سِتَّةٌ

2.4K 152 10
                                    

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

6. Tentang Keikhlasan

Suasana asrama santriwan sepi. Derap langkah dua orang santri dengan rida terselempang di bahu terhenti. Empat mata itu terpaku melihat kamar 37 asrama Abu Bakar As-Sidiq. Lemari nomor 48 terbuka, memperlihatkan pakaian tak tersusun rapi. Di lantainya berserakan beberapa pakaian dan selimut. Tidak lupa dengan tempat tidur yang tidak rapi di samping lemari itu. Meja belajar dengan nomor sama seperti lemari berantakan, lampunya masih menyala, beberapa buku terbuka, dan sampah kertas tergeletak begitu saja.

Santriwan yang memakai satung hitam di belakangnya ada garis-garis putih mencatat nomor kamar itu.

Selang beberapa jam, santri berlomba keluar dari masjid ketika jam dinding menunjukkan waktu materi sudah habis. Mereka kembali ke habitatnya masing masing. Dua santriwan penghuni kamar 37 terheran dengan kamarnya, biasanya juga selalu rapi.

"Ulah Alvin, nih! Tuh, anaaaaak ...," geram seorang santriwan yang sudah di kamarnya lebih dulu daripada kedua santriwan yang sekarang di ambang pintu.

"Husnudzon, Matt. Lebih baik kita bersihkan," ujar salah dari santriwan di ambang pintu itu.

"Tapi ini kenyataan, Yan, bukan maksud menuduh anak itu. Lihat lemarinya, meja belajarnya, sampai tempat tidurnya berantakan. Kamar ini kotor karena ulahnya. Bagaimana jika ada patroli keamanan yang melihat, kita semua bisa dihukum."

Rayyan masuk lebih dulu, menghampiri Matteo yang tengah frustasi karena kamarnya acak-acakan. "Kita bersihkan, ayo." Rayyan menepuk pundak Matteo dua kali kemudian menyimpan kitab ke atas meja belajar bernomor 47. Lalu matanya nyalang ke arah temannya yang masih di ambang pintu. "Mi, sampai kapan mau jadi patung?"

"Lagi mikir, bagaimana buat Alvin berubah. Apa perlu kita buat jera terlebih dahulu?" Azmi melangkah menuju tempat tidurnya, dia letakkan kitab di sana, kemudian duduk di tepinya.

Rayyan yang memungut beberapa kertas di lantai lalu kembali berdiri. "Tak perlu dengan tindakan untuk membuatnya jera, cukup doakan semoga Allah membalikkan hatinya. Jika dengan kata masih dihiraukan, semoga dengan doa mampu mendobrak hatinya. Kita memang jengkel dengan tingkah dia, tapi jangan jadikan alasan untuk membenci." Pembawaan Rayyan yang kalem memang membawa suasana kembali tenang.

Ketiga santriwan itu membersihkan kamar, dengan hati yang berusaha ikhlas. Tentang ikhlas, sulit untuk dijabarkan. Kadang bibir mengatakan ikhlas, tapi hati masih terasa jengkel. Kadang tindakan tanpa pamrih menggambarkan keikhlasan, tapi keinginan riya masih ingin dilakukan.  Ikhlas tak seringan yang dikatakan, bahkan orang yang berilmu tinggi pun kadang ada yang masih belajar untuk ikhlas.

"Kepada penghuni kamar nomor 37 asrama Abu Bakar As-Sidiq, ditunggu di lapangan."

Suara dari speaker membuat ketiga santriwan itu menghentikan aktivitasnya. Rayyan segera menutup lemari, begitu pun dengan Azmi yang segera membereskan sprei. Matteo terpaku di meja belajar, ada rasa ganjal dalam hatinya. "Jangan-jangan kita dihukum," ujarnya.

"Emang kita melakukan kesalahan?" tanya Azmi dengan kening mengkerut.

"Lebih baik kita segera hampiri, daripada berpikiran macam-macam." Rayyan menjadi penengah antara kedua temannya. Dia keluar duluan, diikuti oleh Azmi dan Matteo yang menerka-nerka ada apa.

Ketiganya menghadap seorang santriwan yang mempunyai rahang tajam, alis tebal yang dekat, dan wajah tegas menakutkan. Kening yang tertutup sorban itu mengkerut. "Hanya bertiga?"

"Empat, Kak. Satu orang lagi belum kembali ke kamar," jawab Azmi memberanikan diri.

"Cari dia sampai dapat, lalu menghadap ke sini lagi?"

Dinamika Hati [SELESAI ✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang