خَمْسَةَ عَشَرَ khamsata 'asyara

1.7K 105 0
                                    

15. Khawatir

"Mumtaz," puji Ustadz Ginanjar kepada seorang santriwan yang telah selesai tes pidato bahasa Arab. (Mumtaz=keren/bagus)

Alvin celingak-celinguk, rasa was-was menyelinap masuk tanpa permisi. Selain belajar tajwid, Alvin tidak suka pada yang berkaitan dengan bahasa Arab. Baginya, bahasa itu terlalu rumit untuk dipelajari. Padahal Umar bin Khatab radiyallahu anha berkata, "Belajarlah kalian bahasa Arab, karena ia adalah bagian dari agamamu." Dan bahasa Arab sangat  istimewa karena bahasanya ahlul jannah.

"Anta." Ustadz Ginanjar menunjuk Alvin, lalu mengkode untuk ke depan.

Mampus. Allah, lenyapkan gue sekarang juga! Dengan keraguan yang menggumpal di hati, dia ke depan membawa kertas berisi pidato bahasa Arab. Di saat yang lain dihafal, beda lagi dengan Alvin yang sangat malas menghafal itu.

"Masmuka?"

"A-Alvin," jawabnya gugup.

"Thafadhol."

Jantungnya berdetak lebih cepat, cukup lama laki-laki itu mematung. Dia takut, takut pengucapannya salah, takut isi pidatonya aneh, takut dikomentar pedas, dan takut-takut yang lainnya.

"Bismillāhhi rahmānirrahīm. Assalamuaikum warahmatullahi wabarakatuh," salamnya lancar, serempak dijawab oleh semua orang. "Kaifahalu?" tanyanya basa-basi diikuti senyun kikuk.

"Bikhoir, alhamdulillah." Teman-temannya menjawab serempak lagi.

Dia membuka kertas yang dilipat dua, menampilkan tulisan Arab yang acak-acakan. Matanya beralih ke Ustadz Ginanjar yang sedang memperhatikannya. Udah gugup, diperhatiin lagi. Sial, kesalnya dalam hati. Pandangannya langsung dilempar ke lapangan yang sepi. Lingkungan pondok juga tidak kalah sepi, karena kegiatan belajar mengajar sedang berlangsung. Ada yang di kelas, taman, aula, di dalam masjid, ada juga yang di selasar masjid. Seperti kelas 1 tsanawiyyah, Ustadz Ginanjar memilih selasar untuk dijadikan tempat tes.

Pengucapan yang berantakan membuat Ustadz Ginanjar menatap sinis kepada Alvin. Santriwan yang satu itu tidak ada perubahan, setiap tes hanya mendapatkan huruf jim minus atau setara dengan huruf C.

Intonasinya kurang, makhorijul hurufnya berantakan, ditambah isi pidatonya sedikit. Membuat Ustadz beranak satu itu memijat kepalanya. Lagi, huruf yang ditulis sebagai nilai untuk Alvin adalah jim minus.

Usai salam, laki-laki itu kembali duduk di barisan paling depan.

"Anta." Ustadz Ginanjar menunjuk ikhwan yang berada di barisan keempat paling samping.

Fiuh. Selamet, nggak dikomen apa-apa, ungkapnya dalam hati. Rasa deg-degan saat di depan telah terganti oleh rasa lega. Namun, Alvin kecewa dengan ustadz itu. Santriwan yang lain diberi respon mumtaz, tapi dia tidak. Padahal dia sudah bekerja keras untuk mendapat materi pidato, sampai minta translate kepada Rayyan. Tidak di sekolah, tidak di pesantren, seorang guru tetaplah memuji yang cerdas, bukan yang bekerja keras. Itu pikir Alvin.

Rasa iri mulai terusik dari tidurnya, menimbulkan ketidak sukaan kepada ustadz maupun teman yang lainnya. Tanpa terlihat wujudnya, setan sedang tertawa puas telah berhasil menyuntikkan penyakit hati kepada salah satu anak Adam.

Ditutup doa kafaratul majelis, Alvin langsung pergi tanpa mencium tangan Ustadz Ginanjar. Santriwan itu tersesat jauh dari pelajaran akhlak. Seharusnya dia tahu, seorang thalabul ilmi tidak akan mendapat setetes ilmupun yang bermanfaat jika tidak bisa menghormati gurunya.

"Gue mau keluar dari sini! Nggak guna banget hidup gue," ujarnya sambil meninju kepala sendiri. Setan sedang meracuni otak, seketika ingatannya di saat sedang menjalani hukuman terbayang, poin demi poin dijatuhkan, teguran dan nasihat terngiang secara jelas. Hidupnya beda dengan orang lain yang selalu dipuja dan dibanggakan.

Dinamika Hati [SELESAI ✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang