8 - Laut untuk Kesejahteraan Manusia

41 4 1
                                    

Debur Pantai Selatan mengguncang hatiku, setiap gulung gelombang yang datang terdengar bagaikan suara yang memarahiku. Namun setelah itu, ada suara lain yang begitu senang dengan kedatanganku. Aku tak peduli dengan suara- suara misterius itu, kedatanganku ke pantai ini demi tugas sekolah.  Kami harus membuat sebuah Karya Tulis untuk melengkapi nilai ujian kami. Kami harus bisa menggali potensi yang ada di Pantai Selatan ini, baik secara sosial maupun ekonomi. Meski demikian kami diberi kebebasan untuk mencari sendiri nilai yang terkandung di pantai ini. Intinya, kami harus membuat karya tulis ‘Laut Untuk Kesejahteraan Manusia’.
          Kebetulan ayahku berasal dari daerah pantai, beliau tahu betul tentang laut, apa saja yang terkandung di dalamnya? Tapi sayang, kini Pantai Selatan tak selestari dahulu, gugusan terumbu karangnya sengaja dirusak, hutan bakau dan tanaman mangrove lainnya nyaris punah, membuat abrasi air laut tak terkendali, menjadikan struktur tanah di sekitar pantai berubah. Selain itu banyak tempat yang sudah dirubah peruntukannya. Villa dan penginapan liar tumbuh berjajar bagai jamur di musim hujan. Entah apa yang dilakukan para penghuninya di dalam sana? Itu bukan urusanku, tapi aku sedih melihatnya. Ingin rasanya aku cepat menjadi sarjana, aku ingin mengembalikan segalanya dan menjadikan tempat ini lebih baik, lebih lestari.
          Siti Harla sibuk sendiri, dia begitu teliti dan mencatat semua yang dilihatnya. Aku yakin karya tulis yang nanti dibuatnya akan sangat bagus, karena didukung data yang jelas dan akurat. Gadis itu memang selalu begitu saat mendapat tugas dari sekolah, tak heran jika setiap tahun ia mendapat ranking  pertama di kelas. Sementara nilai raportku sangat tak enak dipandang. Kata wali-kelasku sebenarnya aku cerdas bahkan genius, tapi aku pemalas dan sering bikin masalah di sekolah. Hasilnya, aku nyaris tak naik kelas.
          Setelah   sibuk mencatat   dan menyimpan berbagai data, Siti Harla menghampiriku yang tengah sibuk melamun. Aku menatap laut lepas, aku bertanya pada diriku sendiri, mampukah aku menyibak isi lautan. Ada apa di dalamnya?
          Siti Harla mengeluarkan sebuah botol kosong dari dalam tasnya, dia menuliskan sesuatu dan memasukannya ke dalam botol kosong tadi.
          “Botol ini berisi permintaan dan cita-citaku, akan kulempar botol ini ke tengah lautan. Semoga Tuhan menangkap dan membaca keinginan dan cita-citaku.” kata Siti Harla sambil tersenyum.
          Aku mengerutkan dahi tak mengerti apa yang dilakukan gadis itu, tapi sebelum aku bertanya lebih jauh, dia sudah melempar botol itu ke tengah laut sambil berteriak lantang.
          “Tuhan! Aku ingin jadi dokter, aku tak mau jadi orang miskin!”
          Aku bangkit dari lamunanku, aku tertarik dengan apa yang dilakukan Siti Harla dan kulihat dia mengeluarkan sebuah botol dan secarik kertas, lalu diberikan padaku.
          “Tulislah apa yang menjadi keinginanmu, semoga Tuhan mengabulkannya!”
          Aku berpikir sejenak apa yang harus kutulis, akhirnya kutulis juga keinginanku, lalu kumasukan ke dalam botol dan aku melemparnya ke tengah lautan sambil berteriak keras.
          “Tuhan, aku ingin bertemu dengan-Mu, aku ingin memprotes Mu...!!” teriakku keras dan kesal.
          Kedua botol yang berisi keinginan dan cita-cita kami timbul tenggelam diremas gelombang. Mataku tak berkedip menatap kedua botol tersebut. Semoga Tuhan berkenan mengabulkan keinginan kami. Aku dan Siti Harla terkejut ketika gelombang besar   tiba-tiba datang susul-menyusul, laut bergemuruh hebat seperti hendak menumpahkan seluruh isinya. Siti Harla memegang tanganku dan dia menangis. Gemuruh ombak yang datang ternyata dibarengi dengan ratusan lumba-lumba yang akhirnya membawa botol berisi cita-cita kami. Aku dan Siti Harla saling pandang, ada keharuan yang menyelimuti hati dan pikiran kami.
          “Tuhan menerima keinginan kita, Gee.” Kata Siti Harla dengan air mata berderai.
          “Semoga saja begitu, Harla.”
          Siti Harla menatap wajahku, aku malu, aku salah tingkah.
          “Gee, setelah lulus nanti masihkah kau mengingatku?” tanya Siti Harla pelan.
          Aku tak menjawab pertanyaan itu, mataku masih menatap batas lautan.
          “Geeeee…?” teriak Siti Harla kesal. Lamunanku buyar.
          “Kata orang masa paling indah adalah, masa-masa SMA. Jadi rugi rasanya jika kita melupakan masa itu. Banyak orang yang ingin masa SMA-nya terulang kembali.” Jawabku sok dewasa.
          Siti Harla tersenyum puas atas jawabanku.
          Kegiatan pembuatan karya tulis sangat padat, sehingga kami harus bermalam di pantai ini. Rencana semula memang seperti itu, kami memasang tenda untuk berkemah. Angin berdesir kencang, dingin mulai merambat menusuk kulit. Aku gelisah dalam dinginku. Dari kejauhan kudengar suara orang memanggil-manggil namaku, aku keluar dan mencari siapa yang memanggilku.
          Seperti   yang pernah   dikatakan bahwa   kelahiranku telah mengguncang iblis, sehingga kemana pun aku pergi keselamatanku terancam. Semula aku tak menyadari, namun ketika usaha pembunuhan itu terjadi berulang-ulang, baru aku tahu mereka tidak menginginkan keberadaanku.
          Aku berjalan mencari sumber suara itu, seberkas cahaya semerah darah tiba-tiba menghantamku. Aku terpental dan jatuh berguling-guling di pasir, dadaku terasa sesak, darah keluar dari mulut dan hidungku. Ternyata aku telah dikepung beberapa cahaya jahat yang siap membunuhku. Aku tak sempat berpikir apalagi berlari dari tempat itu, tapi ketika cahaya itu kembali menghantamku, seberkas cahaya lain datang menghadang. Terjadi ledakan hebat yang mengguncang tempat tersebut, bumi bergetar bagai dilanda gempa. Beberapa pohon tumbang dan terbakar.
          Itu   pengelihatan   mata telanjangku,   padahal tidak seperti itu. Ketika kuperhatikan benar-benar ternyata cahaya semerah darah itu adalah, sosok iblis yang sangat menakutkan. Sementara cahaya perak yang tadi menghadang, adalah sosok seorang gadis cantik membawa biola bernama Nirmala Kanza. Kini mereka tengah bertarung hebat.
          “Walau anak itu jelek dan menjijikkan, tak kubiarkan kalian menyentuhnya!” kata Nirmala dengan bibir liar.
          “Sejak dahulu kau selalu ikut campur urusan kami, maling kecil. Hari ini akan kubunuh anak itu, paling tidak akan kubuat cacat seperti ayahnya.” Jawab iblis.
          Mendengar  ucapan iblis  itu aku terkejut,  saksi mata yang melihat kecelakaan ayahku ternyata  benar. Supir truk itu bukanlah manusia, tapi iblis yang sengaja mencelakai ayahku, begitu juga kecelakaan yang dialami kakakku. Tetapi yang membuat aku kesal bukan ucapan iblis itu, justru ucapan gadis biola tengil itu. Apa benar aku ini jelek dan menjijikkan. Sial betul, dia menghinaku. Meskipun dia membelaku aku tak sudi dikatakan jelek. Kapan waktu kutampar mulutnya usilnya. Dasar perempuan!
          Iblis-iblis itu dihajar Nirmala Kanza, tapi nampaknya mereka tak mau mengalah begitu saja. Pertarungan bertambah sengit seperti film action layar tancap yang pernah kutonton di lapangan Balai Desa. Beberapa kali aku dikejutkan oleh suara ledakan dan guncangan, pasir berhamburan. Sesekali tubuhku ikut terhempas, namun anehnya aku tak merasakan sakit. Sesosok iblis terjungkal dan menjerit, akhirnya pupus menjadi asap kelabu. Sementara keempat iblis lain terus mengeroyok gadis biola itu. Nampaknya gadis biola itu sudah mulai kesal, dia tak ingin membuang waktu lebih lama. Gadis itu menjentik keempat dawai biolanya dan dari dawai-dawai biola itu keluar cahaya warna-warni meluncur seperti peluru. Keempat iblis itu menjerit dan pupus. Aku terperangah, aku tak sanggup berkata-kata lagi.
          Nirmala Kanza menatapku tajam dan marah.
          “Dasar jelek, menjijikkan! Bukan membantu, malah jadi penonton saja!”
          “Sebenarnya siapa dirimu?” tanyaku heran.
          “Aku malaikat penjagamu! Sejak semula sebenarnya aku malas menjagamu. Aku tahu, kau pasti menyebalkan!”
           “Siapa suruh. Aku bukan anak kecil, aku bisa menjaga diriku sendiri?” jawabku tak kalah kesal.
          “Apa kubilang, kau menyebalkan!” jawab gadis biola itu, lalu dia melesat pergi.
          Aku kembali ke tenda dengan seribu tanya. Badanku mulai terasa linu, sebab beberapa kali aku terhempas menghantam bebatuan. Sejak bertemu dengan gadis biola itu aku selalu teringat akan sosoknya yang cantik dan tengil. Aku merasa kemana pun aku pergi dia selalu membayangi diriku. Sosoknya akan hadir saat aku dalam kesulitan, saat aku terdesak.
          Sungguh hidupku seperti di dalam mimpi. Berbicara tentang mimpi, aku sering bermimpi yang aneh-aneh. Aku pernah bermimpi masuk ke dalam sebuah lubang hitam sangat kecil yang membuatku nyaris mati. Ketika sadar, aku sudah berada di suatu tempat yang dipenuhi oleh salju. Semua penghuninya manusia bersayap seperti malaikat, mereka membawaku ke dalam satu pertempuran sengit. Namun mimpi yang tak pernah kulupa dan sering terjadi padaku adalah, hadirnya seorang laki-laki agung berjubah putih yang selalu bersenandung memuji Keagungan Tuhan.
          Aku tak tahu apa arti mimpiku itu, tapi yang jelas di usiaku  yang baru enam belas tahun banyak peristiwa aneh yang aku alami. Pernah sekali waktu aku bercerita pada ibuku, tentang peristiwa antara sadar dan tidak. Aku melihat ibuku menunggang seekor kuda perang, dia membawa tombak tajam. Ibuku menjura hormat kepada seorang yang sangat dihormati. Orang itu menunggang kuda putih, mengenakan jubah dan ikat kepala yang juga putih. Orang yang terlihat sangat berwibawa itu bernama Ontowiryo. Peristiwa mimpi yang kulihat itu bukan hanya sekali, tapi berkali-kali.
          Mendengar cerita itu ibuku tersenyum getir. “Itu hanya mimpi. Gee.” Jawab ibuku dingin.
          Kalau sudah begitu aku terdiam tak melanjutkan ceritaku. Tapi itu mimpi yang sangat jelas, mimpi yang begitu lengkap dan dapat ku urai setiap tempat dan titik kejadiannya.
          Di dalam kamarnya ibuku menangis, aku heran melihat sikapnya selama ini. Wajahnya seperti orang yang menyimpan misteri penyesalan, di dalam tangisnya ada yang selalu   ia ucapkan.
          “Maafkan saya, Kanjeng Pangeran. Saya tak sempat mencegah penangkapan itu. Jika itu jadi amarah atas diri saya, cukup saya saja yang menerima hukuman itu. Jangan libatkan anak saya.” Ucap ibuku sambil terus sesenggrukan.
          Siapa   Kanjeng  Pangeran yang dimaksud? Ternyata misteri kelahiranku dibarengi misteri orang-orang yang ada di sekelilingku. Kini aku terjebak dalam pusaran misteri itu dan sulit untuk keluar. Aku semakin yakin, aku ini memang anak kutukan.
          Angin Pantai Selatan kian menusuk tulang, desaunya berubah menjadi gemuruh hebat. Banyak orang yang meyakini, Pantai Selatan ini masih menyimpan ribuan misteri yang tak gampang terungkap. Itu hanya sebagian kecil dari misteri yang tersembunyi di negeri seribu pulau ini. Sebuah negeri yang terletak di antara dua benua dan dua samudera, bernama Nusantara. Aku merinding setiap kali mengucapkan nama negeri ini.

#####

Indigo Mencari Tuhan [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang