Gadis muda itu menatap pagar tembaga kokoh itu nanar. Dia memasukkan tangannya ke saku hooide. Sudah lama dia tak kemari. Tentu saja begitu asing. Setelah segala kenangan itu berakhir, dia jelas tak ingin sebenarnya untuk datang kembali berkunjung.
Tapi ya sudahlah, sahabatnya lebih penting.
Jemari lentiknya menekan bel putih di tembok, berdiri gugup. Semoga saja satpam keluarga Bulan yang membukakan pintu. Semoga saja orang itu tak ada di rumah hari ini. Semoga saja-
Gesekan roda pagar itu menghancurkan isi pikiran nya. Kayna tersenyum, syukurlah Dewi Fortuna masih berpihak padanya. Pak Amir yang membukakan gerbang.
Pria paruh baya itu mengerutkan dahi heran. "Loh, ini Mbak Kayna bukan? Mari masuk mbak..."
Gadis itu meringis, perlahan meremas tali tas-nya. Berjalan melewati setapak batu sebelum mencapai pintu kokoh besar putih dengan ukiran rumit.
Tangannya mengepal ragu, mengetuk pintu itu tiga kali. "Permisi!" Dadanya berdegup kencang, semoga saja dia masih beruntung kali ini. Semoga bukan-
Ceklek!
Tubuhnya kaku. Dia berdiri mematung di hadapan pemuda itu. Seseorang berusia 20-an yang membukakan pintu untuknya. Jelas, wajar jika dia tertegun begitu. Sudah cukup lama dia tak memandang wajah itu langsung. Wajah letih yang tak pernah berubah, tatapan tajam namun teduh dan sayu disaat bersamaan, juga.... bibir yang selalu melengkungkan senyum indah saat mereka bersama. Dulu.
Lututnya lemas saat pemuda jangkung itu juga menatapnya. Sebuah coding yang mungkin tak pernah Ia mengerti. Tatapan yang menyimpan teka-teki baginya. Tidak, tak semuanya adalah teka-teki. Kayna masih mampu membaca satu binar dari sekian banyak makna. Raka rindu, pada dirinya. Terlebih saat Ia menyebut nama gadis itu lirih.
"Kayn?"
Jika saja telinganya tak cukup tajam, mungkin dia akan melewatkan panggilan itu. Ah, sesusah inikah? Ternyata sakit sekali ya bertemu seseorang yang masih dicinta, tapi takdir tak pernah berpihak.
Dia tersenyum kaku. "Halo kak, saya mau ketemu Bulan. Dia ada?"
Raka menggigit bibir bawah. "Kamar." Singkat. Bahkan Raka enggan menatap sosok di hadapan nya.
"Saya permisi." Ia menunduk, berjalan melewati Raka.
"Kayn."
Spontan. Kayna menghentikan langkahnya, berbalik ke belakang. Menatap kakak sulung sahabatnya itu bingung. Sorot matanya tenang, walau tak bisa dipungkiri jika gantungnya berdetak lebih hebat.
"Aku..." Raka menatap si gadis sayu. "Aku tahu semua. Alasan utama kamu mau hubungan ini berakhir 3 tahun lalu. Bukan karena bosan, itu cuman skenario kamu doang kan?"
Napasnya tercekat. Tidak, bukan ini yang dia inginkan. Tujuan nya hanyalah datang ke rumah ini untuk masuk ke kamar sahabatnya, mendengarkan cerita Bulan dengan tenang. Hanya itu.
Raka maju beberapa langkah. "Kamu memilih pergi karena karier aku kan? Karena kamu takut ada apa-apa sama keselamatan kita. Kayn, aku udah bilang-"
"Na, lu ngapain berdiri kek patung selamat datang gitu?" Di anak tangga ke lima, Bulan berdiri dengan kedua tangan menyilang di dada. Mata hazelnya menatap Raka tajam.
Pemuda itu tak peduli. "Aku tahu kamu benci pembahasan ini, aku juga nggak niat untuk lanjutin lagi kok. Aku cuman mau bilang, aku kangen...."
Gadis itu menahan napasnya. Menghalangi buliran bening untuk turun. Bayangan itu menari dalam kepalanya. Kisah manis mereka...
"A-aku..."
"Kalian ngapain sih? Lagi main drama pelakor?" Sahut Bulan sinis. "Ke kamar gue yuk Kay."
KAMU SEDANG MEMBACA
Namanya Arkan
Teen FictionIni bukan kisah badboy idaman, atau tentang pemuda sempurna kaya raya yang diidolakan banyak pihak. Karena jujur, aku juga telah muak dengan kisah itu. Ini hanya ringkasan kisah tentang Arkan. Pemuda dengan tinggi menjulang yang menjadi teman sekela...