18. Tak Ada Kabar

594 43 13
                                    

Allahumma shalli 'ala sayyidinaa Muhammad wa 'ala aali sayyidinaa Muhammad.

"Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah."

(QS. Alii Imran : 110)

***

Selepas menunaikan salat Subuh, Shila langsung menuju dapur. Berkutat dengan segala jenis peralatan dapur, demi membantu sang ibu yang tengah memasak makanan untuk sarapan nanti. Tidak banyak, hanya membuat porsi masakan untuk tiga orang saja.

Semenjak para penghuni di rumah ini mulai pergi satu-persatu, aktivitas Bu Ema memang semakin berkurang. Dari yang biasanya memasak berjam-jam, sekarang, cukup memerlukan waktu satu jam, semua sudah selesai. Hal itu tentu membuat Shila senang karena tidak perlu berlama-lama diam di dapur.

Meski begitu, tetap saja ia merasa kehilangan, sebab rumah yang dulu ramai menjadi sunyi seolah tak berpenghuni. Rumah ini, menjadi satu-satunya tempat paling bersejarah untuk mereka yang telah meninggalkannya. Namun, sejauh apa pun mereka pergi, rumah tetap menjadi tempat pulang yang paling menyenangkan.

Seperti Ghani misalnya, ia rela pulang setiap 3 bulan sekali dari Yogyakarta, demi mengikis rindu yang setiap waktunya mengendap di dasar hati. Begitu pula dengan adiknya-Alyassa-akan pulang setelah Ghani kembali ke sana.

"Pagi-pagi sudah melamun saja, Shil?"

Teguran dari Bu Ema berhasil meruntuhkan angan Shila tentang perjalanan hidupnya. Setelah mengaduk sayur di panci, pandangan Shila beredar, dan terkunci pada sosok ibunya yang tengah memasukkan kayu bakar ke dalam tungku api.

Helaan napas jengah mulai Shila lakukan. Meskipun tugas memasak sudah sepenuhnya Bu Ema percayakan pada Shila, tetap saja untuk urusan menanak nasi, harus ibunya yang mengerjakan.

Bukannya Shila tidak bisa memasak nasi, tapi tungku api itu yang menjadi masalahnya. Ia tidak bisa jika harus menanak nasi dengan menghidupkan tungku api terlebih dahulu.

"Masaknya sudah selesai?"

"Sudah Bu, tinggal sambal goreng petai saja."

Pandangan Shila sama sekali tak beralih dari memerhatikan Bu Ema. Ibunya itu ... sangat luar biasa perkasa. Usia yang sudah terbilang tua, tak pernah mematahkan jiwa semangatnya. Ia tetap gigih, dengan segala kehebatan yang dimiliki sang ibu.

Tutor terbaik yang tak pernah mengeluhkan setiap rasa sakit. Ibu ... semoga baktimu berbuah surga.

Sekarang tugas memasak sudah selesai. Sebelum berlanjut ke aktivitas yang lain, Shila memilih untuk duduk di kursi meja makan terlebih dahulu, sekadar melepas penat. Kepalanya sengaja ia simpan di atas meja dengan jari tangan yang bergerak abstrak.

Kepala Shila mendongak saat sebuah rantang berada di depannya. "Untuk siapa, Bu?"

"Untuk calon mantu Ibu, tolong antarkan ya."

"Calon mantu Ibu?" Shila membeo ucapan Bu Ema. "Yang mana?"

Saking gemasnya menghadapi perilaku Shila, Bu Ema sampai menepuk dahi anaknya itu cukup keras. "Memangnya kamu pikir yang sekarang jadi calon mantu Ibu ada berapa?"

Takdirku ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang