15 - Tuhan Lebih Dekat dari Urat Lehermu

47 4 0
                                    

Aku terbaring di sebuah ruang serba putih, kupikir aku sudah mati. Tapi ketika kulihat perempuan cantik berambut pirang itu datang, barulah aku tahu, aku berada di istananya yang megah. Dia datang bagai bayang-bayang, terkadang tubuhnya terlihat jelas, kadang samar-samar dan menghilang. Cahaya perak yang membalut tubuhnya perlahan berubah menjadi biru sangat lembut, perempuan itu berdiri menatapku.
          Aku bangkit dari tidurku dan duduk bersandar.
          “Selamat datang kembali di istanaku, sudah lama aku tak mengajakmu ke sini. Dahulu warga kampungmu heboh, mereka mencari keliling kampung dengan menabuhi bermacam-macam peralatan dapur, mereka bilang kau diculik wewegombel. Aku tertawa melihat wajah mereka yang coreng-moreng seperti kucing garong. Mereka dikerjai oleh Ketua RT mereka sendiri. Sekarang kau sudah besar, sudah remaja enam belas tahun dan kulihat kau juga sudah punya pacar. Siti Harla sangat cantik dan baik. Tapi, Gee…”
          Georgyna Gabrilla menghentikan ucapannya.
          “Tapi apa?” tanyaku penasaran.
          “Sungguh aku tak bermaksud merendahkan Siti Harla, bagiku dia gadis terbaik yang pernah kulihat, dia gadis pantang menyerah, tapi bukan dia yang kau butuhkan. Kau membutuhkan pendamping tangguh, kuat lahir dan batin, sebab hidupmu penuh bahaya dan maut, Siti Harla akan jadi titik lemahmu. Selama ini aku berusaha menjaga gadis itu dari iblis atau orang yang akan mencelakainya, bahkan saat dia hendak dijual ke laki-laki hidung belang,” kata Georgyna Gabrilla.
          Aku diam, aku membiarkan dia melanjutkan kata-katanya.
          “Maafkan aku, waktu itu aku mentransfermu hanya sampai pohon rambutan, aku sangat letih. Lagi pula aku tahu, pohon rambutan itu pohon kesukaanmu. Buktinya setiap malam kau curi buahnya sampai-sampai pemilik pohon hanya kebagian daunnya saja.”
          Aku tersenyum mengingat peristiwa itu, menyenangkan sekaligus menyedihkan.Aku dimarahi si pemilik pohon rambutan dengan sebilah parang tajam. Meskipun dia membawa parang tapi aku tak takut, justru aku meledeknya dengan meniru jalannya yang diseret. Orang tua itu tak mungkin dapat mengejarku, sebab dia menderita struk. Jangankan berlari, berjalan saja sangat sulit. Dia meneriaki aku maling berulang-ulang, tapi warga tak peduli. Warga tahu si pemilik pohon rambutan kikirnya minta ampun. Lagipula rambutan yang kucuri tak pernah kumakan sendiri, selalu kubagikan warga. Jelasnya kejahatan yang kulakukan, terencana dan terorganisir, aku dalam perlindungan warga. Sekarang orang tua pemilik pohon rambutan itu sudah meninggal dunia, pohon itu diwariskan keanaknya. Karena sering menjadi sumber masalah dan fitnah, akhirnya pohon rambutan itu ditebang.
         “Dugaanku ternyata keliru, kupikir otakmu hanya sebesar biji rambutan. Setelah kusaksikan ternyata pikiranmu bisa membuat dunia kiamat,” kata perempuan hantu itu.
          Aku teringat peristiwa kemarin di pinggir sungai, seribu kali aku sesali tentang hidupku, tak akan mengubah keadaanku menjadi lebih baik. Jadi kubiarkan saja hidupku mengalir apa adanya, terserah aku mau menjadi apa.
          “Dahulu aku berjanji untuk melanjutkan kisah tentang hidupku dan menjelaskan tentang Tuhan yang sebenarnya Tuhan. Waktu itu aku tak bisa menjawab pertanyaanmu, sebab kau masih anak-anak. Tak baik menjelaskan hal itu kepada anak-anak. Selain itu kau masih menyesali kelahiranmu dan terpenjara pendapatmu sendiri tentang Tuhan. Kini usiamu sudah enam belas tahun, jadi bolehlah aku bercerita sedikit tentang Tuhan. Sebelumnya kau harus mengosongkan hati dan pikiranmu, membebaskan dirimu dari hawa nafsu, bahkan kau harus merdeka dari tekanan agamamu.”
          Aku mengangguk, aku sudah putus asa tentang Tuhan yang kuanggap tak ada.
          “Gee, tahukah kau berapa usiaku kini? Jika aku katakan kau tak akan percaya. Tapi percayalah aku lahir sebelum kekaisaran Romawi berdiri. Aku lahir di sebuah desa kecil di hamparan negeri indah bernama Yunani, jadi dapat kau kira-kira berapa usiaku kini? Entah sudah berapa peristiwa yang aku alami, aku sudah tak bisa mengingatnya lagi, bahkan ada peristiwa yang enggan kuingat, teramat menjijikkan!”
          Georgyna Gabrilla mengatur napasnya.
          “Aku berlari dari satu tempat ke tempat lain, terseret dari satu masa ke masa lain, tersungkur pilu, terjerembab penuh luka, mati, hidup, mati, hidup. Aku menembus ruang semesta tak beratap, tak berdinding. Melewati waktu yang tak berujung seiring putaran roda semesta yang tak pernah berhenti sejak puluhan juta tahun lalu. Usia alam semesta ini  sudah teramat tua, tak ada yang bisa menghitungnya dengan tepat. Jadi boleh kau renungkan kembali peristiwa bernama kiamat itu. Peristiwa yang akan menghancurkan alam semesta dan membinasakan makhluk hidup yang ada. Peristiwa itu belum terjadi, namun sudah menghantui hati dan pikiran manusia. Buatku itu teka-teki bahkan dongeng orang-orang yang bingung menafsirkan kitab suci. Harus kau ingat, jika satu peristiwa tak kunjung terjadi dalam kurun waktu yang teramat panjang, bahkan sejak puluhan juta tahun yang lalu, maka pernyataan tersebut harus dikaji kembali. Begitu pula dengan janji Tuhan, jika tak kunjung datang dalam kurun waktu yang sangat lama, sebenarnya Tuhan meminta kita untuk berpikir lagi. Pasti ada pemahaman lain yang lebih hak mengenai isi yang tertulis dalam kitab suci atau sabda para nabi.”
          Cahaya tubuh perempuan berambut pirang kembali berubah, kini menjadi biru tua dengan bintik-bintik emas. Keberadaannya membuat dirinya terlihat semakin tegas dan berwibawa. Sungguh aku terpana.
          “Ketika aku kecil, aku punya seorang sahabat bernama Liza de Gea. Dia melukis pemandangan alam sangat indah, berikut manusia dan hewan di dalamnya. Lukisan yang baru dibuatnya tiba-tiba jatuh. Gadis kecil itu bersedih melihat lukisan kebanggaannya basah dan kotor, didekapnya lukisan itu erat-erat dengan mata berlinang. Sesampainya di rumah lukisan tersebut dibersihkannya dengan sabar dan hati-hati. Itu baru sifat seorang anak manusia, seorang gadis kecil yang belum mengerti arti kehidupan. Tapi dia sudah begitu mengagumi keindahan dan arti sebuah penciptaan. Bagaimana dengan Tuhan Yang Mahakuasa pencipta alam semesta, apakah Tuhan akan menghancurkan karya Maha Agung ini? Menurutku tidak, Tuhan tak akan menghancurkannya, justru Tuhan akan selalu melindungi dan menjaganya sepanjang masa. Meskipun bumi hancur jadi debu, alam semesta tak akan tergganggu. Alam semesta akan abadi sesuai kehendak-Nya.”
         Tubuh perempuan astral itu melayang-layang bagai malaikat dan menebar harum semerbak tiada tara. Sementara cahaya biru yang tadi membungkus tubuhnya membias,
berpendar bagai rajutan benang sutra terurai. Perempuan itu berputar pelan mengitari tempat tidurku.
          “Bayangkan jika kiamat benar-benar terjadi, akan muncul pertanyaan di benak kita. Setelah kiamat apa yang akan dilakukan Tuhan? Apakah Tuhan akan menciptakan kehidupan baru? Menciptakan alam semesta dalam kurun waktu enam masa seperti dulu dan menciptakan Adam dan Hawa, berikut buah quldi yang membuat mereka terusir dari surga. Kemudian mereka mengembara di bumi, berkembang biak, anak-beranak, cucu-bercucu, begitu seterusnya sampai manusia kembali memenuhi planet bumi. Sungguh aku tak percaya itu.”
          Aku terdiam, aku juga pernah berpikir seperti itu. Aku tak percaya dengan apa yang disebut Big Bang atau Kiamat Besar.
          “Sudahlah, aku tak ingin membuat kepalamu bertambah
pusing atau terjadi debat kusir di antara kita. Soal kiamat, kita kembalikan kepada pribadi masing masing. Believe or not…!”
          Perempuan astral berambut pirang itu menatapku semakin tajam.
          “Aku tak ingin kau seperti diriku, menderita dalam kesunyian teramat panjang, sengsara di dalam ketakutan tak berujung, nestapa di dalam penyesalan tak putus-putus akibat dosaku dimasa lalu.Aku tak berbeda dengan dirimu, aku makhluk paling liar dan menjadi mesin pembunuh. Aku bertempur melindungi rakyatku, namun apa pun bentuk perbuatanku tetap saja aku membunuh, aku menghilangkan nyawa makhluk lain dengan cara paksa. Itu yang membuatku kini terdampar di kubangan dosa tak terampuni dan aku tersiksa dalam penantian panjang ini. Ini siksa kubur sebenarnya, neraka sesungguhnya.
Satu tempat maha angker yang sering diceritakan orang, namun sayang mereka tak tahu neraka sebenarnya apa. Jilatan api ganas berkobar-kobar belum seberapa jika dibanding neraka yang kini aku jalani. Neraka yang aku jalani sekarang ini jauh lebih mengerikan dan membosankan. Kau tahu di mana tempat sialan itu berada? Di sini, di dunia yang kini kita diami. Bukan di langit, bukan juga di tempat lain!”
          Mata perempuan itu berkaca-kaca, cahaya biru yang tadi membungkus tubuhnya mulai redup. Tubuhnya terlihat seperti manusia biasa, bahkan aku terkejut melihatnya. Sekujur tubuhnya dipenuhi luka bernanah, gaunnya yang semula terlihat indah berubah menjadi pakaian dipenuhi tambalan. Perempuan itu tak lebih dari seorang pengemis hina yang hidupnya sengsara. Kecantikannya sirna berubah menjadi buruk rupa, aku kasihan melihatnya. Tapi betapa pun dirinya berubah aku tetap mengaguminya. Dalam linangan air matanya ada sisa senyum yang membayangi bibirnya.
          “Ini aku yang sebenarnya, apa kau tak jijik melihatku? Ini belum seberapa, hanya bagian kecil dari neraka yang kujalani. Setiap kali aku dibangkitkan dari kematian selalu dalam bentuk yang berbeda, bentuk yang sangat tak kuinginkan. Aku pernah bersetubuh dengan pepohonan, aku pernah hidup bersama segerombolan hewan melata dan sekali waktu jiwa perempuanku terjebak ke dalam tubuh laki-laki, membuat aku menjadi banci rombengan. Semua derita pahit itu membutuhkan putaran waktu yang teramat panjang. Mesin waktu yang kumiliki seolah tak mau berputar, aku nyaris putus asa. Aku merasa sendirian di alam penantian teramat panjang ini. Tak seorang pun yang kucintai datang menemaniku dan tak ada yang bisa menolongku keluar dari neraka ini. Sedangkan doa orang-orang yang kucintai tak pernah sampai, sebab mereka tak tahu caranya. Doa yang mereka kirim buatku masih dalam bahasa manusia bukan bahasa roh, sehingga tak bisa
kuserap dengan baik. Seperti halnya dirimu, saat kau lapar kau membutuhkan nasi untuk dimakan, tapi kau dikirimi beras, sementara kau tak punya peralatan untuk memasaknya. Tentu saja kau akan sulit memakannya. Begitu juga dengan diriku, aku ini roh, wujudku cahaya. Jadi yang kubutuhkan semua dalam bentuk cahaya, tak sama dengan kebutuhan manusia. Tolong
ingat kataku, selama doa yang kau kirim buat leluhurmu masih dalam bahasa manusia, aku jamin doa itu tak akan sampai. Kau harus memprosesnya terlebih dahulu menjadi cahaya,” kata perempuan astral itu.
          Lagi-lagi aku diam. Memproses doa menjadi cahaya bukankah membingungkan? Biarlah aku memang ditakdirkan untuk selalu menjadi orang yang bingung!
           “Pertanggung jawaban manusia kepada Tuhan bersifat pribadi atau individual. Ketika kita mati semua akan terputus tak ada hubungan lagi dengan dunia, kecuali doa orang-orang yang kita cintai. Tapi seperti yang kukatakan tadi, semua itu percuma jika doa tersebut tak diproses menjadi cahaya. Saat kita mati semua hukum yang ada di dunia akan terpenggal, tak ada hubungannya dengan akhirat. Dengan kata lain, semua yang kita kerjakan di dunia hasilnya untuk dunia. Sedangkan untuk mendapatkan hasil yang bersifat akhirat, kita harus mengerjakannya di akhirat. Ini bagian paling sulit dalam menjelaskannya. Harus kau tahu, dari jutaan orang yang meninggal dunia hanya sedikit saja yang bisa berjumpa Tuhan-nya. Kesimpulannya, tak semua orang yang meninggal dunia itu bisa berjumpa Tuhan-nya. Suatu saat kau akan mengerti kata-kataku ini.”
          Tak dapat kubantah, aku memang bingung dengan kata-katanya. Seperti katanya tadi, itu bagian paling sulit dalam menjelaskannya. Bagaimana mengerjakan sesuatu di akhirat
padahal kita belum mati? Sungguh bahagia bagi mereka yang telah mengetahui cara itu.
          “Kerjakan perintah Tuhan dengan ihklas, sabar dan benar, sesuai keinginan-Nya, jika tidak kau akan sengsara seperti diriku. Harus kau tahu, firman Tuhan atau sabda para nabi banyak yang dikebiri para ahli kitab, terkadang pengertiannya bersifat tekstual saja, bahkan disimpang-siurkan membuat orang
semakin buta. Kebutaan itulah yang membuat perintah Tuhan sulit untuk dijalani. Sebenarnya Tuhan hanya meminta untuk dikenali hamba-Nya dengan cara berhadapan langsung. Seperti kau dan aku sekarang ini, saling bertatapan. Kedengarannya
sangat mustahil dan sesat, mana mungkin seorang hamba dapat berhadapan langsung dengan Tuhan-nya? Tapi harus kau ingat, Tuhan telah memberi banyak pelajaran tentang pertemuan itu kepada para nabi dan rasul (Ma’rifat). Sementara
para rasul telah menyampaikan pelajaran itu kepada masing-masing umatnya. Itulah sujud yang sebenar-benarnya sujud, tapi dari kebanyakan umat mengingkari pengetahuan itu.”
          Aku tercenung, buatku ini satu misteri lagi.
          “Akibat pengingkaran tersebut banyak umat yang terjebak dalam laku ibadah yang semakin jauh dari keinginan Tuhan-nya. Ironisnya, ibadah itu menjadi doktrin yang harus dijalani, bahkan tak sedikit ibadah dipolitisasi guna kepentingan golongan tertentu. Ada pula ibadah yang dikomersilkan, menumbuhkan sifat serakah dan tindak korupsi. Tak sedikit laku ibadah yang seharusnya menjadi berkah bagi umat, justru
menimbulkan silang pendapat dan kekacauan dan tak jarang ibadah dilakukan hanya demi gengsi. Namun yang mengiris hati adalah, ibadah yang semula ingin memberi sedekah untuk kaum duafa berubah menjadi penghinaan, bahkan menelan korban dari kaum duafa itu sendiri. Ibadah seperti itu dilakukan atau tidak buatku sama saja, tak memberi manfaat yang baik dan tak membuat Tuhan tersenyum, karena bukan itu keinginan Tuhan yang sebenarnya. Sekali lagi Tuhan hanya minta dikenali dan ditemui hamba-Nya. Hadapkan wajahmu pada wajah-Nya. Dengan seringnya menghadapkan wajah kita (sujud) kepada Tuhan, maka akan terbentuk ahlak yang mulia. Sedangkan laku ibadah lain merupakan efek positif dari pertemuan kita dengan Tuhan. Sebenarnya tak ada yang sulit atau sesat jika kita meyakini pengetahuan Ma’rifat, sebab Tuhan tak pernah
menyulitkan umatnya. Tuhan itu sangat dekat, bahkan lebih dekat dari urat lehermu. Carilah Tuhan dalam dirimu, jika kau keluar dari dalam dirimu, itu yang disebut tersesat,” kata Georgyna Gabrilla tegas.
         Kalimat terakhir itu pernah kudengar dari Ki Rono Kentir, namun dalam bahasa yang berbeda. Orang tua itu pernah mengatakannya.
         “Kita berada dalam diri Tuhan, antara kita dan Tuhan tak ada jarak. Kita tak bisa bersembunyi dari pendengaran dan penglihatan-Nya. Sekecil apa pun keinginan dan perbuatan kita, baik yang terucap maupun yang tersembunyi, Tuhan
mengetahuinya. Tapi hanya sedikit saja manusia yang benar-benar telah menghadapkan wajahnya kepada wajah Tuhan (sujud).” Georgyna Gabrilla berkata lagi.
          “Sekarang apa yang harus kau lakukan? Gunakan akal pikiranmu yang menjadi kesempurnaan manusia, yang menjadi awal terciptanya agama. Bunuh segala sesuatu yang ada dalam dadamu dan jangan biarkan benda busuk itu menguasai hidupmu. Jutaan umat berguguran, terjebak oleh hatinya
sendiri.”
         Aku setuju dengan pendapat itu, karena aku merasakan sendiri betapa hatiku telah menipu dan membawaku kepada kebodohan yang nyata. Hatiku adalah nafsuku dan telah menjadi
iblis dalam diriku.
         “Sekali lagi semua itu membutuhkan waktu teramat
panjang, bisa kau bayangkan betapa letihnya diriku. Segala sesuatu yang kita mulai, kita pula yang harus mengakhiri. Sementara Tuhan hanya melihat dari singgasana-Nya, apa yang dilakukan hamba-Nya. Tuhan tak akan mengubah nasib seseorang sebelum orang itu mengubahnya sendiri.”
          Aku tersenyum, pikiran dan hatiku terasa sejuk. Soal benar atau tidak apa yang dikatakannya, aku tak peduli. Sebab aku tengah mencari Tuhan yang sebenar-benarnya Tuhan. Buatku siapa pun boleh bercerita tentang Tuhan dengan versi masing-masing.
          “Aku berharap semoga kau dapat mengatasi kesulitan hidupmu, menjadi seorang indigo tidaklah gampang. Itu anugerah Tuhan yang luar biasa dan bukanlah kutukan seperti yang kau duga. Bangkitkan dirimu dari kegelapan, berjalanlah
menuju dimensi kecerdasan terang-benderang. Tak ada yang dapat kau lakukan kecuali kenali Tuhan-mu dengan baik dan benar. Carilah takdirmu, maka kau akan menemukan Tuhan-mu. Ingat sekali lagi, Tuhan lebih dekat dari urat lehermu. Ada satu ilmu dari Tuhan yang teramat rahasia, ilmu yang sampai kini tetap tersimpan rapi, hanya orang tertentu saja yang dipercaya menjaganya. Tugasmu mencari orang itu, mintalah petunjuk darinya agar apa yang kau cari dapat kau temui. Jika kau berhasil menemukan orang itu artinya, kau telah menemukan takdir-mu. Maafkan, aku tak bisa menjelaskannya lebih jauh, sebab aku tak mempunyai hak.”
         “Di mana orang itu berada?”
“Sabarlah, waktu akan membawamu!”
          Tubuh perempuan astral itu memudar seperti gelembung sabun, lalu pecah dan raib bersatu dengan udara. Kini yang tersisa hanya aroma wewangian yang menjadi ciri khas dari roh cantik berambut pirang itu.
          Di pagi yang masih berembun terlihat orang berkerumun mengelilingi sesuatu. Ada apa gerangan? Ketika Siti Harla membangunkan aku, barulah aku sadar. Ternyata mereka tengah mengerumuni aku yang tengah tidur di atas comberan. Aku gelagapan, aku bingung bukan kepalang.
          “Di mana aku…?” tanyaku linglung.
          “Kau tidur di comberan!” jawab Siti Harla kesal.
          Melihat aku linglung semua orang tertawa dan aku pun menggerutu kesal. Dasar kuntilanak tak bisa dipercaya, dulu aku disangkuti di pohon rambutan, kini aku dikirim di atas comberan. Kurang asem betul!
          Siti Harla berjalan sedih, tas lusuhnya diselempang di bahu, tiga buah buku tebal didekapnya erat. Lamunan tentang masa depan yang lebih cerah lenyap ditutup kabut kelabu yang dingin dan beku. Jiwa raga gadis itu memang tengah menggigil kedinginan, dia meratap dalam hati, tapi dia tak punya daya
untuk menghalau semua kegalauan hati.
          “Tuhan, apakah aku mencintai orang yang salah? Kenapa Engkau hadirkan dia dalam hidupku, sementara aku tak boleh memilikinya? Dia begitu baik padaku, bahkan bertaruh harga diri hanya untukku. Tuhan, tunjukkan kami jalan terbaik. Aku sangat mencintainya, aku ingin hidup bersamanya,” gumam Siti Harla dengan mata berlinang.
          Seekor kupu-kupu terbang sendiri, membelah pagi berembun yang masih sepi. Makhluk cantik itu tersenyum dan berkata kepada Siti Harla.
          “Sabar Harla, sebentar lagi matahari akan membagi sinar melalui ranting melati, embun akan pergi meninggalkan kesepian hati dan burung pun akan bernyanyi. Cinta itu perasaan yang teramat suci, maka dari itu teruslah bernyanyi untuk cinta jangan pernah berhenti. Ketika kau berhenti menyanyikan lagu
cinta, para malaikat bersedih. Jangan kau bedakan pahit dan manisnya cinta, rasakan keduanya, sebab itulah kesempurnaan cinta. Meski begitu jangan kau gantungkan cintamu di atas awan, ketika awan berarak meninggalkanmu, pasti kau akan
menangis. Ingat Harla, kau masih muda dan cantik.”
          Alam telah membesarkan Siti Harla dan memberi kasih sayang yang tiada tara. Dia memang gadis yatim piatu, dia boleh miskin, boleh sengsara, tapi dia gadis paling baik di tanah Jawa ini. Semoga bumi, langit, air, udara dan api, membentuknya
menjadi gadis super tangguh.

#####

Indigo Mencari Tuhan [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang