ثَلَاثَةَ عَشَر َtsalaatsata 'asyara

1.6K 116 5
                                    

  بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم ِ

13. Kesedihan Alvin

Malam telah mencapai puncak. Namun, dua mata Alvin enggak tertutup. Dalam benaknya tidak ada yang lain selain gadis bernama Velicia. Tentang senyumnya, kata-katanya, wajah takutnya, dan ekspresi saat membaca buku di perpustakaan. Semua itu bagai slide yang terus bergantian di otaknya. Sejak pernyataan Alvin yang siap menjadi pengganti, Veli tidak lagi muncul di hadapannya.

Bahkan sudah lebih dari seminggu ini dia tidak menemukannya di perpustakaan. Padahal gadis itu selalu menghabiskan waktu istirahat di gudang ilmu setiap harinya.

Alvin hanya ingin Veli tahu, bahwa dia sudah hafal satu juz. Namun, bagaimana memberitahu jika tidak bertemu?

Dia pernah nerobos ke madrasah putri untuk mencari Veli. Namun, berujung hukuman yang didapat. Karena dia ceroboh berjalan di koridor yang tersorot cctv.

Alvin butuh angin malam untuk menenangkan. Dia beranjak membuka jendela. Sampai tidak sadar bahwa hal itu akan membangunkan kedua temannya yang sedang bermain di istana impian. Belaian angin menusuk kulit membuat Azmi dan Rayyan tidur meringkuk. Alvin sudah biasa dengan angin malam, karena sebelum masuk pesantren dia adalah kelelawar. Tidur di siang hari, main malam hari.

Dingin yang semakin menusuk membuat Rayyan terbangun. Dia melirik Alvin yang tertunduk di kursi bawah jendela, sambil memegang kartu bukti hafalan. Wajahnya menampakkan kesedihan, membuat Rayyan mengurung niat untuk menegur. Dia memilih aksi daripada kata. Beranjak untuk menutup jendela.

"Masih sedih gara-gara perempuan itu belum tahu hafalan kamu?" tanya Rayyan setelah menjatuhkan diri di samping Alvin.

"Ya iyalah! Gue kan hafalin juz amma karena dia, buat dia juga," katanya sedikit emosi. Bukan karena hukuman yang membuatnya menghafal, tapi memenangkan taruhan itu yang ingin Alvin capai. Dan selama ini Alvin tidak punya prestasi apa-apa dibanding Veli, dengan hafalan itu dia ingin menunjukkan bahwa dia juga punya prestasi.

"Kenapa niatnya bukan karena Allah?"

"Karena dari awal semangat gue buat menghafal tujuannya karena dia. Dia yang selalu nyemangati gue, dia yang selalu nanya-nanya 'Vin, hafalanmu udah sampai mana?' dia juga yang membuat pikiran pesimis gue hilang. Dan di saat gue udah berhasil, dia harus tahu semua itu. Dia harus bangga sama gue."

Rayyan mengembuskan napasnya gusar, mata yang ngantuk berusaha dia tahan untuk terbuka. "Itu yang buat kamu sedih. Niat kamu menghafal karena dia, kan? Di saat dia tidak tahu hafalanmu, kamu kecewa. Coba kalau niatnya karena Allah. Allah kan Maha Mengetahui, sebelum kamu kasih tahu pasti udah tahu duluan. Dan kamu nggak bakalan kecewa seperti ini."

"Jadi gue salah, nih?"

"Menurut Kakak sih, iya."

"Terus gue harus gimana?"

Rayyan tidak punya rangkaian kata untuk menjawab. Dia menatap Alvin curiga. Ada hal ganjal yang harus Rayyan tanyakan, agar bisikan setan tidak meracuni otak. Daripada curiga terus dibungkam, nantinya jadi fitnah. "Bagaimana ceritanya kamu bisa dekat dengan santriwati?"

Butuh beberapa detik untuk menjawab pertanyaanya. Alvin juga takut jika hubungannya dengan Veli yang sering bertemu sembunyi-sembunyi ketahuan. Dia harus bicara hati-hati, terlebih orang di sampingnya adalah ketua OSIS. "Nggak deket, sih. Komunikasi aja nggak tiap hari. Kadang kalau dia lagi fokus membaca, gue cuma bisa merhatiin dia dari jauh. Soalnya dia kutu buku banget," jawabnya sedikit gugup.

Rayyan mengangguk, "Belajar menundukkan pandangan, Vin." Seulas senyum tercetak. "Tidur, gih. Udah malem banget."

[[-_-]]

Dinamika Hati [SELESAI ✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang