Kemenangan untuk SMA Merdeka di pertandingan basket kali ini. Lawannya kalah telak dengan skor yang tertinggal jauh. Kebahagiaan terpancar dari team basket SMA Merdeka juga para murid lain. Darel yang paling banyak mencetak poin hingga sampai diangkat teman seteamnya.
Dari kejauhan seseorang menarik ujung bibirnya, dia tentu ikut bangga tapi tidak mau mendekat. Hanya memperhatikan lalu berbalik pergi sebelum orang yang dilihatnya sedari tadi menyadari.
"Gwen."
Telat. Cowok itu sudah menangkapnya.
Gwen berbalik, Darel setengah berlari ke arahnya. "Suka banget ngeliatin dari jauh. Udah gitu langsung pergi lagi. Gak mau kasih ucapan selamat, apa?" Darel kesal. "Seenggaknya bilang 'selamat ya pacar' atau 'selamat ya, beb' gitu."
"Selamat, ya," tukas Gwen.
"Gak ikhlas." Darel menyilangkan tangannya, cemberut.
Menarik napas panjang. "Selamaaaat tuan muda atas kemenangannyaaaa."
"Nah, gitu dong!" menepuk-nepuk puncak kepala Gwen.
Jika kalian berpikir bagaimana hubungan Darel dengan Gwen sekarang? Jawabannya masih sama seperti hari-hari lalu. Darel masih sering meninggalkan Gwen demi Lily. Dan jika kalian penasaran seperti apa perasaan Gwen saat di UKS beberapa hari lalu, Gwen benar-benar hancur. Hana bilang kondisi Gwen terus membaik nyatanya, suhu tubuh Gwen naik lagi. Dan mau tidak mau Gwen pulang-diantar Eza. Gwen tidak tahu kenapa, tapi saat ini, Eza lah yang paling mengerti dirinya. Dan tanpa Gwen duga, pulang sekolah Darel langsung ke rumahnya. Gwen bingung harus senang atau gimana, tapi menjadi yang kedua itu tidaklah menyenangkan.
Kira-kira seperti ini lah percakapan mereka waktu itu.
"Kenapa pulang duluan? Kenapa gak bilang dulu biar aku antar," tanya Darel.
"Nungguin kam7?" Gwen tersenyum miring. "Aku keburu mati."
"Jangan gitu dong, Beb. Aku minta maaf karena gak bisa jagain kamu."
"Iya lah, kamu kan bisanya jagain Lily. Pedulinya cuma sama Lily."
Darel menghembuskan napas. Mengelus rambut Gwen yang tengah berbaring. "Gak gitu. Aku punya alasan ngelakuin itu semua. Aku peduli sama kamu buktinya, aku ada didekat kamu sekarang."
Malas mengomentari panjang lebar yang malah membuatnya sakit hati Gwen memilih diam.
"Eza udah cerita semuanya. Aku minta maaf, Gwen. Aku bener-bener gak tau. Lagian kenapa kamu gak bilang coba kalau takut ketinggian, kan bisa nunggu di bawah aja. Andai kamu bilang pasti keadaannya gak gini sekarang."
"Bahasa kamu baku banget, sih."
"Aku lagi serius. Kalo kondisi kamu begini aku gak mau main-main."
Gwen menelan salivanya alot. Darel menatapnya dalam tak berekspresi, terlihat cowok itu memang sedang serius.
"Gak mau ngehancurin acara kalian, apa lagi Lily. Aku lihat dia bahagia banget bisa jalan sama kamu," ujar Gwen ikut serius.
"Tapi kamu ngehancurin perasaan aku sekarang. Gak bisa Gwen aku lihat kamu kayak gini."
Gwen tersenyum, menarik tangan Darel ke dahinya. "Aku gak papa, panasnya udah turun kan? Kamu bisa rasain sendiri."
Darel ikut tersenyum, ganti mengusap-usap pipi Gwen. "Udah dimaafin belum akunya?"
"Emm ... Belum."
"Yahh! Kok belum sih."
"Tunggu pengen."
"Kapan pengennya?"
"Ya gak tau. Pokoknya tunggu pengen maafin aja," tukas Gwen.
"Iya deh." Darel pasrah. Dan setelahnya obrolan terus berlanjut. Gwen tersenyum dan kadang tertawa dengan tingkahnya, tapi dibalik itu semua Darel lihat ada yang mengganjal. Cewek ini seperti menutupi sesuatu. Sampai ponselnya kembali berbunyi dan Darel mengangkatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Darel
Teen Fiction[REVISI] [FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA] "Kenalin nama gue Darel. Lima huruf, satu kata, mudah diingat susah dilupakan." Darel. Sebuah nama singkat dan padat. Cowok pintar dalam pelajaran tetapi bodoh dalam perlakuan. Juga cowok yang menyandang sebaga...