13 - Anjing, Kucing, Tikus, dan Monyet

55 5 1
                                    

Aku termenung di depan bengkel Bang Tagor, jam menunjukkan pukul delapan malam dan bengkel terasa
semakin sepi. Dari pagi sampai malam ini baru dua buah ban yang aku tambal. Puluhan sepeda motor lalu-lalang, seolah mengejek keberadaan bengkel ini. Kasihan Bang Tagor, jauh-jauh datang dari Toba kerjanya hanya tidur. Selain bengkel sepi sejak pagi badan bang Tagor agak meriang, matanya sayu. Pipinya yang biasanya caby seperti buah melon, kini agak kisut.

          Seperti kebiasaan orang Batak untuk mengisi waktu luang, Bang Tagor bermain gitar dan bernyanyi dalam bahasa nenek moyangnya. Jika diartikan kira-kira seperti ini :

Ibu, maafkan aku 
Aku sakit, badanku menggigil
Di tanah rantau aku sudah tak bekerja
Aku tak sanggup pergi ke dokter

Ibu…aku butuh selimut
untuk tubuhku yang dingin
Ibu…maafkan aku
Aku tak bisa mengirimimu uang
Di tanah Jawa banyak orang hidup sengsara
Mereka tak sanggup membeli makanan dan tak mampu membayar sekolah.
Ibu…aku ingin pulang…
aku ingin pulang ke Toba

Ibu…aku kedinginan
Aku sendirian di sini
Aku butuh selimut rindu dari inang
Beri aku sayap untuk terbang ke Toba
Ibu….aku rindu ibu….!

          Orang Batak memang unik, jika mereka bicara suara mereka seperti orang tengah bertengkar. Tapi saat mereka bernyanyi semua berubah menjadi sendu mendayu-dayu,
seperti lagu yang dinyanyikan Bang Tagor dengan judul Inang itu. Mendengar lagu itu aku ikut sedih, aku teringat ibuku yang sering ku sakiti. Ternyata aku tak setangguh Bang Tagor, dia perantau yang telah teruji, berbagai kesulitan hidup pernah dijalani. Selama tinggal di Jawa sebenarnya dia mulai menyukai lagu Campur Sari, apalagi kalau dengar suara Didi Kempot, lagu
Sewu Kuto atau Kleresan, Bang Tagor jadi malas mandi. Bang Tagor orang Batak terbaik yang pernah kukenal, semoga saja dia selalu baik dan begitu selamanya.

          “Pakai akal dan pikiranmu agar kau tak jadi manusia rendah!”

          Kata-kata itu pernah aku dengar dari Ki Rono Kentir beberapa waktu yang lalu dan akupun teringat ketika tertinggal di stasiun Gubeng. Kereta ekonomi yang membawa ibuku
mogok di tengah jalan. Bukankah semua itu karena pikiranku,
kenapa saat ini tak aku gunakan?

          Belum setengah jam aku berpikir tentang hal itu, tiba-tiba dua buah sepeda motor didorong menuju bengkel. Satu rusak mesin, satu pecah ban. Aku berteriak keras.

          “Bang…bangun! Ada rejeki…!”

          Suaraku yang sekeras geledek membuat Bang Tagor lompat dari duduknya, gitar yang tengah dimainkan terlempar dan entah jatuh di mana. Wajah Bang Tagor berubah seperti bulan purnama tanggal empat belas. Aku dan Bang Tagor begadang sampai pagi, sebab malam itu belasan motor harus diperbaiki. Hasilnya cukup untuk menutupi hari-hari kemarin yang sepi.

          Hari-hari selanjutnya bengkel Bang Tagor terlihat ramai, kadang aku dan Bang Tagor kewalahan memperbaiki motor atau ban bocor. Dalam sehari aku bisa menambal sepuluh sampai lima belas belas ban, ini membuat heran banyak orang
termasuk Bang Tagor sendiri. Bahkan ada mulut yang mulai usil dan curiga, mereka menyangka aku dan Bang Tagor menebar ranjau paku di jalanan.

          Setiap pulang sekolah aku langsung ke bengkel, kadang aku tak sempat pulang lagi ke rumah. Aku dan Bang Tagor sibuk luar biasa, tapi untuk menjaga agar kami tidak keletihan dan tetap sehat, hari Minggu bengkel tutup. Selain itu Bang Tagor mulai rajin ke gereja, sisa waktu yang ada kami gunakan untuk bersantai dan bernyanyi. Terkadang Siti Harla datang menemani, biasanya setelah dia pulang memulung. Bang Tagor pernah meminta agar Siti Harla jangan memulung lagi, kebutuhan hidupnya akan ditanggung Bang Tagor. Tapi gadis itu tak mau merepotkan, dia ingin mendapat uang dari keringat sendiri.

Indigo Mencari Tuhan [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang