SEPATU 17

39 9 0
                                    

Langkah kaki Meliana semakin melebar, ketika Farhan mempercepat jalannya. Setelah memasuki basemant, keduanya berhenti tepat di motor milik Farhan.

"Mau ngapain naik motor?" Meliana mengerutkan keningnya, melihat Farhan yang tengah mengenakan helm.

"Ikut aja, lagian disekitar sini gak ada tempat romantis."

Deru motor Farhan terdengar jelas, membuat Meliana harus menutup kupingnya. Setelah menaiki motor ninja itu, Farhan menancapkan gas dengan kecepatan sedang keluar dari basemant.

Angin malam menerpa wajah Meliana halus, membuatnya sedikit merinding karenanya. Farhan menjalankan motornya dengan kecepatan rendah, sehingga Meliana tidak terlalu kedinginan ketika terkena angin.

"Lu gak bawa jaket?" tanya Farhan. Namun, bukannya balasan yang ia dapat malah bunyi deru kendaraan lain yang terdengar.

"WOY, lu gak bawa jaket?" tanya Farhan lagi, cowok tinggi itu menaikkan intonasi suaranya agar Meliana dapat mendengarnya dengan jelas.

"Hah? Lu ngomong apa?"

"Lu gak bawa jaket, budeg."

"Biasa aja dong, gak usah pake budeg. Gak, gua gak bawa, kenapa? Lu mau minjem, cowok kaga modal," sindir Meliana.

"Bukan buat gua tapi, buat paha lu, nanti banyak cowok yang ngeliatin. Kan gua bisa cemburu." Meliana sangat malas jika harus mendengarkan gombalan cowok itu, menurutnya itu basi.

"Berani gombalnya kalo gak ada Ayah sama Ibu doang, pengecut."

"Gua berani aja gombal di depan mereka tapi, lu mau gak kalo di suruh langsung kawin sama gua? Pasti mau lah, gua kan ganteng, sholeh, cinta kedua orangtua. Ya kan?"

Meliana memutar bolamatanya malas.

"Ngayal aja terus, sampe sukses."

Farhan hanya tersenyum di balik helmnya, melihat Meliana kesal selalu bisa membuatnya kangen dengan cewek itu.

Farhan menghentikkan motornya di Bangku dengan lampu taman sepanjang trotoar pejalan kaki. Meliana turun dan langsung mendudukan dirinya di salah satu bangku tersebut, di susul Farhan yang juga duduk di sampingnya.

"Kita kesini aja, biar romantis."

"Romantis Bapa mu, orang tempat kaya gini ko romantis," gumam Meliana, sambil melihat sekelilingnya. Hanya ada bangku serupa dalam jarak agak jauh, kemacetan malam merupakan pemandangan di hadapannya.

"Ngomong apa? Kalo mau bisik-bisik, agak kenceng dikit biar gua juga denger."

Omongan Farhan hanya dianggap angin lalu bagi Meliana, gadis itu terus memandang kendaraan yang tengah macet. Pemandangan itu jauh lebih baik, daripada wajah Farhan saat ini.

"Lu udah tau kan semuanya. Sepatu waktu itu juga bener, gua bahkan sempet seneng lu bisa nemuin itu dan foto di kamar gua, itu juga bener. Jadi mulai sekarang, gak usah suruh Sabil buat introgasi gua, berasa kaya penjahat yang baru di temuin polisi," ucap Farhan, memecahkan keheningan di antara keduanya. Rasanya senang, bisa bertemu dengan gadis kecilnya setelah beberapa lama berpisah. Ia memang merahasiakan semuanya dari Meliana, sebenarnya bukan ingin agar Meliana melupakan semua tentang mereka dahulu tapi, ia ingin mencari waktu yang tepat untuk memberi tahu dan mungkin memang malam ini waktunya.

"Gua benci sama Ahan yang sekarang, dulu padahal selalu bikin gua ketawa setiap waktu tapi, sekarang malah bikin kesel mulu tiap waktu. Walau sebenernya gua seneng bisa ketemu lu lagi dalam penampilan yang beda banget."

"Tapi selalu bisa bikin lu kangen kan?" Farhan menaik turunkan alisnya. Meliana yang melihat itu segera geleng-geleng kepala dan menahan senyumnya agar tidak mengembang dengan mudah.

"Noh kan, mulai lagi bikin gua naik darah."

"Gua mau nanya sesuatu sama lu," lanjut Meliana, sorot matanya menatap Farhan intens.

"Nanya apa? Perasaan gua?"

"Bukan, gua mau tanya, darimana lu dapet nomer WA gua?"

"Hhhmmm? Gua lupa mendadak nih," jawab Farhan sambil jarinya mengetuk-ngetuk kepalanya, berusaha mengingat akan hal itu.

"Gua gak bercanda Han, dari siapa?"

"Ok ok, Sabil."

"Cella?"

<<<<<>>>>>

Suasana kelas XI AP tampak masih sepi, hanya beberapa orang saja yang sudah hadir. Meliana dan Sabil berjalan di koridor untuk menuju kelas mereka. Pagi-pagi Meliana sudah mendapati pandangan yang begitu membuat hatinya terasa sakit.

Sabil mengikuti arah pandang Meliana, terlihat jelas Cella bersama Farhan tengah memainkan bola basket di lapangan, tawa keduanya begitu tercetak jelas. Dengan cepat tangannya mengusap lengan Meliana, memberikan semangat kepada sahabatnya. Ia tahu apa yang dirasakan Meliana, hanya saja gadis itu tidak pernah jujur oleh perasaannya sendiri.

"Ada gua, lagian Cella emang udah temenan dari SMP sama Farhan."

Meliana tau akan hal itu. Perasaannya entah kenapa mersakan hal lain, pasti bukan perasaan cemburu kan? Mana mungkin ia cemburu melihat Cella dan Farhan bersama, pasti ini hanya perasaan yang numpang lewat.

Di sisi lain, dengan lihai tangan Farhan mengambil bola dari Cella yang tidak bisa memasukkan bola kedalam ring. Membuat gadis berambut ikal itu langsung mengejar Farhan.

"Ternyata dari dulu permainannya masih sama," ledek Farhan, tangannya terus memantulkan bola di lapangan.

"Ih Farhan, pelan-pelan makanya kalo main, kan gak bisa ngejar." Tangan Cella terus berusaha mengambil bola basket tersebut namun, gerakan Farhan yang lincah membuatnya sangat sulit untuk mengikuti pergerakan cowok itu.

"Main basket itu harus cepet, kalo pelan bakalan kalah sama lawan."

Cella berhenti mengejar Farhan, membuat Farhan mau tak mau ikut berhenti. Kemudian, memandang Cella. Aneh.

"Kenapa?"

"Cape Han."

"Mau minum?"

"Boleh."

"Ayo ke kantin," ajak Farhan yang diangguki oleh Cella.

"Han, nanti pulang sekolah boleh main gak ke rumah lu, soalnya di rumah gak ada orang."

"Nginep juga gak apa-apa." Satu pukulan mendarat tepat di pundak Farhan, membuat cowok tinggi itu hanya tertawa, keduanya terus jalan beriringan menuju kantin.

<<<<<>>>>>

Pelajaran produktif selalu berhasil membuat semua murid mengantuk dan merasa bosan, tak perlu di ragukan lagi jika sebagian murid mencuri-curi waktu untuk tertidur saat Pak Muji tengah sibuk menjelaskan. Untunglah bel kebebasan terdengar, semua murid dengan antusias langsung membereskan buku mereka.

"Cella pulang sama siapa?" tanya Sabil.

"Farhan."

"Hati-hati kalo gitu."

Cella hanya mengangguk di ikuti dengan senyumnya yang terus mengembang.

<<<<<>>>>>

Hanya deru motor saling bersahutan yang terdengar dalam indra pendengaran keduanya, tak ada obrolan tercipta, hingga sampai di tujuan.

"Masuk dulu Cel, gua mau tutup pager." Farhan menyuruh Cella, gadis itu langsung memasuki rumah Farhan. Kakinya melangkah di sekitaran meja-meja di pinggir ruang tamu sedangkan tangannya mulai membuka satu demi satu laci tersebut.

"Ngapain Cel?"

Cella tersentak kaget, tangannya menutup laci paling atas segera. "Enggak, cuma mau liat-liat aja."

"Yaudah gua mau ke kamar dulu, kalo mau minum ambil aja di dapur."

Farhan meninggalkan Cella yang mulai mengelus dadanya, berharap kalau Farhan tidak mencurigainya karena masalah tadi. Kakinya memasuki satu-satunya ruangan di dekat ruang tamu.

Gak di kunci, batin Cella. Setelah membuka pintu tersebut, ia langsung menjelajahi ruangan berukuran besar itu.

SEPATU [Completed✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang