32. Tegar

575 51 9
                                    

Allahumma shalli 'ala sayyidina Muhammad wa 'ala alii sayyidinaa Muhammad.

Pada semesta yang tak pernah lelah memberi asa, terima kasih masih berkenan mendatangkan pelangi sehabis mendung. Setidaknya, dengan itu aku bisa tahu, bahwa langit tak selamanya kelabu, dan hati tak selamanya bisa bersatu.

~Takdirku~

***

Gemuruh suara ombak terdengar begitu merdu di kala Shila semakin mendekat ke bibir pantai. Terpaan angin yang sedikit kencang, membuat gamis dan hijab yang dipakainya terlihat melambai-lambai. Langkah kaki itu terhenti, tepat setelah pijakannya menapaki pasir putih yang basah.

Sapuan ombak yang mengenai kaki, tak membuat Shila merasa terganggu. Ia malah semakin maju beberapa langkah, agar ombak itu tak lekang membasahi kakinya. Kerinduan akan satu tempat ini perlahan terobati. Satu tempat favorit yang membuat Shila jatuh cinta saat kali pertama mengunjunginya.

Kedua sudut bibir mulai tertarik ke samping, menampilkan satu senyuman yang menenangkan. Mata Shila terpejam rapat, menikmati setiap embusan angin yang membelai lembut kulit wajahnya. Kedamaian dapat kembali ia rasakan setelah sekian lama tak bersua dengan alam yang indah nan luas ini.

Helaan napas berat mulai berembus. Senyum yang semula terpasang manis, berubah getir, kala ingatan tentang berbagai kejadian yang dilaluinya mulai berputar. Berat, tapi Shila tetap harus melangkah, demi bisa sampai ke tujuan yang ia tempuh selama ini. Kini, manik matanya menatap kosong pada laut yang seolah tak berujung.

Kamu tahu, begitu banyak hal yang sama sekali belum ku ceritakan padamu, tapi kenapa kamu harus pergi secepat ini? Meninggalkan berita pahit yang sulit ku terima.

Aku memang tidak tahu, alasan apa yang membuatmu sampai harus menikahi wanita itu. Apakah kamu mencintainya? Jika iya, tega kamu, karena sudah mempermainkan perasaanku.

Shila menarik napas dalam, mencoba menetralkan dada yang kembali sesak. Ingin sekali ia menjerit, menumpahkan segala sesuatu yang menghimpit dadanya. Ternyata sesulit ini mengikhlaskan seseorang yang pernah hadir dalam hidup. Tanpa disadari, air mata sudah kembali membanjiri pipi.

Dulu, kamu menyuruhku untuk membalas puisi buatanmu. Saat itu pula aku membalasnya, Pak, apa kamu mau membacanya? Ah, itu sudah sangat tidak mungkin, karena kamu sudah memilih pergi lebih dulu. Bersama wanita itu.

Sekarang siapa yang jahat? Aku, yang pernah membencimu, atau kamu, yang memilih pergi setelah menorehkan kesakitan mendalam di dasar hati?  

Tangan Shila mengusap pipi dengan kasar. Ia tidak boleh larut dalam kesedihan. Kedatangannya kemari, adalah untuk membebaskan pikiran, bukan untuk menambah kemelut dalam hidup.

Puas menumpahkan air mata, ia kembali melangkahkan kaki. Menyusuri pantai yang terlihat begitu lengang. Bias jingga mulai menghiasi cakrawala. Awan-awan yang berperan sebagai pigura langit pun, tak luput terkena pancaran sinarnya yang megah.

Inilah yang Shila tunggu-tunggu, momen yang paling ia rindukan jika dirinya berkunjung ke pantai. Menikmati senja. Sekarang, Shila telah berdiri di atas sebuah batu karang. Percikan air mengenai wajahnya, kala deburan ombak menerpa batu itu dengan keras.

Senyum masam menghiasi wajah Shila. Seandainya ia bisa sekeras batu karang, pasti ia akan terus menantang dunia. Seperti halnya batu karang, yang selalu menantang ombak untuk menghantam. Sayang, ia tak setegar itu.

Takdirku ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang