PUING YANG BERDEBU

34 2 0
                                    


Aku pernah berjalan sendiri, melangkah tanpa arah. Kasih tak pernah ku dapat, luka lara selalu ku terima.

Kau semakin melangkah jauh, di selimuti kabut-kabut malam. Kau tenggelam dalam deras hujan yang membasahi bumi.

Tak bisa ku bedakan, seolah keduanya menyatu membasahi pipi; tangis ku tak kau hiraukan, kehidupan ku tak kau pedulikan lagi. Malam ku hiruk dan hidup ku melayang, antara kenyataan dan mimpi buruk.

Dan malam pun kembali membawa luka, bersama secercah kenangan yang pernah kau goretkan. Luka yang mengering, darah yang tak menetes lagi dan air mata yang sudah kering keronta seolah kembali mengalir dan menetes jatuh seperti kala itu.

Aku hanya rindu, rindu akan gelak tawa. Aku hanya iri, iri dengan mereka yang tak pernah luput dari kasih dan sayang. Aku juga kadang takut untuk kau hadir kembali, tapi jujur aku sangat merindukanmu; Ayah, ibu dan keluarga kita.

Aku ingin memelukmu, erat; sampai kau tak bisa melepas lagi. Tapi tak mungkin, bayangmu saja tak ku lihat; apalagi mendekap ragamu.

Darahku adalah darahmu, hidupku adalah perjanjianmu dengan Tuhan. Tak bisa ku helai nafas meski perih menyayat dada. Jangan takut, rumah ini masih terbuka untuk kalian, maaf ini masih utuh di genggaman, dan hati ini sudah tak sanggup lagi untuk menahan Perih.

Kembalilah, aku menunggu di depan pintu rumah yang berdebu. Jika kau datang, jangan menangis sontak memeluk ku. Tapi keringkan dulu tangis adik semata wayang ku, pulang lah. Meski...

Kini, aku atau bahkan orang lain hanya bisa melihat puing-puing itu, rumah yang dulu menjadi satu-satunya tempat untukku pulang, namun kini tak lebih hanya sekedar reruntuhan berselimutkan debu.

Ingin rasanya membangun kembali rumah itu, namun tanganku tak sekuat milik Ayah, dan hati ini tak setegar milik Ibu. Aku ingin rumah ini berdiri meski hanya dengan satu tiang, karena aku siap menjadi penyangga asal semuanya kembali hangat, Ayah, Ibu aku mohon pulang lah, aku letih duduk berdiri didepan pintu, aku lelah menahan tangis yang tak kunjung kalian dengarkan, pulang lah.

GELAS PUISITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang