SEPATU 3

127 37 96
                                    

"Pada ngapain naik di meja sama kursi?" tanya Farhan sambil memperhatikan semua teman-temannya, terkadang tawa receh masih keluar dari mulut cowok itu.

"FARHAN!!!!" teriak semua teman sekelasnya termasuk sang guru, semakin membuat tawa Farhan pecah tak karuan.

"Tadi saya lagi nonton film romantis, trus ada kecoak di depan wajah ceweknya. Jadi gak sengaja teriak."

Semua murid langsung turun dari kursi dan meja yang mereka naiki. Membuat Meliana ikut turun dari kursi guru yang ia naiki, sungguh malu akan tingkah lakunya yang tidak sopan apalagi di kelas orang.

"Maaf Bu, saya permisi dulu." Langsung saja ia mencium telapak tangan guru tersebut dan pergi meninggalkan kelas yang seperti kapal pecah ditambah satu biang kerok, membuat kelas itu menjadi semakin tak terkendali.

"Apa kamu juga yang menaruh permen karet di buku saya!?" bentak sang guru, nada bicaranya mulai meninggi. Meliana yakin wajah guru itu sudah memerah karena amarah.

Gadis ber bolamata cokelat itu melambatkan langkahnya penasaran juga akan hal itu.

"Saya kasian sama Ibu, mana bisa ngajar pake buku yang udah robek. Kalo halamannya pada ilang nanti Ibu gak ngajar trus nanti saya bisa kangen sama Ibu."

Apa yang didengarnya itu betul? Ternyata ucapan Sabil tentang cowok tinggi itu benar. Namun kejahilan yang sering dilakukan cowok itu selalu keterlaluan menurutnya. Meliana bertanya-tanya akan satu hal, bagaimana orangtua Farhan bisa tahan dengan sikap cowok itu.

"FARHAN!! Jangan keterlaluan kamu dengan guru, sekarang ayo pergi ke ruang BK, biar orangtua kamu dateng."

Terdengar teriakan sakit dari mulut cowok itu, sepertinya kuping menjadi sasaran empuk sang guru. Meliana segera mempercepat jalannya menuju kelas lain untuk mencari guru yang mau menandatangani kertas miliknya. Sehingga ia bisa cepat kembali ke kelas sebelum bel pelajaran berganti.

<<<<<>>>>>

"Kamu mau saya kasih SP lagi?"

Farhan merasa seperti diintrogasi oleh Bu Wiwit –Guru BK– yang sedari tadi menatap dirinya intens. Tapi itu tak membuat cowok dengan rambut berantakan menunduk takut, justru sebaliknya. Tangannya bahkan menyentuh apa pun yang berada di meja BK.

Membuat emosi guru yang hampir menginjak kepala tiga itu mulai terpancing, terlihat dari tangan guru itu mengepal kuat di atas meja.

"Di kasih hati Ibu juga saya terima dengan senang hati," jawab Farhan asal.

"Telpon orangtua kamu sekarang, saya mau bicara."

"Orangtua saya sibuk Bu, kalau mau bicara sama saya aja. Janji di dengerin," ucap cowok itu sambil mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya, membentuk huruf V di udara.

"Saya butuh bicara dengan orangtua kamu bukan kamu," terang Bu Wiwit dengan nada bicara yang sudah meninggi. Tak kuat jika setiap hari mendapatkan Farhan di ruangannya.

Bisa di bilang langganan ruangan BK karena kejahilan terlalu berlebihan dilakukan cowok tinggi itu terhadap setiap guru yang mengajar di kelas RPL.

"Saya panggil Fadli aja ya Bu. Buat ngegantiin orangtua saya, biar Ibu percaya."

"Biar saya yang panggil." Bu Wiwit bangkit dari tempat duduknya, berjalan menuju kelas RPL. Meninggalkan Farhan yang kini membuang nafas lega, "Untung bisa gua bujuk tu guru."

Kurang dari 10 menit bu Wiwit kembali bersama Fadli di sampingnya.

"Tolong sampaikan agar orangtua Farhan dapat hadir ke sekolah, saya tidak percaya dengan anak itu," jelas Bu Wiwit sambil memandang Fadli penuh harap.

"Ibu masa gak percaya sama saya sih, saya itu anak yang sholeh."

Ucapan Farhan langsung mendapat jitakan mulus dari Fadli, memang temannya itu terkadang bersikap seperti orangtua baginya. Bisa menjadi galak dan bisa menjadi penasihat dalam waktu sama.

"Canda elah."

"Nanti saya bilangin sama orangtua Farhan," balas Fadli membuat Bu Wiwit menjadi sedikit lebih lega akan itu.

Setelah masalah selesai, keduanya melangkahkan kaki menuju keluar ruang BK. Kebetulan jam istirahat telah berbunyi jadi Farhan bisa mengisi perut yang sudah demo minta asupan makan sedari tadi.

"Emang kalo Fadli mah bisa gua andelin, kaya biasa ya."

"Jangan bikin masalah mulu ngapa, cape gua keseret sama masalah yang lu buat."

"Lu emang diseret sama Bu Wiwit buat ke ruang BK?"

"Bodo."

"Kantin kuy, laper gua."

"Lu gak latihan basket?"

Farhan menepuk jidatnya akan hal yang ia lupakan, bagaimana bisa ia lupa akan tanggung jawab yang di embannya. "Gua mau ke RPS dulu." ia segera berlari meninggalkan Fadli yang hanya geleng-geleng kepala melihat itu.

<<<<<>>>>>

Perubahan jadwal yang dibuat Farhan membuat Meliana mengeluhkan hal itu, siapa yang akan pulang dengannya kalau Sabil harus ikut latihan lagi di rumah cowok tinggi itu.

"Ikut aja lagi," anjur Sabil sembari memakan bekal yang ia bawa. Ia sungguh tidak tega jika harus melihat Meliana pulang sendiri siang nanti.

"Males, bisa-bisa kejadiannya lebih parah dari yang kemaren sama di kelas dia tadi."

Meliana memang sudah menceritakan kejadian tadi terhadap sahabatnya itu dan respon Sabil sungguh membuat ia naik darah. Yaitu tawa yang hampir mirip dengan Farhan waktu kejadian berlangsung.

"Trus nanti pulang sama siapa?"

"Sama Sabil."

"Berarti ikut ke rumah Farhan lagi."

Meliana hanya mengedikkan bahu acuh.

Harapannya kini hanya satu, semoga tidak ada kejadian seperti kemarin. Sebenarnya jika kejahilan cowok itu masih di batas wajar mungkin ia bisa untuk melupakan dengan cepat, tapi berbohong tentang makanan kucing sangat tidak menyenangkan. Mungkin tidak ada efek apapun yang terjadi kepadanya tentang hal itu.

Rumah yang masih sama, aroma yang masih sama dan tata letak benda yang masih sama membuat pikiran Meliana menjadi tenang seketika. Apalagi kedamaian yang tercipta, sepertinya ia akan betah jika disuruh tinggal beberapa malam di sini.

"Gua di sini aja gak apa-apa kan?"

"Yaudah, nanti gua bilangin sama Farhan. Tapi, jangan ngeberantakin dengan alesan bales dendam sama kejadian kemaren."

"Tenang aja, gua orangnya gak pendendam."

Sabil melangkahkan kakinya menuju halaman belakang rumah. Segera membuat Meliana duduk di sofa yang ada dan memejamkan matanya, membiarkan penciumannya menikmati aroma coffe di ruangan tersebut sehingga pikirannya akan lebih tenang dan moodnya kembali baik.

"Rumah segede gini emang gak ada orang," gumam Meliana pada dirinya sendiri dengan matanya celingak-celinguk mencari seseorang di ruang tamu.

"Di dapur ada makanan apa gak ya?" ia pun langsung bangun dari duduknya, berjalan menuju dapur yang bersih, bahkan cucian piring kotor pun tak ada di sana. Semua peralatan memasak tergeletak dengan baik di tempat yang seharusnya.

Tangannya membuka kulkas dan menemukan beberapa buah, tak banyak berfikir segera ia mengambil satu buah apel, menggigitnya sedikit demi sedikit. Kemudian Meliana beralih membuka semua lemari, siapa tau dapat menemukan makanan berat. Karena perutnya sudah berbunyi sedari tadi, makan apel tak akan cukup.

"Ini bukannya ...." Meliana segera mengambil benda di dalam lemari paling bawah, melihatnya lebih teliti. Apa benar yang ia lihat sekarang? Apa memang hanya sama?

SEPATU [Completed✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang