AYU NAN LAYU

61 4 0
                                    

Nyayian untuk Tuhan terdengar sayu, dari sela dinding bambu tua. Udara surga menusuk tiap helai, tangkai kucup lalu tergoda, berpelukan hangat dan tersenyum ria. Lalu, kicau burung siap menyambut surya di pagi buta.

Lesung-lesung berdialog mesra menambah hangat suasana hijau. Asap membumbung pertanda petani harus bergegas pergi, uap tercium, bau ikan asin menggerimis menghujani nafsu.

Bunga namannya ayu wajahnya. Berlari membawa dan yang kecil berisikan nasi dan kawannya. Bersalam santun pada sang ayah, berharap pulang ayah bawakan sesuap nasi untuk esok hari.

Ayah tak kunjung pulang hingga bulan menjemput mentari. Bunga gelisah lantas berkaca-kaca, khawatir dengan si petani tua. Terdengar ramai suara lafaz-lafaz suci, terucap dari setiap lidah kerumunan warga.

Tapi..
Ayah t'lah tiada,..
Sontak Bunga terjatuh, memeluk kasat tubuh tak bernyawa itu. Kini bunga tak tau arah untuk melangkah esok hari.

Di desa itu dia tumbuh, kuncup lalu bermekaran. Niatnya ke kota hendak mencari kerja, tapi tersesat dan tak tau arah lalu terdampar di sudut-sudut; tiap kamar gelap, kota metropolitan.

Dia menangis, menyesal setelah ayu tertabur benih. Lima bulan telah berlalu, dengan tubuh yang menjadi dua. Tak tau harus mengadu pada siapa, pun Tuhan tidak akan perduli.

Ali sodikin




GELAS PUISITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang