4. Pardon.

56 17 4
                                    

Sebelum membaca, harap vomment ya kaka~
Asekkkk

***

Arkan diam. Tak ada gerakan yang berarti dari tubuhnya. Mata elang itu hanya menatap manik Bulan lurus. Membuat gadis itu meneguk salivanya.

"Kan."

Sepasang mata itu mengerjap. "Y-ya?"

"Lo nggak jawab juga nggak masalah sih, orang udah jelas gue nggak akan kenal orang yang lo maksud. Nyari-pun buat apa? Kalau kata lo dia udah nggak ada." Bulan berujar santai. Menyangga dagunya dengan tangan.

Arkan menghela napas, tersenyum lembut. Wajahnya menghadap ke bawah, "Tidak. Kamu salah. Kamu... kamu mengenalnya. Sangat mengenalnya."

Mulut gadis itu sukses membuat huruf 'O'. "Ha-hah?! Kok bisa?"

"Dan itu, adalah satu hal yang tak bisa saya katakan." Balas Arkan sambil berbisik, tangannya terangkat dengan jemari yang bergerak menyelipkan rambut panjang Bulan ke belakang telinganya.

Deg!

Tubuh mereka berdua kaku. Dengan posisi yang masih bertahan seperti itu. Bulan menatap mata sehitam arang itu. Arkan tak berbohong, Bulan yakin itu. Siapa? Orang yang sangat dekat dengannya namun telah tiada itu? Apa mungkin...

Ah, mustahil. Mana bisa?

Pemuda itu tersenyum teduh. "Jangan bicara dengan saya lagi ya? Setelah ini. Kamu anak yang baik, dan kamu berhak bahagia. Bersama dengan teman-teman kamu." Arkan menurunkan tangannya.

Bulan tersadar, mukanya memerah entah kenapa. Itu adalah perlakuan sederhana. Bahkan kedua saudaranya sering melakukannya. Tapi entah mengapa, kalau yang melakukan itu adalah Arkan, rasanya berbeda.

"M-maaf, s-saya... saya lancang." Pemuda itu menunduk kikuk. Melirik Bulan dengan mata teduhnya.

"S-santai... gue nggak gampang baper kok." Bulan tersenyum kikuk.

Arkan menghela napas lega. "Saya tinggal dulu ya? Setelah ini, janji sama saya. Jangan pernah bertengkar dengan teman kelas hanya karena saya. Ini bukan zona kamu, dan kamu belum siap untuk keluar dari zona nyaman ini." Ia menyunggingkan senyum kecilnya. Bangkit dari duduk.

Kenapa? Kenapa dia tak merasa risih pada pemuda ini? Bukankah mereka baru bertemu kemarin? Dan saat Arkan menyentuh rambutnya tadi...

"Kenapa? Gue nggak ngerasa risih di samping lo?" Tanya gadis itu lirih.

Arkan yang hendak pergi langsung menghentikan niatnya. Dia mengangkat bahu singkat. "Entahlah, mungkin karena kita pernah bertemu sebelumnya."

"Hah? K-kapan?"

"Kalau saya beritahu-pun, kamu tak akan percaya." Katanya. "Bel masuk sebentar lagi akan berbunyi. Lekaslah kembali ke kelas."

Arkan sudah berjalan agak jauh saat Bulan memutuskan untuk ikut berdiri. Gadis itu membuang bungkus rotinya ke tempat sampah. Menatap punggung Arkan yang kian lama mengecil.

"ARKAN!"

Tap!

Langkah pemuda itu terhenti. Bulan menunggu hingga pemuda itu berbalik. Lima detik, Arkan tak kunjung melakukannya.

"Maaf."

Satu kata itu meluncur dari bibirnya. Gadis itu sendiri tak paham, mengapa dia mengatakannya. Apa salahnya pada Arkan?

Sepuluh detik.

Sepuluh detik itu terasa sangat lama. Tak ada respon yang berarti dari pemuda jangkung itu. Bulan terdiam, Ia meremas jemarinya erat. Terkepal rapat pada kedua sisi tubuhnya.

Namanya Arkan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang