04

21.1K 3.2K 569
                                    

Haechan melirik ke arah Mark dengan takut-takut, mendadak merasa tidak nyaman berada di dalam mobil itu, apalagi ekspresi Mark tampak sangat marah, sedikit menakutkan.

Lelaki itu mencengkeram kemudi kuat-kuat dan kemudian sedikit mengebut, untunglah mereka ada di jalan tol yang lengang, sehingga mereka sedikit aman. Tetapi walaupun begitu, jantung Haechan serasa berpacu ketika Mark semakin dalam menginjak gas mobilnya, membuatnya berpegangan pada sabuk pengamannya dan berdoa dalam hati karena ketakutan.

Kalau gaya Mark menyetir seperti ini, dia tidak akan mau pergi semobil berdua dengan laki-laki itu lagi. Haechan berjanji dalam hati, melirik ekspresi lelaki itu yang sangat gusar. Kenapa Mark tampak begitu marah? Telepon siapa itu tadi?

[•]

Mereka sampai di apartement Mark dan lelaki itu masih membisu, membuat suasana tidak enak, lelaki itu lalu membuka pintu apartemennya dan mempersilahkan Haechan masuk, "Silahkan, anggap seperti rumah sendiri." Mark bergumam memecah keheningan.

Dia lalu masuk di belakang Haechan dan membanting tubuhnya di sofa, menyalakan televisi. Lama kemudian suasana tetap hening sehingga Mark menoleh ke belakang dan mengangkat alisnya ketika melihat Haechan masih berdiri di sana dengan gugup di dekat pintu sambil meremas-remas jemarinya.

"Kenapa kau masih berdiri di situ?" Mark tampak terkejut menatap Haechan.

Pipi Haechan merah padam, dia tampak malu, "Eh... aku... aku tidak tahu harus kemana..."

Mark menghela napas panjang menghadapi kepolosan Haechan, pemuda  ini luar biasa polosnya hingga Mark merasa menjadi serigala yang sedang berusaha menerkam anak kecil bertudung merah yang tidak tahu apa-apa.

Dengan sedikit gusar Mark berdiri, merasa agak menyesal karena suasana hatinya yang buruk membuat Haechan terkena imbasnya. Ya. Telepon pengacaranya tadi benar-benar merusak moodnya. Mark langsung menutup telepon setelah mengucapkan penolakan yang kasar, tidak memberi kesempatan pengacara ayahnya untuk berbicara.

Dasar lelaki tua yang kurang ajar. Meskipun tahu itu salah, Mark terus menerus mengutuki ayahnya. Seenaknya saja dia berusaha kembali mengatur kehidupan Mark setelah dulu dia meninggalkan Mark dan ibunya, apakah dia pikir Mark adalah manusia yang tertarik dengan gelar dan harta? Tidak! Lelaki tua itu seharusnya tahu betapa puasnya Mark karena menolak permintaannya, Mark bahkan akan sangat senang kalau lelaki itu memohon dan menyembah-nyembahnya dan dia akan tetap menolak permintaan lelaki tua itu dengan puas.

Setelah menghela napas panjang, Mark menatap Haechan yang tampak kebingungan dengan ekspresinya yang berubah-ubah. Kasihan juga pemuda ini. Harinya sudah buruk dan Mark yakin demamnya masih belum begitu reda, sekarang harus menghadapi emosinya pula.

"Sini, kutunjukkan kamarmu. Sebenarnya ini kamar yang sama yang kau tempati ketika sakit tadi." Walaupun begitu Mark tidak bisa menahan suaranya yang terdengar ketus, "Lain kali jangan bersikap canggung di sini, kita hanya berdua dan sikap canggungmu membuat suasana tidak enak. Lakukan apa yang kau suka, anggap saja rumah sendiri, kalau kau ingin menonton televisi silahkan, kalau kau ingin membuat makanan silahkan, lakukan apa saja yang kau suka, nanti kita akan membahas beberapa aturan, apa yang boleh dan tidak boleh di rumah ini, tapi sekarang kau boleh beristirahat dulu. Aku juga lelah, mau tidur siang."

Sambil terus berbicara, Mark mendahului Haechan yang terbirit-birit mengikutinya melangkah ke kamar kedua di apartemen yang cukup luas itu, Mark membuka pintu kamar itu dan melirik ke arah Haechan.

"Masuklah dan istirahatlah dulu, nanti sore kita bicara." Setelah itu, tanpa melirik sedikitpun pada Haechan, Mark berlalu.

"Te... terimakasih..." Haechan berseru gugup, entah Mark mendengarnya atau tidak karena lelaki itu sudah melenggang kembali ke ruang tengah.

Crush in RushTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang