Kalo biasanya di novel itu kebanyakan pake kelas IPA. Ini nggak, karena yang jadi background utama adalah kelas ini. IPS.
IPS 2. Kelas biasa aja dengan murid yang juga biasa, anak-anak dengan wajah standart, nggak kayak boyband korea. Anak cakep di sana bisa kehitung jari.
Kelas IPS 2 adalah kelas paling heboh dengan murid-murid ajaib, suka jadi biang onar dengan solidaritas tinggi, dan selalu punya cara biar setiap hari kelas nggak sepi kayak kuburan. Sama kayak hari ini.
15 menit sebelum bel masuk, tiba-tiba Junaedi Putra Junanda sudah nyusun meja dan kursi jadi piramida kecil. Udah bawa gitar di tangannya.
Konser dadakan.
Tak lama setelah itu, iring-iringan Juned datang. Dengan membawa dua batang pensil di tangan.
"Ibu-ibu, Bapak-bapak siapa yang punya anak bilang aku
Aku yang tengah malu, sama teman-temanku
Karena cuman diriku yang tak laku-laku...""Lo emang nggak pernah laku kali, Jun!"
Celetukan itu mengundang tawa satu kelas. Juned mengumpat pelan, menjitak kepala Rakhe. Cowok bongsor itu turun. "Sialan lo, Lo bikin gue malu! Tau nggak?"
"Nggak." Rakhe tertawa. "Lho? Lo masih punya malu ternyata? Gue kira masih nyangkut di rahim emak lo."
"Yakin lo punya malu, Ned? Bukannya kekubur sama ari-ari, ya?" Sambung seorang cowok yang berselonjor di atas kursi. Aji, yang bisa dibilang masih normal dan waras ketimbang teman-temannya. Tapi tetap aja, sewaras-warasnya dia, tetap bakal di anggap gesrek sama yang lain. Apalagi buat anak kelas IPA.
Kayak kelas ini. Sekolah ini nggak kayak novel teenlit yang selalu dibaca anak muda. Nggak ada murid SMA dengan almamater, highschool internasional, ataupun anak orang kaya 7 turunan. Bukan, ini cuman SMA Negeri biasa. Berseragam putih abu-abu.
Ya, SMA ini bukan kayak gitu. Tapi SMA seberang, iya. Kayak gitu.
"Lo perhatiin siapa sih, Lan?"
Seorang gadis berambut coklat gelombang menepuk bahu sahabatnya. Kayna Morietta Delanor. Keturunan German-Sunda. Jangan ditanya cantiknya kayak gimana. Sifatnya yang feminim dan easy going membuat dia menjadi primadona kelas. Nggak heran kalau sampai ada fanbase-nya.
Bulan menggeleng kecil. "Gue nggak pernah lihat dia. Siapa?" Tanya gadis itu sembari menunjuk seseorang di pojokan. "Penampilannya gitu amat. Dia kira hidup di abad keberapa, dah"
Gadis tadi, Rembulan Alshabiela. Keluarganya panggil dia Alsha. Tapi temen kelas nyebut dia Bulan. Tokoh utama dalam cerita ini. Bertolak belakang 180° dari Kayna. Tomboy, kalau ngomong nggak di filter dulu, kasar, dan sifat negatif lainnya. Sama kayak namanya, dia cantik. Kayak bulan purnama yang bersinar terang di atas langit.
Kayna terkekeh. "Kenapa? Lo tertarik?" Godanya. "Arkan Ananda Putra. Masa lo nggak tahu? Bulan-bulanan sekolah. Dia anak baru, pindah waktu kenaikan kelas 11"
"Lho? Dia samsak bully?" Tanya Bulan dengan dahi berkerut. "Tapi, kalau dilihat, lumayan sih."
"Lo serius ngomong bocah macam dia 'lumayan'? Hell, Lan. Mata lo minus berapa sih?" Tanya gadis di sebelah Kayna. "Perlu gue beliin kacamata lalat?"
Rahma Chandra Widyastika. Si ratu gosip sekolah. Jaringan dia banyak, sama kayak mantannya. Baru seminggu putus dari Gema, si kapten basket. Kemarin udah pasang story instagram jalan sama Anjas, anak sastra kelas atas.
Bulan berdecak. "Aduh Rah, sans kali. Lo kira gue budeg? Lagian kenapa sih kalo gue bilang dia lumayan?"
Rahma nyengir. "Iya maaf, kan gue syok, Lan. Masa lo naksir pantat mangkok, sih? Lo nggak tau apa, dia jadi mainannya Juned sama gengnya? Kasihan sih, tapi gimana lagi? Orang dia sendiri yang bego."
"WOY ARKAN! SINI LO!"
Teriakan Bibim sontak membuat sebagian kelas terpaksa menoleh. Nggak terpaksa sih, soalnya kebanyakan pada kepo. Apalagi yang manggil itu Bima Hanggara Prayudha. Bosgeng sekolah. Satu geng sama Juned.
"Ke kantin dong!" Pinta Bibim memaksa. Pemuda itu hanya mengangguk kecil. Menyanggupi.
"Gue nescafe sama batagor, ya." Juned angkat suara. Mengeluarkan selembar uang ungu. "Lo apaan, Bim?"
"Samain kayak lo, lah."
Rakhe yang sekarang angkat tangan. "Gue pop ice taro. Kalo nggak ada, pokoknya cari sampe ada. Sama chikiball keju satu."
Reyan yang terakhir. "Gue chupa-cupz aja deh, yang cola. Duit lo dulu, cuman dua ribu doang." Katanya santai.
Dan bodohnya, pemuda itu mengangguk patuh. "S-saya permisi dulu."
Bulan terdiam. Tanpa sadar memperhatikan kolong meja Arkan ketika cowok itu sudah keluar kelas. Ada tempat tupperware orange di sana. Lho, itu kotak bekal? Terus kenapa Arkan masih terima titipan Juned?
Diam-diam Bulan menghela napas pelan. Dan itu, adalah pertama kali dia bertemu dengan seseorang yang begitu berbeda di zaman ini.
Arkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Namanya Arkan
Teen FictionIni bukan kisah badboy idaman, atau tentang pemuda sempurna kaya raya yang diidolakan banyak pihak. Karena jujur, aku juga telah muak dengan kisah itu. Ini hanya ringkasan kisah tentang Arkan. Pemuda dengan tinggi menjulang yang menjadi teman sekela...