1 - Panggil Aku Gee

140 9 0
                                    

GUNUNG KIDUL 1985

Becak yang membawa perempuan hamil tua itu terseok-seok, jalan berbatu terbungkus tanah becek dan licin membuat si pengayuh becak dengan susah payah mengendalikan becaknya. Belum lagi lubang-lubang yang seolah muncul secara mendadak, membuat jebakkan tersendiri. Sambil membersihkan keringat yang membasahi tengkuk dan wajahnya, si tukang becak menggerutu tak putus-putus.
          "Kemarin lubang-lubang ini belum ada, kenapa malam ini tiba-tiba muncul. Inilah nasib Gunung Kidul, jika kemarau datang tak setetes pun air yang bisa diminum, jika hujan turun jalanan berubah menjadi lautan lumpur yang menyiksa para pengayuh becak. Bertahun-tahun jalanan tak pernah diperbaiki, tak pernah mendapat perhatian dari pemerintah. Anak tolol, mau-maunya kau lahir di daerah ini, aku saja menyesal!"
          Dua dara berambut panjang berlari tertatih-tatih di belakangnya, terkadang mereka ikut membantu mendorong becak agar terus berjalan. Mereka tak peduli meski pakaian dan rambut mereka telah basah oleh air gerimis, sebab perempuan hamil yang berada di atas becak itu ibu mereka sendiri. Beberapa kali becak oleng dan nyaris terperosok ke dalam genangan air berlumpur.
          Malam semakin kelam, berselimut gerimis yang membutakan mata. Laki-laki paruh baya yang separuh usianya mencari nafkah di atas sadel becak itu terlihat putus asa. Ini pengalaman terpahit yang dialaminya selama menjadi tukang becak.
          Angin menderu seperti hendak menerbangkan semua benda yang ada di tempat itu. Segerombolan pohon bambu meliuk-liuk bagai tangan gurita, siap mencekik siapa saja yang lewat. Tak terdengar suara hewan, nampaknya mereka tahu sebentar lagi badai akan datang, sejak sore tadi mereka sudah mengungsi jauh-jauh.
          Jerit tangis perempuan di atas becak semakin pilu, dia menahan sakit di perutnya yang seolah hendak meletus. Puluhan kali dia mengucap nama Tuhan untuk meredam deritanya, tapi rasa sakit di perutnya tak juga berkurang. Sementara mahluk kecil yang ada di dalam perutnya seolah ikut mengamuk. Lengkap sudah derita perempuan hamil tua itu.
          "Ya Allah, aku tak kuat lagi!" keluhnya. Sambil menjerit perempuan itu mengusap-usap perutnya yang terlihat mulai menyala bagai lampu pijar 15 watt.
          "Maafkan saya, Kanjeng Pangeran. Saya bersalah atas penangkapan itu!" teriak perempuan hamil tua bernama Tinuk Nastiti.
          Si tukang becak terkulai lemas di kursi Puskesmas, dia kesal dengan pengalaman buruk ini.
          Begitu juga dengan kedua dara berambut panjang tadi, mereka bersandar lesu dengan pikiran
masing-masing. Tiba-tiba mereka dikejutkan lengking tangisan bayi, tangisan yang dibarengi suara guntur menggelegar dan suara hujan yang turun bagai ditumpahkan dari langit, deras, sederas-derasnya. Akhirnya mahluk kecil itu pun keluar juga dari perut ibunya. Mahluk kecil itu adalah, aku...!
          Di sebuah ladang jagung terlihat seorang laki-laki dan seorang perempuan bertubuh gendut tengah menatap langit. Warna langit perlahan berubah dari hitam menjadi merah tembaga. Mata laki-laki itu berbinar, sementara perempuan gendut yang berada di sampingnya sibuk mengunyah kerupuk.
          "Semua yang berasal dari Tuhan akan kembali kepada Tuhan. Kelahiranmu menjadi bagian dari kematianmu. Sekuat apa pun dirimu, kau akan tetap kembali kepada Sang Maha Pencipta.
          Semoga kelahiranmu membawa kabar baik buat bangsa dan negara ini." kata laki-laki itu dengan senyum penuh harapan. Kemudian laki-laki itu melepas tiga ekor burung merpati yang terbang ketiga penjuru negeri.
          "Beri kabar kepada Tiga Melati Penjaga Negeri, jabang bayi yang mereka tunggu telah lahir." kata laki-laki itu.
          Angin bertiup mengibarkan bendera Merah Putih yang terpasang di tiang bambu yang berdiri di depan sebuah gubug yang juga terbuat dari bambu. Bendera itu terlihat mulai lusuh, sebab sudah sekian lama terpasang tanpa diturunkan. Laki-laki itu menatap bendera tersebut penuh haru dan hormat.
          "Sebagai penghormatan atas kelahirannya, akan kuganti kau dengan bendera yang lebih suci
dan berani." Gumam laki-laki itu dengan mata berlinang.
          Sementara perempuan gendut yang berdiri di sampingnya masih sibuk dengan kerupuknya. Sudah tiga buah kerupuk dilahapnya dengan suara berisik. Sementara tatto bergambar Elang Mematuk Anak Ayam yang bertengger di lengan kanannya terlihat semakin hitam.
          "Apakah kita akan berperang lagi, komandan?" tanya perempuan gendut.
          "Sembilan belas tahun ke depan nampaknya perang tak bisa dihindari, namun seiring bertambahnya usia kita, kekuatan kita akan berkurang. Kita butuh anak itu untuk meneruskan semangat kita."
          "Aku tahu kekuatan kita akan hilang, tapi demi bangsa dan negara aku siap mati. Mudah-mudahan kita diberikan umur panjang, sehingga kita masih dapat menyaksikan pertarungan itu. Aku yakin malam ini iblis dan para sekutunya tak tinggal diam, mereka akan membunuh bayi itu, aku harus melindunginya." Jawab perempuan gendut garang.
          Di antara debur ombak terlihat seorang gadis cantik berumur lima belas tahun tengah memegang biola. Dia berdiri di atas batu karang yang menjorok ke laut, dia tak peduli meskipun ombak membasahi tubuhnya. Lalu gadis itu menggesek biolanya, sebuah lagu berirama cepat terdengar, gema suaranya bersatu dengan gemuruh lautan. Suara biola itu semakin menderu membangkitkan semangat pantang menyerah. Dawai-dawai yang digesek mulai berasap dan memercikan api. Mata si gadis mulai menyala, halilintar menggelegar menyambar-nyambar liar.
          Gadis cantik bernama Nirmala Kanza itu berteriak lantang.
          "Aku datang menjemputmu, kita buat dunia semakin ramai...!"
          Gadis bernama Nirmala Kanza itu menggeliat dan dua buah sayap keluar dari punggungnya,berkilau-kilau bagai perak. Gadis yang sudah berubah menjadi malaikat itu melesat dan menghilang ditelan awan.
          Ombak laut bergemuruh, menciptakan badai yang seolah ingin menumpahkan seluruh isinya. Pemandangan luar biasa pun terjadi di tengah lautan, pusaran api laksana tornado berputar-putar ganas. Selanjutnya terdengar jeritan ribuan mahluk yang keluar dari dasar laut yang selama ini menjadi kotak Pandora buat mereka. Mahluk-mahluk itu adalah roh para pendosa yang terpenjara di dasar lautan selama ratusan tahun. Hari ini mereka terbebas dan kembali ke dunia mencari jasad baru yang akan dijadikan tempat bersemayam. Dendam mereka terhadap orang-orang yang memenjarakan mereka akan segera mereka balaskan. Mereka akan membuat teror dan akan menghancurkan negeri ini sehancur-hancurnya!
          Meskipun tubuhnya gendut dia sangat lincah, dia melesat bagai burung elang. Namun di tengah jalan dia dikejutkan oleh seekor kuda terbang bertanduk satu, hewan itu telah memotong jalannya secara mendadak. Gerakan perempuan gendut itu menjadi oleng dan akhirnya membentur sebatang pohon. Perempuan gendut itu terjatuh seperti sekarung beras.
          "Cina brengsek..!" makinya kesal.
          Dari kejauhan terdengar suara keras, panjang dan mengejek.
          "Kita bertemu lagi genduuuuut..!"
          Perempuan gendut itu bangkit dan kembali melesat, tapi lagi-lagi dia sial. Kali ini dia disenggol malaikat mungil membawa biola. Dia pun kembali terjerembab.
          "Kurang ajar! Kalian tak pernah dididik sopan-santun, rupanya. Melati busuk!" terdengar suara mengejek.
          "Badanmu semakin besar!" teriak Nirmala Kanza diakhiri tawa panjanganya.
          Nirmala Kanza melesat semakin cepat, dia senang melihat perempuan gendut itu terjatuh.
          Saking senangnya dia tak melihat ada seorang perempuan cantik berambut pirang tengah melayang-layang. Tabrakan pun tak dapat dihindari lagi, baik gadis biola maupun perempuan berambut pirang itu sama-sama terjungkal.
          "Kuntilanak bule, melayang sembarangan!"
          "Matamu yang buta! Sejak dahulu kau selalu membuat aku kesal, menyesal aku bergabung dengan kalian!" bentak perempuan berambut pirang.
          "Kau pikir aku tidak?!"
          Selagi mereka saling memaki terdengar suara tawa mengejek.
          "Selagi hidup kalian manusia tolol dan ketika mati menjadi hantu, kalian tetap saja tolol!
          Kalian lebih cocok bergabung dengan Bunga Bangkai bukan dengan Melati Penjaga Negeri." Teriak perempuan gendut melesat melewati mereka.
          Perempuan gendut melesat semakin cepat, dia melirik seekor unicorn terjepit di antara dua buah pohon besar. Tubuh unicorn itu terjebak tak dapat bergerak membuat penunggangnya perempuan cantik bermata sipit putus asa.
          "Mampus kau!" kata perempuan gendut senang.
          Suara tangisku semakin menjadi-jadi seolah hendak mengalahkan suara angin dan guntur.
          Tubuhku diselimuti oleh darah dan air mata. Ibuku sudah pasrah, kondisinya dalam keadaan hidup dan mati. Sebenarnya dia memilih untuk mati, tapi ketika melihat jenis kelaminku laki-laki, sehat tanpa cacat, semangat ibuku kembali muncul.
          "Tuhan jangan cabut nyawaku, beri aku kesempatan merawat dan membesarkan bayi laki-laki yang kudambakan ini."
          Aku mulai disusui ibuku sambil berdoa tak putus-putus. Semoga aku menjadi anak berguna buat orang tua, nusa dan bangsa juga agama atau buat siapa saja. Aku menangis merasakan hangatnya pelukkan dan kasih sayang ibuku untuk pertama kali di alam dunia ini.
          Suara tangisku malam itu ternyata telah mengguncang dunia iblis, ribuan anak setan berlarian mencari tempat untuk sembunyi, mereka panik dan bertanya bingung. Di telinga mereka jerit tangisku tak ubahnya lengking sangkakala di hari kiamat. Udara menjadi teramat panas bagai neraka. Langit runtuh menjatuhkan bara panas, membakar tubuh mereka.
          Malam itu iblis mengutus pasukan untuk membunuhku, mereka tak membiarkan aku hidup lebih lama. Namun untuk membunuhku bukanlah perkara gampang, mereka harus berhadapan dengan perempuan-perempuan perkasa Melati Penjaga Negeri. Bunda Geulis, Nirmala Kanza,Georgyna Gabrilla dan Ong Li Yeoh. Malam itu telah terjadi pertempuran sengit di alam tak kasat mata.
          Setelah tiga hari dirawat aku dan ibuku boleh pulang, kami menumpang becak yang kemarin. Namun kali ini si tukang becak terlihat sangat senang, sebab kemarin sore dia mendapat rejeki nomplok dari calon anggota DPRD dan juga kaos partai tentunya. Begitupun dengan kedua dara berambut panjang, mereka berlari senang mengikuti becak dari belakang. Mereka naik kelas dengan nilai sangat memuaskan dan mendapat hadiah dari sekolah berupa alat tulis dan sebuah tas cantik.
          Setelah aku dan ibuku pulang terjadi keanehan di Puskesmas, semua peralatan yang terbuat dari logam, terutama sendok dan mug, bentuknya sudah tak karuan. Ada yang penyok, ada yang bengkok, bahkan ada yang patah. Saat itu stetoskop dokter menjadi tak berguna.
          Cukup lama orang tuaku mencari nama yang cocok untukku, akhirnya ayahku memberi nama Jiwo Samudro padaku. Dengan nama itu diharapkan aku menjadi orang yang memiliki jiwa seluas samudera atau dengan kata lain, aku harus bersabar dalam mengarungi samudera kehidupan yang sulit ini. Kemudian orang kampung memanggilku dengan nama Gee (baca: Ji), jika diulang menjadi Ji-ji. Kata mereka panggilan itu sangat cocok untukku, sebab aku anak yang menjijikkan.

####

Indigo Mencari Tuhan [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang