16. Mencari Keikhlasan

660 57 11
                                    

Allahumma shalli 'ala sayyidinaa Muhammad wa 'ala alii sayyidinaa Muhammad.

Biarkan semua berjalan sesuai alur yang telah Allah tentukan. Kita memang harus berusaha, tapi tidak diperintahkan untuk memaksa. Sehingga kita lupa, berapa porsi kita dalam mengusahakan sebuah realita, agar tak sekadar menjadi cerita.

~Takdirku~

***

Bunyi detakan dari sebuah monitor EKG, terdengar begitu nyaring di tengah sunyinya malam. Terlebih waktu sudah menunjuk pada angka 12 lewat 15 menit. Hal itu tentu semakin menambah kesan berbeda bagi Fadhil, yang tengah menunggui neneknya di rumah sakit.

Malam ini Fadhil tidak bisa memejamkan mata, entah kenapa. Pertanyaan itu sepertinya sudah terlalu mengganggu. Benarkah ia sudah menikah? Begitu kira-kira kalimat tanya yang terus saja melintas di benaknya.

"Lu tau dari mana Shila udah nikah, kalau lu sendiri gak mau bertanya?" Itulah pertanyaan yang terlontar dari bibir Fahmi tatkala Fadhil menceritakan semua yang dilihatnya kemarin siang.

See, Fahmi saja tidak percaya kalau gadis itu sudah berumah tangga, bagaimana Fadhil bisa seyakin itu?
Apa mungkin semua itu Fadhil lakukan semata-mata karena ia tidak ingin lagi berharap pada sesuatu yang belum pasti? Jika iya, itu lebih bagus.

Memang, Shila bisa saja sudah menikah, tapi tidak mungkin Fadhil sampai tidak mengetahui pernikahannya. Kecuali jika Shila sengaja tidak memberi tahu Fadhil sebab perkara di masa lalu itu.

Tega sekali jika itu alasan yang membuat dia tidak diundang.

Untuk yang ke sekian kalinya, hidung Fadhil mendenguskan napas. Duduk di kursi dekat ranjang, lalu mengusap tangan sang nenek yang tertancap jarum infus. Merasa terusik, Nenek Khadijah sampai terbangun dari tidurnya.

"Fadhil," panggilnya begitu lemah.

Kepala Fadhil yang disimpan di atas ranjang terangkat seketika. "Masya Allah, Nenek, Fadhil mengganggu Nenek ya? Maaf ya Nek, Fadhil sama sekali tidak bermaksud untuk--"

"Kamu tidak tidur?" Tanpa permisi, Nenek Khadijah memotong ucapan Fadhil begitu saja.

"Fadhil ... kan sedang jagain Nenek."

Perlahan, sudut bibir Nenek Khadijah tertarik ke samping. "Nenek tidak akan ke mana-mana, jadi kamu tidak perlu khawatir."

"Mmmm, Nenek mau minum?"

Gerak tangan Fadhil yang hendak mengambil gelas terhenti saat Nenek Khadijah menahannya. "Ada apa, ada yang sedang kamu pikirkan?"

Fadhil tertegun. Sebisa mungkin ia hindari tatapan neneknya yang terus saja menyorot intens. Setelah berusaha menghindar, akhirnya ia kalah. Fadhil tidak tahan jika harus mendapat tatapan yang seolah mengintimidasinya.

"Apa yang sedang kamu pikirkan, Cu?"

"Tidak ada, Nek, Fadhil hanya rindu Nenek, makanya Fadhil menunggu Nenek sampai Nenek bangun," alibinya setelah menundukkan wajah.

"Tidak usah berkelit. Sejak kecil Nenek tahu seperti apa kamu. Kamu itu ... cucu pertama Nenek, setiap perkembangannya selalu Nenek pantau dengan baik. Jadi kamu tidak usah repot-repot mencari alasan supaya Nenek tidak tahu apa yang terjadi padamu."

Helaan napas pasrah dilakukan Fadhil. Neneknya benar, sepintar apa pun ia dalam menyembunyikan sesuatu, pasti akan selalu kedapatan.

"Ada satu kata yang akhir-akhir ini mengusik pikiran Fadhil."

Takdirku ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang