Delapan

2.5K 162 3
                                    

   Sementara itu disisi lain kota Probolinggo, seorang wanita sedang berjalan memasuki kantor polisi yang berada didekat alun alun kota Probolinggo. Wanita itu berjalan dengan santainya seperti sudah terbiasa bolak balik masuk kantor polisi.

Seperti yang sudah diduganya kakak kembarnya itu pasti sedang sholat maghrib, dia menunggu diruangan kakak kembarnya itu, 15 menit menunggu akhirnya sang kakak datang.

"Salwa?" Tanya dua orang laki laki berbadan kekar dan berseragam polisi.

"Kak Hasan, kak Husan." Ucap perempuan yang diketahui bernama Salwa.

"Kamu kenapa kesini dek? Apa ada yang menyakitimu?" Tanya yang bernama Hasan.

"Nggak ada kak, tapi teman Salwa butuh bantuan, jadi gini ustadz Syakir....." mengalirlah semua cerita dari mulut Salwa.

"Kurang ajar, akan kakak kasih pelajaran laki laki itu." Ucap yang bernama Husain sembari mengepalkan kedua tangannya.

"Kak sekarang Salwa harus bantu Azmi untuk cari Arsa kak, kakak bisa bantu Salwa kan?" Tanya Salwa sedikit memohon.

"Kamu punya sesuatu yang bisa digunakan untuk melacak keberadaan Syakir?" Tanya Hasan.

"Adanya sih cuma nomer HP, emang bisa?" Tanya Salwa sembari menunjukan deretan gigi putihnya.

"Kami ini polisi Salwa, semuanya bisa kami lacak, kamu kembalilah ke pesantren Nurul Qadim, nanti jika kakak sudah bisa melacak semuanya akan kakak bertahu." Jawab Husain sembari tersenyum.

"Makasih kak, Salwa sayang sama kakak." Ucap Salwa sembari memeluk kedua kakaknya itu, tidak ada seorang pun yang tau dibalik sikap nakalnya Salwa ada ribuan luka dan kesedihan yang dia pendam.

🎲

   Sementara itu dirumah Arsa semua orang gelisah memikirkan Arsa yang entah berada dimana, hanya suara tangisan ummi lah yang menjadi satu satunya suara di ruang tamu saat itu.

Buyah mondar mandir tidak tentu arah, sementara Azmi menutup wajahnya dengan kedua tangannya, disebelahnya sudah duduk Ahkam dan Aban. Tak banyak yang bisa Azmi perbuat selain menunggu kedatangan Salwa, semoga saja Salwa berhasil melacak keberadaan Syakir, meski Azmi sendiri tidak tau dengan cara apa Salwa melacaknya.

"Arsa hiks... hiks..." ucap ummi lirih seraya terisak.

"Ning Aliyah, maafkan putraku." Ucap ummi Wulan, umminya Syakir.

"Maaf katamu? Apa dengan ucapan maaf itu pitriku bisa kembali? Apa maafmu itu bisa mengembalikan Arsa?!" Bentak ummi dengan sisa tenaganya.

"Ummi, ini bukan salahnya." Ucap buyah menasehati.

"Kau benar! Ini bukan salahnya! Tapi ini salahmu! Kau kan yang begitu ingin Arsa menikah dengan Syakir! Sekarang lihat apa yang terjadi! Begitu butanya hatimu hingga tidak bisa melihat cinta dimata putrimu sendiri!" Ucap ummi yang tersulut emosi.

"Maaf ummi." Sahut buyah lirih, namun ummi tak menghiraukan ucapan buyah itu dia malah pergi keatas dan masuk kekamar Arsa.

Buyah ikut menyusul ummi naik ke atas, dia tau ini semua salahnya! Dia sangat egois! Dia pikir keputusannya itu yang paling benar! Namun ternyata dia salah! Sekarang putrinya yang merasakan akibatnya!

Tok... tok...

Ummi hanya menatap sekilas seseorang yang mengetuk pintu kamar Arsa, pandangannya masih tertuju pada setiap rangkai kata yang ditulis Arsa dalam buku diarynya, semua tentang cintanya tersimpan rapi dibuku diary itu.

"Buyah tau buyah salah, buyah minta maaf, buyah janji nanti kalau Arsa sudah ketemu, buyah akan merestui dia dengan Azmi." Ucap buyah sembari duduk disamping ummi.

"Putrimu itu telah menyimpan cintanya selama 8 tahun, cintanya tersimpan rapi seperti cinta Fatimah untuk Ali, hanya Arsa dan tuhan yang tau." Ucap ummi sembari menglus pelan buku diary Arsa.

"Kau juga tau?" Tanya buyah.

"Aku adalah ibunya, aku tau semua tentang dia, aku tau isi hatinya tanpa dia cerita apa pun aku mengetahuinya." Jawab ummi.

"Kalau kau ingin minta maaf, minta maaflah pada Arsa dan Azmi, merekalah yang telah kau sakiti bukan aku." Lanjut ummi sembari berjalan keluar kamar Arsa.

Buyah pun ikut keluar dan kembali keruang tamu, ummi duduk disamping Azmi dengan meminta Aban untuk berpindah duduk disamping Ahkam.

Ummi lalu menyodorkan sebuah buku diary yang dia bawa dari kamar Arsa pada Azmi, Azmi pun masih tampak diam sembari mentap buku itu. Dia tau itu buku Arsa, itu buku diarynya, tapi kenapa ummi memberikan buku itu padanya?

"Ambillah." Ucap ummi sembari tersenyum tipis.

"Ini gapapa ummi, inikan buku diarynya Arsa." Ucap Azmi sedikit canggung.

"Semuanya tentangmu." Sahut ummi, Azmi pun menerima buku itu, dia mulai membuka lembar demi lembar buku diary itu.

Namamu,

Harus kau tau bahwa sampai saat ini namamu masih ada dalam doa doaku, tanpa mengenal lelah aku menyebutmu.

Harus kau tau bahwa namamu masih tercetak indah di sujud terakhir sepertiga malamku, aku selalu berdoa agar kelak Allah menyatukan kita dalam ikatan halal.

Dalam Diam,

Dalam diam aku menyebut namamu, maaf kalau aku telah lancang menyebut namamu dalam doa tanpa izin.

Dalam diam aku selalu berhayal akan dirimu, aku mengagumimu namun hanya dalam diam, aku lebih memilih menjadi Fatimah dari pada menjadi Khadijah.

Malaikat Tampan Bersuara Merdu,

Muhammad UlulAzmi Askandar.
Tampan seperti Nabi Muhammad, kesabaran dan keteguhan hatinya bagai kelima Nabi yang mendapat gelar UlulAzmi
Suara merdunya mampu menyihir siapa pun yang mendengar, lelaki dengan semua kharisma yang nyaris sempurna, siapakah hati yang tak akan terpanah?

Melihat wajahmu mampu membuat orang tersenyum, apa lagi mendengar suara elokmu itu, jadi pantaskah kau kusebut Malaikat Tampan Bersuara Merdu.

ukhraaa_

Ana Uhibbuka Fillah UstadzTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang