10. Drugs and Parents Conversation

59 12 3
                                    

Pria itu mendengus lelah. Mata hitamnya menatap jengah pada tumpukan kertas yang semakin hari makin menggunung. Oh, ayolah. Bahkan kertas-kertas itu menyita lebih dari setengah meja kerjanya.

Tok! Tok!

Dua ketukan itu membuatnya menghela napas. Mari berharap jika itu bukan asisten sialan nya yang ingin menambah penderitaan pria 40 tahun itu.

"Rel, aku masuk ya?"

Oh Tuhan, terima kasih telah mengabulkan doanya.

Melodi indah itu mengalun masuk ke gendang telinganya. Pria itu tersenyum kecil, "Hei, Ay."

Wanita itu menutup pintu ruang kerja suaminya. Melangkah anggun dengan membawa secangkir teh panas. "Masih numpuk ya?" tanyanya sambil menaruh teh itu di atas meja sang suami.

Raffa menghela napas lelah. "Tau nih, bingung sendiri gimana selesai'in nya." Ia mengambil cangkir itu, menyesapnya pelan. "Rosemarry?"

Re mengangkat bahunya. "Like always."

"Gimana kantor? Kamu kayak deep pressure banget tau nggak?" Re memijit lembut bahu lebar suaminya.

"Makanya, kamu bantuin sini. Biar cepet kelar." Ia menatap istrinya, yang disambut gelak tawa Re.

"Udah rela Praharta Corp. bangkrut? Jangan minta aku bantuin kamu kalau nggak mau itu terjadi." Kekehnya. "Lagian kamu kok aneh-aneh sih? Udah tau aku jebolan Psikolog, kenapa malah jejelinnya grafik ilmu ekonomi?"

Raffa berdecih. "Lagian juga Papa aneh-aneh aja. Aku itu ngambilnya FK, bukan manajemen akuntansi. Kenapa malah di suruh tanggung jawab rumah sakit sama perusahaan pusat? Di tambah IT lagi. Kenapa nggak Oki aja yang emang kemampuannya di akomodasi ekonomi." Pria itu menggerutu. Menyebutkan nama salah satu adiknya.

"Sabar ya?" Ia mengelus rambut Raffa, menepuknya berkali-kali. "Kamu nggak minta sekretaris kamu buat izin cuti. Malah nggak harus izin, kamu kan bos-nya." Re akhirnya menarik kursi di dekatnya. Duduk di samping suaminya.

Ia menoleh ke arah Re. "Kenapa nggak duduk di pahaku sih, Ay?"

Wanita itu langsung melotot. Tanpa segan menggeplak kepala orang yang sudah dia kenal sejak masa SMA. "Inget umur! Nggak cocok tau nggak sih kamu ngomong gitu. Kesannya kayak om-om pedo, tau nggak?!" cetusnya pedas.

"Canda juga." Raffa menggerutu. Lebih memilih kembali fokus pada pekerjaannya.

Re menghela napas. "Sayang, kamu butuh istirahat. Udah seminggu ini lho kamu mendekam di ruang kerja mulu. Cuman keluar kalo sarapan sama makan malam." Ia mengelus pipi tirus Raffa. "Aku bantu ngomong ke Elena, ya? Biar aku yang ngomong sama sekretaris kamu itu."

Kini giliran Raffa yang melotot. "Nggak, nggak ada! Aku nggak mau kamu baku mulut lagi sama dia ya!" peringat pria itu. Re tersenyum manis, "Nah, itu tau. Cepetan ngomong sendiri gih!"

Pria itu meringis ngeri ketika melihat senyuman malaikat istri tercintanya. Mengenal Re dari kelas 11 sudah membuatnya hapal di luar kepala tentang semua tabiat dan sifat istri cantiknya itu. Dan dia tahu, senyum lembut layaknya bidadari itu malah mengandung seribu makna berbahaya. "Anak-anak gimana Ay?"

Re mengedipkan matanya beberapa kali. "Baik kok. Raka masih sibuk syuting, tapi aku masih pantau kuliahnya. Kakak sama adek kemarin sama-sama ujian, nanti aku cek hasilnya."

Namanya Arkan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang