Ketika aku lulus SMP aku dititipkan di rumah mantan atasan ayahku, sebab keluargaku sudah tak mampu lagi membiayai sekolahku. Beliau seorang Kepala Biro PJKA. Semua kebutuhanku akan ditanggungnya. Aku sangat senang, apalagi aku disekolahkan di SMA paling favorit di Yogjakarta. Gedung sekolahnya megah, fasilitasnya lengkap dan sangat mendukung. Tidak seperti SMA di kampungku, gedung sekolahnya berdiri di tengah sawah, bersebelahan dengan kandang ayam dan bocor pula. Itu yang membuat aku merinding, aku tak bisa membayangkan setiap hari harus melewati kandang ayam itu.
Kutatap wajah ibuku, kakak dan adik-adikku, sebentar lagi aku akan pergi meninggalkan mereka. Mereka menangis sedih, sesenggrukan seperti orang yang akan ditinggal mati.
"Apa kalian menangisi kepergianku?" tanyaku curiga. Satu-persatu mereka menjawab.
"Mbak bingung, bak mandi kosong siapa nanti yang ngisi?"
"Genteng bocor, siapa yang membetulkan?" "Yang bisa disuruh beli terasi! Dan...!"
Sambil menggerutu tak putus-putus aku masuk ke kamarku dan membereskan pakaian dan semua kebutuhanku. Selamat tinggal Mak Lampir! Bak mandi kosong, genteng bocor, beli terasi, mulai sekarang kerjakan sendiri. Dan aku tak akan mendengar alasan seperti ini lagi.
"Aku habis keramas, bu. Suruh Gee saja!"
Kenangan pahit dan manis menjadi anak laki-laki satu- satunya di keluarga telah mengisi catatan tersendiri dalam hidupku. Kata temanku, aku jadi ikut kemayu. Mungkin karena sehari-harinya aku dekat dengan mereka, kebiasaan kakak dan adikku menulari diriku. Menyebalkan...!
Bagaimana tidak menyebalkan, semua teman-temanku bisa bertukar pakaian atau sepatu dengan kakak atau adik laki- lakinya. Aku mau bertukar pakaian dengan siapa? Pernah sekali waktu aku bercerita tentang hal itu pada kakakku, tiba-tiba dia melempar wajahku dengan BH-nya. "Kau pakai saja itu...!"
Aku berangkat ke kota mencari rumah mantan atasan ayahku, meskipun sempat kesasar akhirnya aku sampai di rumah yang kutuju, aku disambut dengan sangat baik. Kulihat seorang laki-laki berdiri gagah dengan pakaian dinas, PJKA-nya,usianya lebih muda dari ayahku. Di sampingnya berdiri seorang wanita berparas ayu dan lembut.
"Selamat datang di rumah kami." kata wanita itu santun. Aku diantar ke kamar yang rupanya telah disiapkan untukku, ada meja belajar, rak buku lengkap dengan bukunya.
Ada radio mini compo dua speaker, gitar akustik dan televisi berwarna. Barang-barang seperti itu tak pernah kumiliki di kampung, aku senang bukan kepalang. Tapi percuma sebentar lagi barang-barang tersebut akan rusak, buktinya adalah jam dinding yang tergantung tenang, baru lima menit saja aku berada di kamar itu gerak jarumnya mulai kacau. Jarum panjang bergerak lebih cepat dari jarum kecil, sementara jarum pendeknya diam membeku.
"Istirahatlah dulu, sebentar lagi kakakmu pulang." kata wanita itu.
Aku berbaring sambil merenungi kembali semua peristiwa yang pernah kualami. Langit-langit seolah menyuguhkan kembali gambaran itu, baik dan buruk, manis dan pahit, suka dan sedih. Semua teraduk menjadi satu kenangan indah yang bersenyawa di setiap tarikan napasku.
Kulihat lima orang gadis datang ke kamarku, satu persatu mereka mengenalkan diri padaku.
"Aku Widya!"
"Aku Astuty!"
"Aku Rianti!"
"Aku Heny!"
"Haai, aku Dewi!"
"Panggil aku, Gee!" jawabku gagah dan mantap.
Aku bahagia bisa berkenalan dengan keluarga baruku, tapi terasa ada yang aneh, ada yang ganjil. Apa yah...?
Sampai akhirnya istri sang Kepala Biro berkata dengan lembut.
"Gee, ini sudah menjadi rumahmu sendiri, jangan sungkan-sungkan. Kamu sudah menjadi bagian dari keluarga ini. Kamu boleh panggil saya Mami dan panggil bapak, Papi. Saudara-saudaramu cukup kamu panggil Mbak saja. Mereka sangat senang dengan kehadiranmu, maklum mereka tak punya saudara laki-laki." Kata Mami bahagia.
Mendengar kata-kata Mami yang merdu itu, mataku pun langsung terbelalak, mulutku menganga, seluruh bulu yang ada di tubuhku berdiri.
Ini yang aneh! Ini yang ganjil! Baru saja aku terlepas dari mulut Mak Lampir, kini aku tersesat di sarang Nyi Blorong. Tubuhku jatuh lemas, kepalaku berdenyut dan berputar. Sejuta kunang-kunang mengerumuni aku, mereka bersorak-sorai mengejekku. Aku mulai menduga-duga, aku mulai berpikiran negatif. Ternyata benar....
"Gee, besok gantikan mbak antar Mami arisan!"
"Gee, nanti belikan mbak shampo ya!"
"Gee, nanti..!" "Gee....!" "Gee....!"
Permintaan pertama dan kedua masih kudengar, tapi permintaan selanjutnya aku sudah tak dengar lagi, aku sudah setengah pingsan. Mudah-mudahan permintaan ketiga dan keempat bukan minta dibelikan pembalut.
Sepandai-pandainya tupai melompat suatu saat akan kembali juga ke sarangnya, itu yang terjadi padaku. Daya tahanku tinggal di rumah Kepala Biro Jawatan Kereta Api, hanya bertahan enam bulan saja. Bukan mereka tak sayang padaku, bukan mereka tak cinta, semua kebutuhanku terpenuhi. Aku bahagia, uang jajanku sehari saja cukup buat seminggu di kampung. Tetapi yang membuat aku tak nyaman, pasukan Nyi Blorong itu. Aku trauma hidup dikelilingi wanita. Akhirnya aku pulang ke kampung dan bersekolah di tengah sawah, bersebelahan dengan kandang ayam. Tak apa dari pada harus tinggal bersama sekelompok wanita berambut ular. Medusa!
KAMU SEDANG MEMBACA
Indigo Mencari Tuhan [TAMAT]
Historical Fiction(TELAH TERBIT) - TAMAT Jangan lupa kasih bintang dan share cerita ini ya :) Blurb Sakit kepala yang diderita anak laki-laki bernama Gee, bukan sakit kepala biasa. Jika sakit kepalanya muncul membuatnya sangat menderita, bahkan kepalanya sampai menya...