4 - Pesan Dari Langit

54 5 0
                                    

Lambat-laun kondisi keluargaku semakin terpuruk, ibu dan ayahku mulai sakit-sakitan. Ada dua peristiwa aneh yang membuat keluargaku berada di dalam kesulitan. Pertama kecelakaan yang dialami ayahku, kereta yang dikemudikannya menabrak sebuah truk pengangkut semen. Ayahku menderita patah kaki dan mengalami cacat permanen sehingga beliau harus pensiun lebih awal dengan uang pensiun yang tak seberapa. Beberapa saksi yang melihat kejadian itu mengatakan, supir truk bukan manusia tapi sebentuk makhluk jadi-jadian bertelinga panjang dan lebar, bermata merah dan berbulu. Saat tabrakan terjadi makhluk itu terbang sambil tertawa senang. Seekor kuda terbang berwarna putih dan bertanduk satu berusaha mengejarnya. Peristiwa tabrakan itu menjadi berita hangat di beberapa surat kabar dan majalah mistik.
          Peristiwa kedua musibah yang dialami kakakku, bus pariwisata yang ditumpanginya tergelincir ke dalam jurang. Kakakku mengalami luka serius dan harus dirawat di rumah sakit beberapa minggu. Seperti yang dialami ayahku, peristiwa yang dialami kakakku pun bukan kecelakaan biasa. Ketika supir bus ditanyai polisi dia mengatakan, ada dua ekor serigala yang tiba-tiba menghadang jalannya. Dia gugup dan membanting setir ke kanan menghindari kedua serigala itu. Bus oleng sulit dikendalikan, akhirnya meluncur ke jurang. Dalam peristiwa itu pun terjadi keanehan yang sulit diterima akal, ketika bus meluncur ke jurang, tiba-tiba ada kekuatan yang menariknya. Meski bus tak mengalami kerusakan, tapi penumpangnya harus dibawa ke rumah sakit. Apa yang terjadi sebenarnya?
          Dua serigala yang menghadang bus tersebut ternyata iblis yang sengaja ditugasi mencelakai keluargaku. Untunglah gadis bernama Nirmala Kanza datang menolongnya. Keempat dawai biolanya menjulur bagai tangan gurita, kemudian melilit dan menarik bus itu sebelum benar-benar jatuh ke jurang.
          "Kalian belum jera rupanya?" kata Nirmala Kanza yang langsung menghajar kedua makhluk itu sampai musnah.
          Untuk membantu ekonomi keluargaku, kakak pertama dan kedua menggantikan ayah mencari nafkah. Tapi tetap saja tak mencukupi, sebab mereka hanya buruh pabrik tekstil. Aku mulai tak terurus dan semakin liar, aku sering menunjukkan keberanianku di depan banyak orang. Aku diminta melompat dari jembatan gantung ke sungai, padahal sungai itu dalam dan banyak buaya lapar. Mereka senang melihat aku bemain dengan ular berbisa, mereka tertawa melihat aku dipatuki ular berbisa dan mereka akan bertepuk tangan ketika aku balas menggigit ular itu sampai mati. Uang segera kudapat, semakin
besar tantangan, semakin besar uang yang kuterima. Betapa senang aku mendapat uang sendiri, tapi ibuku selalu menolak jika kuberi uang dari hasil pertunjukan itu. Ibuku menangis melihat aku semakin liar dan dijuluki Anak Setan.
          Suatu hari kudengar ibuku berdoa. "Ya, Allah, tolong hadirkan sesuatu yang membuat dirinya takut!"
          Ternyata doa ibuku diterima, Tuhan mengutus sebentuk makhluk yang membuat aku tak berdaya. Aku akan lari terbirit- birit jika bertemu makhluk itu, bahkan aku bisa kencing di celana. Utusan Tuhan yang satu itu luar biasa, kelak akan aku ceritakan makhluk apa gerangan yang membuat aku keok.
          Walaupun keadaan keluargaku miskin, aku tetap tumbuh menjadi anak yang sehat dan kuat, bahkan lebih gesit dari anak seusiaku. Kata orang aku cerdas, tapi menyebalkan. Kata orang aku tampan, tapi kasar dan bengis. Aku sering membuat onar dan melakukan sesuatu yang tak masuk akal. Walaupun demikian warga pernah mengelu-elukan aku sebagai pahlawan. Aku pernah menolong seorang ibu yang tengah hamil tua. Ibu hamil itu dikejar anjing gila, beberapa kali dia terjatuh. Ketika anjing itu ingin menerkamnya, si ibu sudah pasrah.
          Sejengkal lagi taring anjing gila itu menancap di lehernya, aku telah terlebih dahulu menerkamnya. Terjadi pergumulan sengit antara aku dan anjing gila itu, aku merasakan lenganku kesemutan ketika taring binatang itu menancap. Aku berteriak, tapi anjing itu tak melepas gigitannya, bahkan giginya menancap makin dalam. Aku marah, kepalaku berdenyut dan panas. Seperti biasa ketika aku marah mataku mulai menyala, kali ini lebih terang seperti lampu pijar 45 watt. Aku pun balas menggigit leher anjing itu hingga nadinya putus. Anjing itu menggelepar menahan sakit, gerakannya semakin pelan dan akhirnya tewas. Mulut dan pakaianku berlumuran darah, aku terlihat sangat buas seperti drakula yang baru menggigit mangsanya. Sementara racun anjing gila itu mulai menjalar ke nadi dan meracuni darahku.
          Samar-samar kulihat orang mulai mengerumuniku, tapi tak satu pun yang berani menyentuhku. Akhirnya seorang laki- laki bertubuh kekar datang membawaku. Aku tahu laki-laki itu pemilik ladang jagung yang berada di pinggir desa. Setelah itu aku sudah tak sadarkan diri.
          Di tengah ladang jagung berdiri sebuah rumah sangat sederhana, rumah itu lebih menyerupai gubug bambu, beratap alang-alang. Bendera merah putih berkibar ditiup angin. Laki- laki itu menatapku, ada sekulum senyum di bibirnya. Rasa sakit di lenganku mulai reda, ada perban dan obat merah yang membalut lenganku.
          "Istirahatlah, nanti kau kuantar pulang." Katanya pelan tapi tegas.
          Orang mengenal laki-laki tua itu dengan nama Ki Rono Kentir, setahuku tak banyak orang yang berani mendekatinya. Menurut kabar, orang tua itu mengidap penyakit jiwa, banyak yang melihatnya suka berbicara seorang sendiri, bahkan bernyanyi dan menari seorang diri saja. Namun sejauh ini dia tak pernah mengamuk, tak seperti orang gila pada umumnya. Karena itulah dia dijuluki Ki Rono Kentir. Kentir artinya sinting atau tak waras.
          Setelah pertemuanku dengan Ki Rono Kentir beberapa waktu lalu, aku semakin akrab dengannya. Aku sering mengunjungi ladang jagung tersebut, bahkan setiap Sabtu sore dia mengajakku berolah raga dengan berlari keliling kampung. Selain itu aku sering diajak bermain tentara-tentaraan. Aku menjadi prajurit kecil yang merayap di bawah kawat berduri, memanjat tebing tinggi, melompat dan berlari di atas ban yang tersusun rapi atau melompat dari satu pohon ke pohon lain dengan seutas tambang. Aku juga diajarinya menembak dengan senapan angin dan berkelahi ala militer. Lebih dari itu Ki Rono Kentir mengajari aku cara menggunakan energi liar dalam tubuhku. Satu kegiatan yang sangat menyenangkan, apalagi setelah itu aku diberi uang jajan. Pernyataan sinting tentang dirinya buatku telah gugur. Ki Rono Kentir bukan orang sinting, dia seorang serdadu tangguh!
          Untuk menguji keberanian dan kekuatanku, Ki Rono Kentir mengajakku ke suatu tempat yang jarang dikunjungi orang. Katanya tempat yang bernama Karang Hantu itu sangat angker dan menakutkan. Siapa pun yang datang ke tempat tersebut akan sakit atau hilang ingatan. Awalnya aku ragu dan takut, tapi ketika Ki Rono bilang tempat itu sangat unik dan indah, di deret dinding bebatuannya ada tulisan zaman purba dan simbol keberadaan Tuhan Yang Maha Kuasa, aku mulai tertarik.
          Karang Hantu sebenarnya hanya gugusan karang yang berada di pesisir Pantai Selatan. Jika orang tak berani datang ke tempat itu wajar, sebab untuk menuju tempat itu dibutuhkan fisik yang kuat. Selain itu aroma mistisnya sangat terasa, baru beberapa menit saja aku berada di tempat itu bulu kudukku sudah berdiri. Bisikan-bisikan gaib dan halus terdengar bersama desir angin, ditambah tawa cekikikan seorang perempuan. Jika tak ada Ki Rono Kentir, mungkin aku sudah ngacir dari tempat itu.
          Rasa takutku mulai hilang ketika kulihat beberapa tulisan aneh yang terdapat di dinding karang. Aku tak mengerti apa maksud tulisan itu, ada sesuatu yang membuatku takjub. Sebuah gambar berbentuk piramida menjulang tinggi dan sebuah gambar simbol dari gerhana matahari. Di bawah gambar gerhana matahari itu ada gambar unik lainnya, seorang anak duduk bersimpuh menghadap tegak lurus ke belakang. Kedua tangannya direntangkan dan kesepuluh jari tangan menutupi wajahnya. Aku tak mengerti apa arti gambar itu.
          "Siapa yang menulis dan menggambar ini, Ki Rono?"
          "Entahlah, aku juga tak tahu." Jawab Ki Rono.
          "Ini tulisan dan gambar apa?"
          "Itu pesan dari langit!"
          Selagi aku berusaha memahami arti dari simbol itu, aku dan Ki Rono dikejutkan tawa cekikikan seorang perempuan, keras menusuk telinga. Seorang perempuan bergaun putih dan bercadar terlihat duduk di atas seekor kuda yang juga berwarna putih. Yang membuatku tertegun bukan kemunculan perempuan itu, tapi kuda yang ditungganginya, kuda bersayap dan bertanduk satu. Bukankah itu makhluk yang bernama unicorn? Setahuku makhluk itu hanya ada di dalam negeri dongeng, tapi kali ini aku benar-benar melihatnya.
          "Berani-beraninya kalian datang ke tempat ini tanpa seizinku?!" kata perempuan itu, diakhiri tawa panjang dan melengking.
          "Kau pikir tempat ini milik bapak moyangmu? Ini tempat umum, siapa saja boleh datang ke sini." Jawab Ki Rono kesal.
          "Umum? Ini bukan WC, bodoh!" jawab perempuan itu ceriwis.
          Melihat Ki Rono tak gentar dengan wanita jadi-jadian itu, aku jadi ikut berani.
          "Mana ada kuntilanak keluar siang bolong begini, kuntilanak ganjen, kuntilanak gatal!" kataku mulai cari perkara.
          Mendengar ucapanku perempuan itu langsung menolehku, meskipun wajahnya tertutup cadar, aku tahu matanya mendelik marah.
          "Anak setan, anak kutukan! kutampar mulut usilmu!"
          Aku sudah terlatih dan terbiasa bertengkar dengan perempuan, jadi aku sangat senang melihatnya marah. Justru ini acara paling menyenangkan, akan kubuat dia naik darah.
          "Di balik cadarmu aku tahu, gigimu tonggos!" kataku memancing emosinya.
          "Kalau gigiku tonggos suaraku tak semerdu ini, bodoh!"
          "Aku lebih senang mendengar panci jatuh dari pada mendengar suaramu!"
          "Anak kurang ajar, tak punya sopan!"
          Perempuan itu melesat dari kudanya dan langsung memburuku. Satu tamparan keras ditujukan ke mulutku, aku menghindar sebisaku. Merasa tamparannya tak mengenai mulutku perempuan bercadar itu terus mengejarku dengan tamparan lebih keras. Aku berlindung di balik batu karang, tak ayal lagi batu karang itu hancur berkeping-keping. Bulu kudukku merinding, bagaimana jika mulutku yang tadi kena tampar? Sial betul, Ki Rono malah menonton sambil tersenyum melihatku.
          "Ki Rono, tolong aku!" teriakku keras.
          "Hadapi sendiri saja, dia perempuan paling tolol sedunia atau kau remas saja dadanya, dia pasti keok!" jawab Ki Rono terkekeh.
          "Berani kau lakukan anjuran si tua sinting itu, kubunuh kau!" jawabnya marah.
          Aku menatap dada perempuan itu garang, suaraku menggeram bagai harimau dan jari-jari tanganku bergerak- gerak seperti tengah meremas sesuatu.
          "Guru dan murid sama cabulnya! Awas kalian!" Kemudian perempuan itu pun pergi dengan unicorn-nya.
          "Perempuan tolol, belum kuremas dadanya sudah kabur!" kataku meledek.
          Aku dan Ki Rono Kentir tertawa terpingkal-pingkal, namun tiba-tiba sebuah batu sebesar kepala kerbau meluncur dan dengan sigap Ki Rono meraih tubuhku, melompat menghindari batu tersebut. Bumi bergetar ketika batu itu menghantam karang. Seseorang berkepala plontos dengan pakaian ala Shaolin berdiri, tongkat di tangannya terlihat sangat sakti.
          "Siapa lagi itu?" tanyaku gemetar.
          "Dialah setan gundul penunggu tempat ini." Jawab Ki Rono asal.
          Belum sempat aku bertanya lebih jauh tubuhku sudah dibanting dengan keras. Setan gundul itu mulai menghajarku habis-habisan, aku tak sempat menghindar. Namun lagi-lagi Ki Rono tak mau menolongku, dia membiarkan aku digebugi. Aku sudah tak berdaya, tubuhku dibanting kesana-kemari seperti tikus dipermainkan kucing garong. Setan gundul berpakaian Shaolin itu sudah berkeringat, dia mulai keletihan. Meskipun tubuhku dibanting dan dilempar kesana-kemari, tapi aku tak merasakan sakit dan tak mengalami luka.
          "Tubuh anak setan ini benar-benar luar biasa, Chi di keningnya sangat terang." Gerutunya, dia pun melesat meninggalkan tempat itu.
          "Shaolin sialan, kenapa dia nyasar ke tempat ini?" gerutuku.
          "Dia diusir ibunya, karena mengencingi gudeg satu kuali."
          "Kalau itu, aku...!
          Itu pengalamanku dengan Ki Rono Kentir beberapa waktu yang lalu, sampai kini aku tak pernah tahu siapa perempuan penunggang unicorn dan siapa pendekar Shaolin itu. Ki Rono Kentir tak pernah menjelaskannya padaku.

#####

Indigo Mencari Tuhan [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang