EPILOG

2.7K 122 6
                                    

"Mau berapa lama lagi kita nunggu? Kalau begini terus bisa-bisa ketinggalan pesawat."
 
Cowok yang ditegur tidak menanggapi. Masih mengedarkan pandangannya menyapu apa saja yang ada di bandara. Sesekali melirik ponselnya berharap ada pesan masuk atau telepon dari seseorang yang dinanti-nanti, atau lebih bagusnya datang dan mengucapkan selamat tinggal secara langsung.
 
Dari tadi jarinya sudah geregetan untuk menghubungi lebih dulu. Tapi logikanya selalu menolak, ia sudah bertekad untuk tidak lagi mengganggu orang tersebut.
 
"Biar gue telepon aja. Percuma nunggu tanpa kepastian gini," kata Azka kemudian. Cowok itu ikut deg-degan, takut-takut kalau Darel benar-benar tertinggal pesawat.
 
"Gak usah. Gue cuma mau lihat dia masih perduli sama gue atau gak," ujar Darel.
 
Alan. Cowok yang akan mengantar Darel dan mengurus semua keperluan kuliah adik iparnya di USA itu terlihat gelisah. Sesekali melirik jam tangannya yang terus berdetik, hingga menit-menit kian terlalui.
 
"Lima menit lagi habis itu kita berangkat," tukas Alan.
 
"Sepuluh menit lah, Bang." Darel bernegosiasi.
 
"Oke. Dua menit."
 
"Iya iya lima menit," kata Darel pasrah. Netranya masih sibuk melakukan hal tadi. Kakinya tidak bisa diam mengetuk tanah. Cowok berjumper hitam itu semakin tidak tenang dibuatnya.
 
Tadi, orang tua juga kakak-nya ikut mengantar. Tapi mereka sudah pulang karena Rani membawa bayi. Tidak bisa berlama-lama dalam kebisingan. Hingga menyisakan dua sahabatnya, Azka dan Eza.
 
"Pas lima menit. Kita berangkat sekarang!"
 
Darel menghela napas berat. Memasukkan ponsel dalam saku celana jeans hitam lalu menarik gagang kopernya. Tersenyum ke arah dua sahabatnya dan menepuk-nepuk bahu keduanya bergantian.

***

"Gue telat?"
 
Gwen menatap kosong ketiga sahabatnya. Matanya kian  berkaca tidak mendapati Darel bersama mereka.
 
"Dia gak nungguin gue?"
 
"Darel udah nunggu hampir setengah jam, Gwen. Dia gak punya banyak waktu," kata Eza.
 
Gwen merasa sesak. Seperti terhunus ribuan duri yang menghujam tiada henti. Kakinya melemas hingga kini berjongkok menyembunyikan kepala di kedua lututnya.
 
"Harusnya gue gak usah ragu buat datang ke sini."
 
Amel mengelus punggung Gwen menenangkan. Tanpa diminta air mata ikut jatuh karenanya.
 
"Dia pasti kembali. Lo harus kuat untuk empat tahun itu."
 
Ini bukan perkara empat tahun menanti. Tetapi, bisakah selama itu mereka saling menjaga hati?







TERIMA KASIH
SUDAH MEMBACA DAREL SAMPAI AKHIR

SEMOGA DAREL DAPAT MENGHIBUR KALIAN SEMUA YA^^

MENURUT KALIAN CERITA INI GIMANA? ADA YANG MAU DISAMPAIKAN KE DAREL?

JANGAN LUPA BUAT BACA CERITA CERITA AKU YANG LAIN^^

See you^^

DarelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang