2. Laskar.

103 22 4
                                    

"Lo ngapain di sini?"

Baritone serak itu membuat tubuhnya tegak secara tiba-tiba. "Ya, gue jalan-jalan lah, nyari jajan. Kasian kucing gue ngandang mulu, nanti nggak dapet jodoh lagi."

Laskar -nama pemuda itu- tertawa lepas hingga matanya menyipit. Jawaban Bulan terlalu abstrak menurutnya. "Duh, lo tuh dari dulu emang kayak bocah, ya? Nggak pernah berubah." Sahutnya. Bulan diam, tanpa sadar memperhatikan tawa cowok itu. Tawa khas yang sudah menjadi ciri khas Laskar. Coba hitung, dia tak pernah bertemu dengan Laskar semenjak kenaikan kelas 3 SD. Hanya sesekali berbicara lewat Skype. Dan, BOM! Cowok itu di sini, menyapa-nya seolah baru kemarin mereka bertemu.

Laskar Bahtera Indrajaya. Teman sepermainan nya ketika dia masih ingusan. Mereka beda sekolah, namun bertetangga. Karena ada beberapa hal, keluarganya pindah ke Melbourne. Dan, di sinilah dia sekarang. Kembali pada tanah air merah-putih nya.

"Lo... Lo sejak kapan?" Gadis itu akhirnya berani membuka suara. Tapi matanya tak pernah lepas dari tangannya yang mengelus bulu kucing berumur 1,5 tahun itu.

"Apanya?"

"Balik dari Melbourne." Cicitnya pelan. "Karena apa?"

Laskar terdiam. Lalu tersenyum tipis. "Gue kasih tahu pun lo nggak bakal paham." Tangannya terangkat, menjitak kepala Bulan pelan.

Gadis itu menepisnya gusar. "LASKAR!" Bentaknya. "Gue bukan anak kecil lagi, elah."

Cowok itu tertawa. "Tapi bagi gue, lo bakal selalu jadi mini Alsha yang ngerengek minta di temenin bobok kalo nggak ada orang di rumah lo."

Blush...

Warna merah menjalar dari pipinya. Bulan melotot, "Apaan sih? Laskar bego!"

"Ngatain bego lagi. Emang lo udah ngerasa mampu ngalahin gue?" Tanya cowok itu penuh percaya diri.

Bulan berdecak. "Bodo dah, bodo. Capek gue ngomong sama lo."

"Pulang yuk? Emak lo nyariin tuh," Ajaknya. "Gue kesini juga di suruh Tante kali."

Gadis itu mengangguk.

Laskar tersenyum puas. Berusaha menggenggam tangan Bulan, namun sudah di tepis duluan oleh gadis itu. Laskar mengerutkan dahinya.

Bulan menunduk. "Ini bukan jaman kita dulu yang bisa seenaknya gandengan tangan, Las. Kita bukan anak kecil lagi."

Laskar terdiam. Mempersilahkan Bulan untuk melanjutkan.

"Mungkin bisa, kita santai-santai, gandengan tangan seenak jidat, rangkul-rangkulan dengan spanduk 'sahabat'. Tapi bagi orang lain nggak, mereka akan memandang dengan persepsi yang berbeda. Kita sama-sama dewasa. Lo harus paham batasannya mulai sekarang." Bulan memainkan jemarinya, menghela napas pelan. Melangkah duluan meninggalkan pemuda itu yang masih kaku di tempat.

Laskar mengulum bibirnya. "Gue juga mikir gitu, Sha. Tapi lihat lo yang semakin tumbuh mekar kayak gini, gue nggak yakin bisa bertahan dengan dalih sahabat." Ucapnya lirih.

Pemuda itu tersenyum masam. Menyusul langkah Bulan yang beberapa meter di depannya.

"Naik mobil gue ya?"

Bulan menoleh. "Ngapain? Nggak usah. Rumah gue deket, tinggal ngesot aja bisa." Jawabnya asal.

"Ayolah, sekali... aja, lo bareng gue." Pinta cowok itu memelas.

Bulan berpikir sejenak. "Oke, terserah lo."

Senyum cowok itu mengembang. "Yes!"

***

Namanya Arkan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang