"They saw me like a guilty.
Believe me, I'd tried as hard as I can do.
Don't always blame me like I'm a wrong. And you
stand there like you always right."***
"Kakak? Kok baru pulang?"
Suara lembut itu sedikit membuat tubuhnya bergetar. Bulan menatap takut ke arah Bundanya. Re menatap anak gadisnya khawatir. "Kakak dari mana aja? Kalau ada kerja kelompok kenapa nggak kabarin orang rumah dulu?"
Bulan tak bergeming. Dia tetap saja memilih bersembunyi di balik punggung kokoh teman kecilnya. "Sore tante," Itu Laskar, dia tersenyum manis pada wanita itu. "Tadi Alsha kelupaan mau ngabarin, Tan. Tapi kerkol nya udah beres kok." jelasnya.
Re mengangguk mengerti."Syukurlah kalau gitu. Oh ya, Kak, hari ini udah dibagikan hasil ujian matematika nya?"
Glek
Tanpa sadar gadis itu meremas lengan kemeja putih Laskar.
"Alsha."
Bulu kuduk nya langsung meremang. Namun masih dia beranikan untuk mendongak menatap Ayahnya yang perlahan turun dari lantai dua. Ada Regha di belakangnya, adiknya itu sudah mengganti baju dengan pakaian santai.
"Mana ujian matematika nya?" tanya pria itu datar. Bulan lagi-lagi menelan ludahnya. "Ayah tahu ada pembagian hasil ujian, Alsha. Ayah mau laporannya."
Kertas itu dirematnya. Dadanya berdetak bahkan mungkin 3 kali lebih cepat. Regha menatap iba kakaknya. Andai saja dia bisa membantu. Tapi apa yang bisa dia lakukan? Setiap perkataan Raffa adalah otoritas yang tak bisa dibantah. Gadis itu menyerahkan kertas lusuhnya dengan tangan gemetar.
Raffa langsung menghela napas keras saat membuka halaman kertas putri nya. Tinta merah dengan banyak coretan dan angka besar '45' yang tidak bisa ditulis dengan santuy. Mata elang nya menatap Bulan datar. Bahkan putri tunggalnya itu tak berani bahkan untuk membalas tatapannya. Setakut itukah Bulan padanya? Seakan pria itu adalah seorang psikopat tanpa hati.
Lha kan emang psikopat nggak punya hati.
"Belajar lagi." Hanya itu yang Raffa ucapkan. Lalu tanpa tambahan apapun langsung menghilang di balik pintu ruang kerjanya.
Bulan menghela napasnya. Namun tetap menunduk, pemuda itu mengelus pipi buntal nya, membawa dalam sebuah pelukan hangat. "Nggak apa, Sha... Om Raffa nggak marah kok."
Si gadis tersenyum sarkas. "Iya dia nggak marah, karena mungkin udah coret gue di KK." sahutnya. Ia menoleh pada Laskar. "Thank's Las, lo udah bantuin gue. Tapi sekarang gue nggak apa, lo bisa pulang sekarang."
Laskar mengangguk samar. "Hm, gue pulang dulu ya? Kalau ada apa-apa, hubungi gue." balasnya parau. "Tante, saya pamit dulu." Pemuda itu membungkuk hormat, lalu berjalan ke arah pintu keluar.
Re menatap wajah kusut putrinya. Bukan, bukan salah Bulan kalau dia tak mahir hitungan. Genetika Bulan memang duplikat Raffa, tapi tidak dengan kapasitas otaknya. "Kak, udah-"
Sebelum selesai ucapannya, Bulan langsung menggeret tas dan naik ke lantai dua. Sama sekali tak ingin mendengarkan ucapan Ibunya. Wanita itu tahu benar, Bulan sedang ingin sendiri.
***
"Kak,"
Panggilan dari adik bungsu-nya itu sama sekali tak mengalihkan atensi Bulan dari kaca jendela. Regha menghela napas, menghampiri Bulan yang duduk di atas kasur minimalis yang menjadi bagian dari window sill kamarnya. "Kak, temenin gue kuy!" Dia menoel bahu Kakak beda setahun nya. "Laper nih, ke McD ayok. Gue bayarin dah," bujuknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Namanya Arkan
Teen FictionIni bukan kisah badboy idaman, atau tentang pemuda sempurna kaya raya yang diidolakan banyak pihak. Karena jujur, aku juga telah muak dengan kisah itu. Ini hanya ringkasan kisah tentang Arkan. Pemuda dengan tinggi menjulang yang menjadi teman sekela...