7 - Cerita Orang Buta

55 5 0
                                    

Atas  perbuatan  dan kenakalanku  ibuku dipanggil Kepala Sekolah, guna membicarakan masalah itu. Aku dianggap telah   memprovokasi   dan menghasut   teman-teman untuk tidak percaya dengan beberapa pelajaran, terutama pelajaran agama. Semua data kesalahan dan perbuatan buruk yang pernah kulakukan, dibacakan di depan ibuku. Selain sering memprovokasi, katanya aku sering menjahili teman-teman perempuanku sampai mereka menangis, ditambah setiap hari aku keluar-masuk lewat jendela kelas. Namun yang membuat ibuku tak percaya, aku pernah menepuk bokong guru montok istri kepala sekolah dengan sengaja. Data-data merah itulah yang menjadikan aku layak untuk dikeluarkan dari sekolah alias dipecat!
          Ibuku menangis, aku kasihan melihatnya, dia terintimidasi oleh ucapan kepala sekolah. Aku tak rela ibuku diperlakukan seperti  itu, aku pun masuk menemui mereka yang tengah berbincang serius. Mereka tercengang saat aku mengatakan sesuatu, sebab kata-kata itu tak mungkin keluar dari mulut anak yang dianggap tak waras.
          “Tuhan mencipta alam semesta untuk dipelajari, bukan untuk direka-reka dengan bahasa kesombongan, apalagi merasa paling benar sendiri. Semua harus diperhitungan dengan tepat, bukan  mengada-ada. Mungkin itu yang membuat hubungan kita dengan Tuhan menjadi rusak. Jika Tuhan menciptakan jagad raya secara sembarangan atau tidak dengan perhitungan, sudah sejak  dahulu jagad raya hancur. Benda langit akan saling bertabrakan, planet, matahari, bulan dan bintang akan berguguran menghantam bumi. Jika gerak bumi tak stabil, sejak dahulu bumi terbelah-belah atau hancur menjadi debu. Aku tak pernah menghasut siapa pun, apa yang aku katakan sebuah kenyataan. Mungkin karena aku masih terlalu muda, sehingga kalian tak percaya padaku.” Kataku kesal.
          Ibuku dan kepala sekolah diam membisu, mulut mereka seolah terkunci. Sebab suara yang keluar dari mulutku sepertinya bukan suaraku lagi, kali ini suaraku terdengar berat dan dewasa. Entah roh siapa yang telah marasuk ke dalam tubuhku.
          Aku melanjutkan kata-kataku.
          “Aku tak akan beribadah atau memeluk agama apapun, sebelum aku mengenal Tuhan yang sebenarnya. Menurutku keberadaan agama di muka bumi sudah gagal, satu sama lain saling merendahkan, saling menistakan. Mengapa begitu? Sebab kita belum  mengenal Tuhan dengan baik dan benar. Apa yang kalian jelaskan tentang Tuhan, sangat jauh dari apa yang kuharapkan. Aku yakin, Tuhan tidak seperti itu. Tuhan yang kalian jelaskan padaku, Tuhan yang hanya ada dalam angan-angan. Kalian berkhayal tentang sosok Tuhan, kemudian khayalan itu kalian sampaikan kepadaku. Kalian berharap aku akan menyampaikannya kepada orang lain, lalu orang lain itu bercerita kepada orang lain lagi, begitu seterusnya. Itu sama artinya orang buta bercerita tentang indahnya langit kepada orang buta lainnya. Itu kebohongan turun-temurun yang selama ini terjadi dan celakanya kebohongan itu telah menjadi doktrin yang harus diibadahi. Ada satu hal lagi yang aku tak setuju, kenapa Tuhan harus ditakuti? Jika kita takut, kita tak akan pernah mengenal Tuhan dengan baik dan benar. Menurutku Tuhan jangan ditakuti, justru Tuhan harus dicintai atau dirindui.” Kataku semakin kesal.
          Aku  tahu gemuruh  apa yang terjadi  di dada ibuku, mata dan telinganya memang mendengar semua celotehku, tapi sebenarnya pikiran ibuku tengah mengembara ke masa lalunya yang teramat pahit. Air matanya mengalir, derita pahit hidupnya ternyata telah diwariskan kepadaku.
          “Kita  hanya berteori  tentang gerak bumi  pada porosnya, namun kita tak pernah berpikir tentang energi penggeraknya. Pasti ada kekuatan Maha Dahsyat yang mampu menggerakkannya. Jawabannya hanya satu yaitu, Tuhan! Tapi Tuhan yang mana, seperti apa wujud dan rupa Nya? Kata-kataku ini memang terdengar gila dan sesat, sebab aku tengah mencari Tuhan yang sebenarnya Tuhan. Tuhan yang menciptakan alam semesta, menjaga keutuhan bumi, memberi makan dan minum semua makhluk hidup. Tuhan yang memberi kekuatan padaku sehingga aku dapat melakukan apa yang aku mau!” kataku bergetar, mataku menyala.
          Suasana hening, tapi tegang. Ibuku tak menimpali kata- kataku, kepala sekolah menelan air liurnya. Yang jelas hari ini dia bertambah kesal melihatku.
          “Semua orang menganggapku tak waras. Aku anak nakal yang setiap hari keluar-masuk lewat jendela kelas. Aku sadar, aku tahu. Aku sudah terlalu banyak menyusahkan keluargaku dan orang lain. Namun kalian tak pernah mau tahu apa yang aku pikirkan. Kalian hanya berpikir untuk kepentingan diri kalian sendiri tanpa melihat kondisi orang lain. Tuhanku mungkin berbeda dengan Tuhan kalian.”
          Dada ibuku bergetar, tapi tak sepatah-kata pun terucap dari mulutnya. Sementara bapak kepala sekolah hanya tertunduk, dia tak berani menatapku.
          “Baiklah, soal Tuhan hari ini kita lupakan saja, mungkin Tuhan sedang malas untuk dibicarakan. Kita tak akan menemukan jawaban yang tepat. Maafkan atas semua kesalahan dan perbuatanku. Mengapa aku menepuk bokong guru cantik istri kepala sekolah ini? Sebab aku sering melihat bokong  itu suka dipegang banyak guru laki-laki di sekolah ini, mereka melakukannya sambil tertawa senang. Aku jijik melihatnya! Guru cantik itu juga menjadi Raja Peras yang gemar memeras murid sendiri. Dia tak peduli muridnya anak orang kaya atau yatim piatu seperti Siti Harla. Jika bapak ingin pecat saya dari sekolah ini, pecatlah sekarang!” tantangku tegas.
          Mendengar kata-kataku bola mata kepala sekolah terbelalak, tubuhnya kejang-kejang. Entah dia struk mendadak atau epilepsinya kumat. Kasihan dia, istri cantiknya telah berselingkuh dengan banyak guru laki-laki di sekolah ini.
          Aku keluar dari ruangan itu, ibuku linglung tak bersuara, dia masih tak percaya dengan  apa yang kukatakan. Namun ketika  melihat nasib bapak Kepala sekolah,  ibuku iba. Laki- laki paruh baya itu lemas tak berdaya, sorot matanya kosong dipenuhi rasa putus asa yang dalam. Semoga saja dia tabah menerima kenyataan tentang istrinya dan semoga dia tak melepas tambang jemuran untuk kepentingan lain.
          Tanpa kusadari ternyata aku menangis, air mataku mengalir  membentuk sungai kecil di pipiku dan menetes jatuh ke tanah berdebu. Sungguh kalian tak pernah tahu akan kesulitan hidupku. Andai boleh aku memilih, ingin rasanya aku kembali ke rahim ibuku dan tak pernah mau dilahirkan kembali, apalagi sebagai anak indigo, anak kutukan!
          Aku menatap Merah Putih yang terpasang di halaman sekolah. Kali ini bendera itu malas berkibar, angin tak memberi semangat padanya, mendung menutupi kibar kelabu sang merah putih. Bisakah aku menjadi anak berguna buat nusa, bangsa dan agama? Dapatkah aku mengibarkan sang merah putih di dadaku sesuai harapan ibuku. Dengan keberadaanku seperti ini, aku mulai ragu. Sungguh aku sedih.

######

Indigo Mencari Tuhan [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang