6. Meet Up

50 14 1
                                    

"Semua orang pasti punya satu rahasia yang mereka simpan rapat-rapat."
-Arkan-
***

"Sumpah! Raka ganteng banget!"

"Ah... Mau dong, di gombalin A'a Raka..."

Dan berbagai cuitan lainnya.

Bulan menghela napas keras. Dia mengetuk meja Tania berkali-kali. "Paan sih? Berisik banget dah. Ngalahin Mbak Tuti lagi gosipin Abang cilok, tau nggak lo pada?!" Dengusnya galak.

Fyi, Mbak Tuti itu penjaga kantin sekolah mereka.

"Kok gue? Nih, Cece juga!" Tuduh Tania sambil menunjuk Cessa yang berada di depannya.

"Lha, Kenapa jadi gue? Kan, Shani sama Tania yang ribut." Balasnya tak terima.

Gitu aja mulu sampe ilmuan nemuin jawaban mana lebih dulu antara ayam sama telur.

"Lagian... Raka ganteng banget. Kan Shani nggak kuat..." Ujarnya dengan nada imut. "Ngalah-ngalahin Zach Lu tau nggak?"

Tania mengangguk. "Ngalah-ngalahin Mean juga!"

"Ngomongin apaan sih?" Kayna menepuk bahu Bulan. Gadis itu mengangkat bahu, malas menjawab.

"Woy, ngomongin apaan?" Akhirnya Kayna yang tanya sendiri.

Aurel menyodorkan hp-nya. "Calon suami gue..." Sahutnya sambil nyengir gak jelas. Bulan langsung menoleh ke Kayna. Benar, raut cewek itu langsung berubah.

Shani langsung menoyor kepala Aurel gemas. "Ngawur lo! Pacar gue itu mah!"

"Bapak gue!"

"Selingkuhan gue elah!"

Bulan mendesis. Perlahan menarik Kayna menjauh. "Lo nggak apa?"

"Hm?" Gadis itu menoleh innocent. "Nggak apa... kenapa?"

"Kay!" Bulan kesal sendiri. Bukan itu yang ingin dia dengar.

Kayna terkekeh. "Nggak apa lah, ngapain juga?" Jawabnya santai. "Udah ah, gue ke koprasi dulu, mau beli pulpen." Dia tersenyum tipis. Lalu pergi keluar kelas.

Bulan menghela napas. Mengambil dompetnya dan segera keluar kelas. Gadis itu masih memikirkan Kayna. Mungkin, Raka adalah orang yang dia benci. Tapi Kayna, adalah sahabatnya. Semua masalah Kayna adalah miliknya juga. Walaupun harus dia akui, sangat malas jika urusan sahabatnya itu berhubungan dengan Raka. Dia tuh alergi sama orang itu.

Langkahnya mantap menuju kantin. Memesan beberapa roti dan satu air mineral pada Bu Sum dan membayarnya. Mbak Tuti di sana, sedang mengantar pesanan murid lainnya.

Gadis itu terdiam saat netra nya menangkap sebuah punggung yang berjalan menjauh. Satu senyum terbit dari bibirnya. Dengan segera, Bulan memacu kakinya untuk mendekati pemuda dengan tinggi menjulang itu.

"Arkan!"

Bulan nyengir saat mendapati Arkan hendak membedah sebuah karung pupuk. Pemuda itu tak terkejut, hanya menatap Bulan dengan tatapan datar.

"Sedang apa di sini?"

Gadis itu menatap arah lain. Mencoba mencari jawaban. "Em... kalo gue bilang mau ketemu lo, gimana? Tetep datar aja tuh, muka?"

Arkan langsung mengubah raut wajahnya. Tak sedatar tadi, tapi juga masih bisa dibilang nggak punya ekspresi. "Serius hanya untuk itu? Lalu, kresek berisi roti itu untuk apa?"

Bulan memanyunkan bibirnya. "Cerewet amat sih lu, kayak emak-emak nagih tupperware!"

Arkan tersenyum miring, lalu mendengus kecil. Melepas sarung tangan karetnya. "Jujur saja." Katanya. "Ada yang ingin kamu bicarakan, bukan?"

Namanya Arkan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang