Darel benar-benar mengakui kesalahannya. Sejauh ini sudah lebih dari cukup rasa bersalah menghantui pikirannya. Ia ingin tenang, meminta maaf lalu kembali ke keadaan awal walau sangat kecil kemungkinan semua akan kembali seperti yang ia inginkan.
Darel tidak tau sefamous apa ia di SMA Merdeka ini, karena saat ia masuk ke XII-IPA 3 seluruh pasang mata mengarah padanya.
"Gak akan gue bantai kalian semua," seloroh Darel, membuat mereka mendelik.
Darel menghampiri meja ketiga dari depan, tempatnya di tengah-tengah. Duduk di kursi menghadap cewek di sampingnya.
"Mel—"
"Apa?!" ketus Amel tidak bersahabat. Sangat malas meladeni anak satu ini.
"Belum juga ngomong. Jangan galak-galak kenapa. Damai lah damaiii," ujar Darel meminta damai.
"Bodo ah gue laper." Amel beranjak dari duduknya. Keluar kelas dengan Darel yang membuntuti.
"Mel, gue cuma mau tanya tentang Gwen aja," kata Darel di koridor.
"Perduli apa, lo? Harusnya lo seneng dong Gwen pergi. Dia udah gak ganggu-ganggu lo lagi."
"Iyaaa gue ngaku gue salah tapi pliiiss, kali ini aja bantu gue minta maaf sama Gwen. Kasih tau gue di mana Gwen sekarang," pinta Darel.
Amel menyeringai, melipat tangan di dada. “Baru sadar sekarang, huh? Selama ini ke mana aja, lo?"
"Selama ini gue tidur, puas lo! Buruan kasih tau di mana Gwen?"
"Gue gak tau Gwen di mana," kata Amel, kembali melangkahkan kakinya.
"Gue nanya serius, Mel. Gue cuma mau minta maaf."
"Minta maaf terus nyakitin lagi? Minta maaf mah gampang, Rel. Tapi menurut Lo apa mudah nyembuhin rasa sakitnya?"
"Gue akan berusaha jadi lebih baik lagi. Pliis, Mel bantu gue."
Amel menatap Darel intens, terlihat ketulusan dari dalam sana.
"Sayangnya gue gak tau di mana Gwen. Kalau pun gue tau , gue gak akan ngasih tau elo!" Masih tidak bisa menerima Darel.
-oOo-
"Senyum dong Rel senyuuuuum. Kusut banget punya muka. Gak ada yang kasihan sama lo, yang ada ngetawain lo di luaran sana," kata Rani pada Darel yang tengah duduk bersandar di sofa, menatap langit-langit rumah kosong.
"Salah sendiri nyakitin anak orang. Kabur kan anaknya. Bangor sih jadi cowok," komentar Rani lagi.
"Lo bisa diem gak?" tukas Darel tajam.
Cewek hamil empat bulan itu tersenyum remeh. Sudah tiga hari ia menginap di rumah Mamanya karena jaraknya lebih dekat dengan rumah sakit. Dan selama itu pula ia mendapati adiknya dalam perasaan tidak baik. Tentu Rani tau apa alasannya, diam-diam dia juga kepo dengan Mamanya.
Rani mengambil camilan keripik singkong di meja lalu duduk di sebelah Darel. "Sensi mulu sama gue. Jangan-jangan sama Gwen begini juga lagi. Pantes aja sih Gwen pergi. Pasti dia bangga udah ninggalin cowok kayak elo."
"Kak!" sentak Darel menatap Rani kesal.
"Apa?" balas Rani sembari menikmati keripik singkong santai. Tidak takut sama sekali akan tatapan Darel.
"Bener ya kata gue?" lanjutnya masih menyudutkan Darel.
Darel mengusap rambut kasar, kembali bersandar. “Ibu hamil gak usah kebanyakan gosip. Ntar anaknya ketularan yang digosipin."
"Amit-amit, deh," ujar Rani mengusap-usap perutnya yang mulai membesar.
"Kalau lo jadi Gwen, apa lo bakal ngelakuin hal sama?" tanya Darel tiba-tiba.
KAMU SEDANG MEMBACA
Darel
Jugendliteratur[REVISI] [FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA] "Kenalin nama gue Darel. Lima huruf, satu kata, mudah diingat susah dilupakan." Darel. Sebuah nama singkat dan padat. Cowok pintar dalam pelajaran tetapi bodoh dalam perlakuan. Juga cowok yang menyandang sebaga...