung ke rumahnya, sebab perempuan gendut itu terkenal galak dan pelit. Jangankan terkena tampar, dipelototi saja anak-anak sudah lari terbirit-birit. Tato bergambar Elang Mematuk Anak Ayam di lengannya menambah angker penampilannya. Perempuan gendut itu pernah terbawa ke dalam mimpiku seperti yang pernah kuceritakan tempo hari, saat aku tertinggal di stasiun Gubeng. Aku bermimpi dia menyeretku, menjeweri dan mencubiti tubuhku. Tetapi di balik kegalakannya ternyata janda gendut itu cukup genit, buktinya setiap kali melihat Ki Rono Kentir mata dan bibirnya sangat menggoda.
Kebiasaan berlari sore menjadi hobi buat Ki Rono Kentir, kini hobi tersebut ditularkannya padaku. Kami seperti dua serdadu yang terpisah dari pasukan. Awalnya aku tak sanggup mengikuti langkahnya, meski dia sudah tua tapi fisiknya kuat, napasnya baik dan panjang. Namun lama-kelamaan aku sanggup mengikuti irama langkahnya, semua harus menggunakan teknik, jika tidak kita akan cepat lelah.
Kata Ki Rono berlari itu olah raga paling murah, namun menyehatkan dan menguatkan badan. Selain itu berlari juga dapat mengasah kecerdasan dan melatih cara berpikir cepat, terutama reaksi kita terhadap sesuatu yang mengancam keselamatan. Ke arah mana kita harus berlari menyelamatkan diri. Di dalam dunia militer, berlari itu hal yang sangat penting. Berlari bukan berarti kabur dari pertempuran.
Sekian lama aku mengenal orang tua itu banyak pelajaran yang aku dapatkan. Selain belajar dunia militer, aku belajar dunia intelijen. Kata Ki Rono, 90% kemenangan perang ditentukan oleh intelijen, sedangkan persenjataan dan jumlah personil itu hanya faktor pendukung saja. Ada beberapa negara yang memiliki persenjataan canggih tapi kalah dalam perang, sebab negara itu tak mempunyai intelijen handal. Negara- negara maju seperti Amerika, Inggris, Israel dan Rusia, sangat memperhatikan hal tersebut. Selain memperkuat senjata tempur, mereka memperkuat intelijen. Siapa yang tak kenal dengan CIA, M16, MOSSAD, KGB. Mendengar nama-nama itu sangatlah menakutkan, anggotanya memiliki kecerdasan tingkat tinggi, sangat berani dan kejam.
Aku tak menyadari Ki Rono Kentir telah membentukku menjadi seorang tentara dan intelijen handal. Diam-diam aku diajari teknik berkelahi ala militer, merakit dan menjinakkan bom, serta cara menembak jitu. Berbagai buku tentang dunia militer dan intelijen diberikan padaku untuk kupelajari. Pernah aku berpikir, apa aku tengah dididik menjadi seorang teroris. Aku diperkenalkan berbagai jenis senjata api, dari pistol sampai senapan laras panjang, juga jenis-jenis peluru yang mematikan. Namun pelajaran yang paling aku sukai, teknik membaca sandi. Selain menyenangkan nampaknya aku berbakat dalam urusan itu. Buatku sandi itu tak lebih dari rumus matematika yang harus dijawab secara matematis pula, semuanya berhubungan dengan angka. Ada juga yang berbentuk matrik atau logaritma yang harus kutata menjadi kata atau kalimat. Tapi yang agak sulit, ketika menggabungkan angka dan huruf menjadi sesuatu yang dapat dibaca dengan jelas. Ki Rono Kentir menggelengkan kepalanya takjub saat aku berhasil memecahkan sebuah sandi yang sangat rumit. Dia bilang, aku anak ajaib.
Awalnya aku disodori sebuah kertas bertuliskan sesuatu yang tak terbaca dengan jelas, semacam kode buntut. Aku tak mempedulikan kertas itu, sebab aku tak menyukai judi togel yang saat itu marak di kampungku. Tapi ketika wajah orang tua itu murung, aku penasaran.
“Ki Rono, suka pasang togel?” tanyaku polos.
“Waktu kita hanya sampai jam sepuluh malam, jika tidak habislah riwayat kita!” kata Ki Rono tegas, tapi was-was.
Kios togel di depan pasar memang tutup jam sepuluh malam, rupanya Ki Rono diburu waktu. Mungkin jika dia tak pasang malam ini, dia akan menyesal seumur hidup. Itulah kondisi seseorang yang sudah keranjingan judi togel, setiap kali pasang dalam angannya pasti kena atau menang. Judi itu punya daya tarik luar biasa, menjerat orang ke dalam lingkaran angan menggiurkan. Setelah masuk ke dalam perangkap perjudian itu, biasanya orang akan sulit untuk keluar.
“Baik, sebelum jam sepuluh malam akan saya serahkan hasilnya!”
Untuk mendapatkan hasil rumus kode buntut itu Ki Rono menunggu di rumahku dengan gelisah. Entah berapa batang rokok telah diisapnya, berkali-kali dia melihat jam tangannya. Aku heran, hanya demi togel orang tua itu sampai keluar keringat dingin.
Jam menunjukkan pukul setengah sepuluh. Artinya, setengah jam lagi batas waktu yang diberikan padaku, tapi aku belum berhasil memecahkan kode itu. Sebenarnya aku sudah berhasil, tapi aku ragu. Hasilnya tidak seperti angka-angka yang biasa dipasang dalam togel. Justru aku menemukan dua pasang angka yang jika dihubungkan dengan garis akan menunjukan titik koordinat. Aku kebingungan sendiri.
“Sudah belum, Gee?!” tanya Ki Rono keras.
“Sudah, tapi saya bingung, hasilnya jadi seperti ini?” jawabku ragu.
Ki Rono langsung membuang rokok yang tengah diisapnya dan dengan setengah merampas dia mengambil kertas hasil rumusan tersebut. Orang tua itu terbelalak melihat hasilnya, keherananku semakin menjadi-jadi. Ki Rono berlari meninggalkan aku sambil meneriakan hasil rumusan yang kudapat. Dia berlari menuju rumah janda kaya bernama Bunda Geulis, ada apa gerangan?
Sejak peristiwa itu beberapa minggu kemudian aku tak melihat Ki Rono, kata warga yang melihatnya, dia pergi bersama janda genit pengusaha kerupuk itu. Mungkin mereka lagi bersenang-senang setelah mendapat togel empat angka dan melupakan aku. Sial betul!
Seingatku sudah lima kali aku disodori kode buntut serupa itu dan selalu saja aku pecahkan dengan baik. Setelah itu aku pun selalu diberi uang dari hasil mengecak kode tersebut. Uangnya selalu kuhabiskan, sebab menurutku tak baik menyimpan uang hasil dari judi. Separuh kuberikan keluarga Siti Harla, sisanya untuk mentraktir teman-teman di sekolah.
Aku dan Ki Rono berlari menyusuri jalan provinsi, entah sudah berapa puluh kilometer jarak yang kami tempuh, namun orang tua itu belum terlihat letih. Sementara keringatku sudah membanjiri tubuhku, sangat melelahkan.
“Kau luar biasa, Gee. Napasmu sangat baik.”
“Justru saya heran dengan Ki Rono, saya nyaris tak sanggup mengimbangi.”
“Cepat, Gee. Nanti kita terlambat.”
“Sebenarnya kita mau ke mana?”
Ki Rono tak menjawab dia mempercepat larinya, aku mengikuti meskipun aku sudah sangat letih.
“Kita istirahat dulu sambil menunggu seseorang, aku akan memperkenalkan kau dengan orang itu.” Kata Ki Rono.
“Siapa?” tanyaku heran. “Nanti kau akan tahu.”
Kami menunggu cukup lama di tebing batu, beberapa kendaraan hilir-mudik di jalan, sementara orang yang kami tunggu belum datang juga. Aku semakin heran dengan sikap Ki Rono kali ini, dia seperti tak sabar menunggu sesuatu, beberapa kali dia melihat ke ujung jalan.
“Sebenarnya siapa orang yang kita tunggu?” tanyaku penasaran.
Ki Rono tak menjawab matanya masih terus mengawasi ujung jalan. Sebuah truk container melintas dan bersamaan dengan itu sebuah bayangan hitam berkelebat. Ketika sampai di tikungan jalan truk container oleng dan akhirnya terguling. Seorang gadis berdiri tegak dengan pakaian hitam ketat berbahan kulit, lalu gadis itu mengobrak-abrik isi container.
“Apa yang terjadi dengan truk itu dan siapa gadis itu?” tanyaku.
“Itu gadis yang akan aku perkenalkan padamu!” jawab Ki Rono dan setelah itu dia melesat menuju truk container yang terbalik.
Melihat orang tua itu melesat, aku tak tinggal diam. Sungguh aku terkejut bukan kepalang setelah tahu apa isi container itu.
“Container itu berisi narkoba!” kata Ki Rono Kentir.
Gadis berpakaian hitam itu menatapku dan dia mundur beberapa langkah ketika melihat wajahku. Sementara dadaku bergetar hebat ketika melihat wajah cantiknya, penampilannya seperti Black Widow dalam film The Avengers. Aku clingak-clinguk mencari Ki Rono, tapi orang tua itu sudah tak ada di tempatnya.
“Siapa gadis ini?” tanyaku dalam hati.
Gadis berpakaian serba hitam itu mendekatiku, dia menelisikku dari ujung kaki sampai ujung rambut.
“Aku sudah mengenalmu, wajahmu ada di mainan kaca itu!” kata gadis itu.
“Mainan kaca, apa maksudmu?”
“Piramida kecil, setiap hari aku melihat wajahmu. Mainan kaca itu kudapat dari seseorang dan dari dia aku tahu tentang dirimu. Lihatlah apa isi container itu, barang-barang itu sudah merusak mental generasi muda dan menghancurkan bangsa dan negara. Bantu aku berjuang membebaskan negeri ini dari kejahatan.” Kata gadis itu, kemudian dia melesat meninggalkan kebingunganku.
Sirine polisi meraung mendekati truk container yang tadi terguling, Sementara warga sudah mulai berkerumun mengelilingi truk container yang ternyata berisi narkoba itu. Aku menghampiri Ki Rono yang tengah asyik meghirup teh hangatnya di sebuah warung kecil tak jauh dari tempat kejadian.
“Namanya RA. Ningtyas Sedayu, keluarga keraton, anak pejabat tinggi di negeri ini. Walaupun dia seorang gadis, dia biang kerok dari semua perampokan yang terjadi di daerah ini, polisi tak berani menangkapnya.” Kata si ibu pemilik warung geram.
“Kurang ajar betul dia, siapa bapaknya?” tanyaku sambil melihat ke arah mana gadis itu pergi.
“Dia lebih dari kurang ajar, dia itu gadis berhati iblis!”
“Diakah gadis ningrat liar itu?” tanya Ki Rono Kentir.
“Percaya atau tidak, walaupun dia keturunan ningrat, tapi hobinya merampok dan berjudi. Dari hasil judinya dia sudah meraup keuntungan miliaran rupiah dan dia juga menjadi ketua kelompok preman yang suka minta uang jatah di pasar. Kadang tak segan mereka merampok atau menjarah super market. Pokonya dia gadis brengsek luar biasa, sama orang tuanya saja berani melawan dan menentang adat keraton!” kata si ibu kian geram.
Aku menelan liurku dan menatap Ki Rono penuh tanya, kenapa gadis brengsek itu akan diperkenalkan padaku?
Ki Rono tersenyum, si ibu pemilik warung bercerita lagi. “Tapi yang saya heran hasil jarahan atau rampokannya tak pernah diambil, selalu dihancurkan atau dibuang ke sungai. Ada juga yang dibakar di tengah lapangan dan menjadi tontonan warga, terutama makanan anak-anak dan susu bayi. Saya ngenes, mbok yo ojo dibakar, barang-barang tersebut masih dibutuhkan. Gadis itu sudah sinting, sudah edan! Ketika dikepung warga dia berhasil lolos, bahkan beberapa warga terluka. Gadis itu memiliki ilmu bela diri yang tak gampang dikalahkan.”
Aku menelan liurku yang terasa getir.
“Kini warga kekurangan susu bayi, ibu-ibu mengeluh. Sementara polisi masih diam tak berani menangkapnya dan saat dia ditanyai wartawan, gadis edan itu menjawab seenaknya.”
“Apa kalian tak punya tetek untuk menyusui bayi kalian?!” Aku mulai tertarik dengan cerita itu, bukan soal tetek-nya, tapi ada sesuatu di balik cerita si ibu.
“Ayah ibunya lelah menasehatinya, tak jarang dalam keluarga terjadi perdebatan sengit. Satu sama lain saling menyalahkan atas perbuatan gadis ningrat itu. Bagaimana tidak, mereka keluarga terpandang yang menjunjung tinggi adat istiadat keraton. Ibunya seorang Putri Agung, pengusaha sukses, pemilik bank swasta ternama. Yang membuat warga marah saat gadis itu membakar beberapa pabrik tahu milik warga, tak ada yang tahu apa alasannya? Untunglah ketika dia membakar pasar polisi dapat mencegahnya. Alasannya, dia tak ingin ada barang impor yang masuk ke Nusantara, terutama susu bayi dan makanan anak-anak. Dia mendesak agar MUI membuat Fatwa Haram untuk produk susu bayi dan makanan anak-anak.” Kata si ibu geregetan.
Gadis bernama Ningtyas Sedayu itu ternyata lebih sinting dari aku dan Ki Rono. Kalau dia laki-laki aku maklum, tapi dia perempuan, berdarah ningrat pula. Tak heran jika kepala ayahnya seperti ditimbuni lahar Gunung Merapi.
“Berita paling bodoh dan menghebohkan saat dia ingin mendirikan partai politik. Semua orang yang membaca berita itu tertawa, usianya saja belum tujuh belas tahun, mana mungkin bisa? Gilanya lagi, dia ingin menjadi presiden. Betul- betul edan!” kata si ibu, kali ini dia tertawa. Aku dan Ki Rono ikut tertawa.
“Melihat anak gadisnya bertingkah seperti itu bapaknya semakin pusing. Soal partai politik tak jadi masalah, yang disayangkan gadis itu sudah tak punya tata krama. Itu yang saya tahu tentang gadis ningrat liar bernama RA. Ningtyas Sedayu. Selebihnya saya tak tahu apa yang ada di otaknya.” Kata si ibu mengakhiri ceritanya.
Ki Rono mengelus dagunya, sebenarnya dia sudah tahu cerita soal gadis ningrat bernama Ningtyas Sedayu itu, surat kabar sering memberitakan semua sepak terjangnya. Dari aksinya membakar pabrik tahu dan gudang makanan, sampai usaha pembunuhan atas dirinya. Tapi usaha pembunuhan itu gagal, selain cerdas dan memiliki ilmu bela diri tingkat tinggi, dia dilindungi beberapa orang yang juga luar biasa.
Aku membayangkan keberanian dan kegilaan gadis itu, tapi yang membuat aku heran, kenapa Ki Rono ingin memperkenalkan aku dengannya? Seorang Ningtyas saja sudah bikin repot banyak orang, ditambah dengan aku yang juga tak waras? Rencana gila apa lagi ini?###
A
walnya RA. Ningtyas Sedayu gadis penurut, dia sangat menghormati kedua orang tua dan adat-istiadat keraton, bahkan dia lebih feodal dari kerabat keraton lainnya. Semua sendratari dikuasai dengan baik, dia penari terbaik yang dimiliki keraton. Hampir semua pagelaran adat yang diadakan selalu melibatkan dirinya. Ningtyas itu gadis cerdas, dia selalu mendapat nilai terbaik di sekolahnya. Cita-citanya ingin menjadi seorang peneliti atau ilmuwan. Kedua orang tuanya sangat mendukung, bahkan demi cita-citanya itu dia dibuatkan laboratorium sendiri di rumahnya. Orang tuanya tak segan mendatangkan ahli untuk membimbingnya. Mulailah gadis itu berkutat dengan dunia penelitian, banyak hal yang ditemukan dalam penelitiannya. Di satu sisi dia senang, tapi di sisi lain membuat dia murung atas penemuannya.
Untuk menguji hasil penelitiannya Ningtyas tak hanya berkutat di laboratorium saja, sekali waktu dia mendatangi objek yang menjadi bahan penelitian. Berbagai riset dilakukan guna memperkuat hasil penelitian itu, dia terkejut dengan apa yang dilihatnya. Ningtyas menangis membayangkan apa yang akan terjadi pada bangsa dan negaranya di masa depan.
“Jadi selama ini bangsa kita telah...?” gumam Ningtyas sedih, seluruh tubuhnya lemas dan dia tak sanggup berkata- kata lagi.
Semua hasil penelitian itu dilaporkan kepada ayahnya, tapi ayahnya tak peduli bahkan meminta agar Ningtyas menghentikan kegiatannya. Ningtyas kecewa atas sikap ayahnya, lalu dia mencoba memberikan data-data itu ke badan atau dinas terkait, tapi tak mendapat jawaban memuaskan. Akhirnya dia mencoba memberanikan diri menulis surat kepada presiden, namun sampai tiga kali berkirim surat tetap tak mendapat respon positif dari presiden. Ningtyas Sedayu pun marah, jadilah dia seperti sekarang ini, menjadi gadis pemberontak.
Sebenarnya apa yang dilakukan Ningtyas ingin memberitahu kepada publik, apa yang ditemukannya sangat berbahaya untuk kesehatan dan kelangsungan bangsa dan negara. Selama tiga puluh tahun lebih bangsa ini telah diracuni, ironisnya itu dilakukan oleh pengusaha yang bekerja sama dengan para oknum penguasa. Namun masyarakat justru mencibir dan mencela semua yang dilakukan gadis ningrat itu. Ningtyas pun semakin tak terkendali.
Keluarganya sudah putus asa atas perbuatan Ningtyas, ayahnya berencana untuk menikahkan dia dengan pemuda bernama RM. Tangkas Satrio, Insinyur lulusan Netherland. Semua orang tahu pemuda itu cukup tampan, cerdas dan kaya raya. Siapa pun gadis yang melihatnya akan langsung jatuh hati. Ayahnya berharap setelah menikah Ningtyas bisa berubah menjadi lebih baik, namun harapan ayahnya justru sebaliknya Ningtyas semakin liar dan gila. Apalagi ketika tahu siapa pemuda yang akan dijodohkan dengannya. Dia menolaknya dengan tegas dan langsung mendatangi pemuda bernama RM. Tangkas Satrio itu.
“Kau boleh tampan, kau boleh kaya, kau boleh membanggakan sekolahmu di luar negeri dan kau boleh jadi pujaan gadis-gadis dungu di negeri ini. Tapi buatku tidak Raden, aku tahu siapa dirimu. Sejak zaman kakek moyangmu kita ditakdirkan tak pernah bersatu. Kakek moyangmu dan leluhurku saling berperang. Kakek moyangmu manusia serakah yang hanya mementingkan perutnya sendiri dan rela menjadi jongos penjajah. Sementara leluhurku berjuang mati-matian membebaskan negeri ini dari kaum penjajah. Untuk itu kau jangan bermimpi menikah denganku!” kata Ningtyas Sedayu murka.
RM. Tangkas Satrio tak mengerti apa yang diucapkan Ningtyas, dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Di depan gadis itu dia benar-benar berubah menjadi dungu. Apalagi saat bertatapan mata dengannya, dia menjadi sangat bodoh, tak sesuai dengan pendidikan dan gelarnya.
“Aku tak mengerti maksudmu, Raden Ajeng?”
“Kau memang tak akan pernah mengerti, sebab kau anak bodoh keturunan dari nenek moyang yang juga bodoh! Jika kau tersinggung mendengar kata-kataku ini, silahkan. Aku senang melihat kalian marah, biar ada alasan kita berperang lagi, melanjutkan perang leluhur kita yang tertunda. Kuberi tahu padamu, kau keturunan Tejo Satrio pengkhianat perjuangan Mataram. Dan kuingatkan padamu, demi bangsa dan negara aku sudah siapkan nyawaku jauh-jauh hari!” jawab Ningtyas Sedayu, lalu dia pergi dengan dada bergemuruh.#####
KAMU SEDANG MEMBACA
Indigo Mencari Tuhan [TAMAT]
Historical Fiction(TELAH TERBIT) - TAMAT Jangan lupa kasih bintang dan share cerita ini ya :) Blurb Sakit kepala yang diderita anak laki-laki bernama Gee, bukan sakit kepala biasa. Jika sakit kepalanya muncul membuatnya sangat menderita, bahkan kepalanya sampai menya...