30. Tamu Tak Diundang

655 48 13
                                    

Allahumma salli 'ala sayyidinaa Muhammad wa 'ala alii sayyidinaa Muhammad.

Sesungguhnya kesedihan tidak akan mengembalikan orang yang hilang, tidak menyembuhkan orang yang sakit, dan tidak menghidupkan orang yang mati.

~Laa Tahzan~

***

Semenjak Deri ditemukan dalam keadaan tak bernyawa, jiwa Shila semakin terguncang hebat. Lebih lagi setelah kepulangannya dari Jakarta, Shila semakin murung, dan memilih tak keluar kamar selama berhari-hari. Bukan hanya kepergian Deri saja yang membuatnya sedih, mengetahui satu fakta tentang calon suaminya pun menjadi faktor utama kesedihan Shila.

Begitu sampai di tempat kediaman almarhum, air mata Shila kembali menetes. Dengan setia, Reva memapah sang kakak yang berjalan tertatih-tatih. Berkali-kali tangannya menyeka air di pipi, tapi lagi-lagi air mata kembali membasahinya. Hingga sampailah ia di ruang tengah, tempat di mana jenazah dibaringkan.

Melihat dua mayat teronggok di sana, membuat benak semua orang yang datang, langsung diliputi tanya. Ingin bertanya, tapi kehadiran Bu Vera di hadapannya mengurungkan niat Shila.

"Sayang." Dengan erat, Bu Vera memeluk tubuh Shila. Lantas, Shila balik mendekapnya. Sesekali, usapan lembut Shila lakukan di punggung Bu Vera.

Tanpa bisa dicegah, tangis keduanya pecah. Sama-sama merasa sakit karena kehilangan, tapi tetap saling menguatkan.

"Maafkan Deri, maafkan atas kecerobohannya." Masih dalam keadaan saling memeluk, Shila mengangguk kelu. "Mama sedih dia pergi, tapi mungkin ini yang terbaik untuk kalian."

Tepat setelah mengatakan itu, tangan Shila berhenti bergerak. Perlahan, ia tarik tubuh Bu Vera hanya untuk melihat raut wajahnya.

"Maksud Mama apa?"

Masih sesenggukan, Bu Vera berusaha untuk menghentikan tangis. Namun dadanya terlalu sesak, sampai ia hanya bisa tergugu dalam keadaan mulut menganga. Seperti hendak mengatakan sesuatu.

"Kemarilah."

Bu Vera mengajak Shila agar bisa lebih dekat dengan jenazah. Dengan tangan bergetar, ia singkap kain yang menutupi kedua wajah jenazah tersebut. Tangan Shila meremas dada, menahan perih yang menjalar sampai ke dasar hati.

Matanya sengaja ia pejamkan rapat-rapat. Enggan melihat wajah yang sudah pucat, dengan luka lebam di beberapa bagian. Tenggorokan Shila kembali tercekat. Isak tangis yang ia tahan malah semakin membuatnya sesak. Tidak kuat, tubuh Shila tergolek di depan jenazah Deri.

"Bu Vera, siapa perempuan itu?" Intan bertanya. Setidaknya ia sudah mewakili semua orang yang mempertanyakan hal yang sama.

"Dia...." Bukannya menjawab, tangis Bu Vera malah semakin menjadi. Kembali dipeluknya erat tubuh Shila. Sesekali, ia cium puncak kepala calon menantunya itu. "Maafkan Deri, Nak. Maafkan dia."

Kali ini, bukan hanya Bu Vera dan Shila saja yang menangis, orang-orang yang menyaksikan pun turut meneteskan air mata. Terlalu pilu, sampai suasana sekitaran menjadi semakin kelabu.

Dengan sabar, mereka yang penasaran, menanti jawaban dari Bu Vera. Namun setelah cukup lama menunggu,  Bu Vera masih belum berbicara. Hingga kedatangan Pak Ferdi yang mengungkap semuanya, berhasil membuat tercengang semua orang.

"Dia istrinya Deri."

Tatapan sakit melayang ke arah Pak Ferdi. "Maksudnya, Pa?" Tanya Shila ditengah kekalutannya.

Takdirku ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang