16 - Tinggal Menunggu Waktu

38 3 0
                                    

          Sisa matahari sore masih menerangi ladang jagung, tiba-tiba sinarnya meredup berganti gelap yang dibarengi tiupan angin deras. Awan putih yang masih tersisa berlari menjauh ketika mendung mengejar. Angin menderu, menerjang semua yang dilewatinya. Bendera merah putih yang dipasang di depan gubuk bambu nyaris tak kuat menahan gempuran angin tersebut.
          Gadis biola yang tengah tertidur di ranting flamboyan terempas dan terjatuh. Tubuhnya menggusur ladang jagung, membuat tempat itu hancur berantakan. Belum lagi dia sempat bangkit, sebuah petir menggelegar dan nyaris menyambar tubuh mungilnya. Kini petir datang susul-menyusul memburunya ke mana pun dia bersembunyi. Gadis biola berguling-guling di antara deretan pohon jagung menghindari petir yang mengamuk.
          "Kurang ajar, perbuatan siapa ini?!" makinya marah.
          Di dalam gubuk bambu Ki Rono Kentir duduk tafakur. Tubuhnya diselubungi cahaya warna-warni, mulutnya komat-kamit, entah apa yang dibacanya.Dia tersenyum dan bergumam.
          "Kau memang luar biasa bocah, tak sia-sia aku mendidikmu!" Satu teriakan keras menggema, seperti dentum sebuah meriam.
         "Hantu tengil, di mana kau?! Kembalikan uangku!"
          Dentum suaraku mengguncang tempat itu, menghamburkan tanah, menggugurkan daun-daun, getar gelombangnya terus memburu gadis biola yang kini tengah bertiarap. Gadis ceriwis itu terlihat kalang-kabut, akhirnya dia melesat setinggi-tingginya nyaris menyentuh awan. Tubuh gadis biola bernama Nirmala Kanza itu meluncur deras, kakinya
mendarat di dadaku. Tubuhku terempas dan berguling-guling di tanah, tulang dadaku terasa remuk.
         "Jadi kau pelakunya?!" bentak Nirmala Kanza marah.
         "Mana uangku?!"
         "Sudah aku berikan pacarmu!"
         "Bohong!"
         "Kalau tak percaya tanya saja dia!"
         "Itu uangku, aku yang berhak memberinya!"
        "Anak setan, itu akibatnya kau terlalu lama di perut ibumu!"
          "Biar saja dari pada lahirmu sungsang!"
          Tiba-tiba terdengar suara berat menggema di tempat itu.
          "Begitulah kalau anjing dan kucing bertemu!"
          Aku menoleh, Ki Rono Kentir berdiri melipat tangannya di dada.
          "Dia anjingnya!" kata Nirmala.
          "Aku menyesal telah mengenal kalian, ternyata kalian semua hantu brengsek!" Nirmala Kanza melotot.
          "Aku juga menyesal mengenalmu! Kalau begitu mulai
sekarang akan kubiarkan kau seorang diri, biar iblis-iblis itu menelanmu sekalian. Kalau bukan kewajiban aku pun malas menjagamu. Kau sangat menyebalkan!"
          "Sebenarnya siapa hantu ceriwis ini, Ki Rono? Aku sebal, dia mengikuti aku terus!" tanyaku kesal.
          Ki Rono Kentir tersenyum.
          "Dia roh yang sedang menunggu dibangkitkan, tugas terakhirnya adalah menjaga dan melindungi dirimu. Setelah tugasnya selesai, dia akan dibangkitkan kembali menjadi
manusia," jawab Ki Rono Kentir.
          "Dia hantu paling usil, selalu mau tahu urusanku. Sampai aku ke kamar mandi saja dia mengintipku."
          "Cuuuh, jijik aku mengintipmu, kutampar mulutmu!"
          "Kembalikan uangku?"
          "Dasar tuli, sudah kuberikan pacarmu!"
          "Mulut ibumu pasti lebih ceriwis dari mulutmu!" ejekku.
          "Kurang ajar, jangan bawa-bawa ibuku!"
          "Kalau ibumu tak mau kubawa-bawa, kembalikan uangku!"
          Nirmala Kanza kehabisan kata, tubuhnya bergetar dan matanya mulai menyala, sementara Ki Rono masih tersenyum sambil melipat tangan di dada. Udara yang semula dingin berubah menjadi panas.
          Nirmala Kanza meraung hebat dan melesat, siap mengemplang kepalaku dengan biolanya.
          "Ini uangmu aku kembalikan berikut bunganya sekalian!"
          Sejengkal lagi biola itu mendarat di kepalaku aku mendorong tubuh gadis itu. Ternyata doronganku menciptakan energi luar biasa, tubuh gadis ceriwis itu terpental, kembali menggusur ladang jagung. Emosi gadis biola itu nampaknya sudah terlepas dari ubun-ubunnya, dia menerjangku dengan kecepatan tak terlihat. Terjadilah perkelahian sengit antara aku dan gadis biola itu. Kini aku tahu siapa diriku, ternyata aku memiliki kekuatan tak terukur. Beberapa kali tubuhku terempas seperti bola ditendang, tapi aku tak mengalami luka berarti. Begitu juga dengan gadis biola itu beberapa kali aku menghajarnya, tapi dia tak mengalami luka, bahkan mengejekku.
          "Tendangan tak berguna, terima balasanku!" teriak Nirmala, tubuhnya melesat.
          Aku terkesima dan tak sempat menghindar, jadi kubiarkan saja kaki gadis itu mendarat di dadaku. Namun apa yang terjadi saat kakinya menghantam dadaku, gadis biola itu kembali mencelat ke belakang. Ada dorongan keras dari dalam tubuhku yang menghantamnya. Nirmala Kanza menjerit menahan sakit di kakinya.
         "Rasain, kau!" ejekku.
          Ki Rono tak beranjak dari tempatnya, dia kembali tersenyum.
          "Ternyata aku tak salah pilih, kau anak luar biasa yang lahir dari rahim wanita yang juga luar biasa. Perlu kau ketahui, ibumu titisan laskar pejuang gagah berani dan sakti mandraguna," gumam Ki Rono puas.
          Setengah jam pertarungan berlangsung, tempat itu sudah porak-poranda seperti diamuk ratusan gajah. Ternyata biola di tangan gadis itu senjata ampuh dan mematikan,
suaranya mampu meredupkan sinar matahari dan membuat telinga berdarah. Dawainya jika dipetik akan mengeluarkan cahaya warna-warni melesat bagai peluru. Jangankan sampai tertembus, terserempet saja tubuh bisa terluka. Untunglah kini aku sudah dapat mengendalikan pikiranku. Apa yang aku pikirkan, itu yang terjadi. Ini kali pertama aku menggunakan pikiranku untuk bertarung. Serangan Nirmala dapat kupatahkan, bahkan beberapa kali aku menjatuhkannya. Mata gadis itu semakin membara, tubuhnya bergetar hebat dan dari punggungnya keluar dua buah sayap seperti elang terbungkus cahaya perak.
          "Rupanya kau lebih kuat dari yang kuduga, tapi jangan bangga dulu!" katanya. Beberapa saat kemudian tubuh elangnya melesat, rupanya dia benar-benar ingin menguji kekuatanku. Namun aku pun tak ingin dipecundangi begitu saja, ketika sayap elangnya menyambar tubuhku aku melompat dan detik itu aku berubah menjadi seekor naga biru berkepala emas. Mungkin ini
yang ditakuti ibuku, aku menjelma menjadi hewan buas.
          Langit yang semula gelap berubah menjadi terang-benderang oleh cahaya yang keluar dari tubuh elang Nirmala dan tubuh nagaku. Siapa pun yang melihat pertarungan
tersebut akan berdecak heran. Seekor naga dan elang jadi-jadian saling menggempur cuma gara-gara duit. Kurang asem betul!
          Ki Rono Kentir tak berkedip menyaksikan pertarungan itu, dadanya berdebar-debar. Dia tak menyangka kekuatanku ternyata jauh lebih dahsyat dari perkiraannya. Sebuah ledakan keras terdengar ketika tubuh nagaku berbenturan dengan tubuh elang betina itu, cahaya warna-warni memercik menerangi langit. Aku dan Nirmala terempas dan berguling-guling ditanah. Tubuh nagaku lenyap, begitu juga dengan tubuh elang Nirmala. Kulitku terasa dicabik cakar tajam, perihnya bukan kepalang. Nirmala meringis menahan pinggangnya yang terasa patah.
          "Anak setan, gara-gara uang segitu tulang igaku nyaris patah. Kurang ajar betul!" gerutu Nirmala kesal dan mengancam.
          "Sudah, cukup!!" teriak Ki Rono Kentir menggema.
          Pohon bergoyang diempas angin suara dari Ki Rono, aku dan Nirmala tercekat. Kulihat mata gadis itu masih sempat melirik dan mengancamku.
          Ki Rono melangkah ke dalam gubuk bambunya. Kupikir Nirmala Kanza kembali menyerangku,ternyata dia mengikuti langkah Ki Rono. Akhirnya aku pun mengikuti langkah mereka masuk ke dalam gubuk bambu itu.
          Sudah berkali-kali aku masuk ke dalam gubuk bambu itu, tapi baru kali ini aku diperlihatkan sesuatu yang luar biasa. Gubuk yang terlihat seperti sarang tikus, ternyata mempunyai ruang bawah tanah yang sangat luas dan megah. Aku terkesima, aku tak bisa berkata apa-apa. Beberapa lukisan indah terpasang di dinding ruang dan beberapa benda pusaka seperti, keris, pedang dan tombak terpajang di tempatnya. Aku tertegun menatap sebuah lukisan seorang ksatria Jawa, di bawah lukisan tersebut tertulis sebuah nama, R. Rono Purwacakti.
          "Bukankah ini Ki Rono Kentir? Jadi nama aslinya R. Rono Purwacakti, sungguh gagah dia," gumamku takjub.
          Aku pun menelusuri ruang bawah tanah itu. Beberapa senjata api dari pistol sampai senjata laras panjang tersimpan rapi di etalase kaca. Ratusan peluru berbagai kaliber dibiarkan berserakan, meskipun berserakan tapi enak dipandang. Itu
penataan karya seni luar biasa. Sederet bintang tanda jasa tersusun rapi menghiasi dinding kayu. Sepasang gigi palsu terbuat dari gading terlihat di sebuah kotak kecil berukir kepala singa, beberapa batang cerutu diletakkan di dekat gigi palsu
tersebut. Rupanya Ki Rono menggunakan gigi palsu berharga
mahal. Ruang bawah tanah ini tak ubahnya museum yang menyimpan barang-barang bersejarah dan sangat berharga. Aku semakin penasaran siapa Ki Rono Kentir dan siapa gadis
biola ceriwis itu sebenarnya.
           Aku semakin tersihir oleh benda-benda kuno koleksi ruang bawah tanah ini dan langkahku terhenti, bahkan aku mundur beberapa langkah. Mataku terbelalak, tubuhku gemetar, aku tak percaya dengan apa yang kulihat. Sebuah benda berdiri di dalam lemari kaca, benda yang sering hadir dalam mimpiku, tombak bernama Kyai Jagad Inten.
          "Bukankah itu tombak ibuku yang ada dalam mimpiku?"
          Ki Rono Kentir melihat keterkejutanku.
          "Akan kuceritakan siapa ibumu, untuk itu kau kuajak ke ruang bawah tanah ini."
          "Sebenarnya kalian ini siapa?" tanyaku bingung dan heran.
          "Kami bukan siapa-siapa, kami hanya sisa-sisa dari perjuangan masa lalu negeri ini. Sejak lama kami menunggumu guna melanjutkan perjuangan dan semangat kami," jawab Nirmala Kanza dengan mata berlinang.
          Aku terkesima melihat air mata gadis ceriwis itu, ternyata bisa juga dia bersedih.
          "Aku tak ingin terlibat urusan kalian!" jawabku tegas.
          "Kau tak bisa menolak takdirmu!" bentak Nirmala Kanza keras.
          "Kenapa kau selalu membentakku?!"
          "Sebab kau susah diatur!" jawab Nirmala Kanza sengit.
          Ki Rono tersenyum, Nirmala Kanza masih cemberut.
          "Sudah kubilang, dia itu berbeda dengan leluhurnya. Leluhurnya seorang wanita pemberani yang sangat ditakuti penjajah,ternyata anak keturunannya tak lebih dari pecundang! Tak heran jika gadis ningrat itu mengejeknya," kata Nirmala Kanza marah.
          Ki Rono membuka lemari kayu, sebuah buku usang diambil dan dibuka. Secarik kertas yang sudah teramat lusuh terselip di antara halaman buku tersebut.
          "Bacalah ini," kata Ki Rono, menyerahkan kertas itu padaku.
         Apa yang harus kubaca tak ada tulisan apa-apa di dalamnya, hanya kertas kosong dan usang. Aku membolak-balik kertas itu, tapi tetap aku tak menemukan tulisannya.
           "Baca dengan pikiranmu, begitu saja tak becus!" cibir Nirmala Kanza.
          Sebenarnya aku sudah sangat kesal, ingin sekali aku menampar mulut hantu usil itu. Aku berpikir sejenak, akhirnya muncul tulisan secara ajaib, tulisan semerah darah di atas kertas itu.

Indigo Mencari Tuhan [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang