"Ini bukannya ...." Meliana segera mengambil benda di dalam lemari paling bawah, melihatnya lebih teliti. Apa benar yang ia lihat sekarang? Apa memang hanya sama?
Tak jauh dari tempat Meliana Seorang cowok tersenyum senang di balik dinding dapur, melihat kejadian di hadapannya.
Pikirannya tentang gadis itu selama ini ternyata benar.
Meliana berjalan menuju Sabil setelah tadi sempat memanggilnya, kini pikiran gadis itu berkecamuk tentang benda yang di temukannya. Banyak kemungkinan tentang benda itu, siapa tau itu milik adik Farhan. Tapi, ia segera menepisnya karena semenjak ia datang ke rumah cowok itu tidak ada tanda-tanda anak kecil di dalam rumah. Atau itu mungkin milik saudara jauh Farhan. Entahlah, semua pikiran itu bersaut-sautan di kepalanya. Menyebabakan pening dengan cepat menjalar ke seluruh bagian kepala.
"Ana kenapa?" tanya Sabil saat melihat Meliana datang dari arah dapur, nada suara gadis itu terdengar khawatir, apalagi melihat sahabatnya dari tadi memegang kepala dan pandangan gadis ber bolamata cokelat itu seperti kosong, menyebabkan langkah pendek itu pun ikut melambat.
Ia segera bergeser, memberi tempat agar Meliana dapat duduk di sampingnya.
"Gak apa-apa, latihannya udah?" balas Meliana sambil menempatkan dirinya di samping Sabil, wajahnya terus memasang senyum, agar sahabatnya itu tidak terlalu khawatir.
"Sebenernya masih satu kali lagi. Tapi, gua mau ijin aja buat nganterin lu pulang."
"Gua gak apa-apa, lu latihan aja. Gua gak mau lu jadi kena masalah gara-gara pulang sebelum waktunya."
"Farhan pasti bisa maklumin kalo gua minta ijin buat nganter lu, apalagi kondisi lu lagi kurang sehat gini." Sabil benar-benar greget pada sahabatnya itu. Ia tahu bahwa sedang ada yang disembunyikan Meliana, demi kebaikan kondisi gadis itu. Ia tidak akan mengintrogasi panjang lebar.
"Lu bisa latihan, nanti gua nunggu di sini sambil tiduran, biar kepala gua baikan."
"Bener?"
Meliana mengangguk meyakinkan. Membuat Sabil hanya membuang nafas pasrah, gadis ber bolamata cokelat itu memang tidak mau membuat khawatir tapi, perilakunya sangat mengkhawatirkan.
<<<<<>>>>>
Waktu telah berganti menjadi malam, namun Meliana terus memikirkan segala kemungkinan tentang benda yang berada di rumah Farhan, tak jarang ia melamun sehingga mendapat teguran hangat dari Ibunya. Seperti sekarang, wanita paruh baya itu memasuki kamarnya dan duduk di pinggir tempat tidur. Membuat Meliana segera mendekat untuk tidur dipangkuan sang Ibu. Kebiasaannya sejak kecil masih terbawa hingga sekarang.
"Ana kenapa dari tadi ngelamun?" tanya sang Ibu, tangannya mengelus pucuk kepala Meliana. Sentuhan itu mampu membuat gadis ber bolamata cokelat tenang seketika.
"Tadi Ana nemu sepatu bu."
"Ada apa sama sepatu yang kamu temuin?" Putrinya itu sangat membingungkan.
"Sepatu itu sama kaya yang waktu itu Ana kasih Buat Ahan," jelas Meliana. Nada bicara gadis itu terdengar sangat yakin. Walau mungkin masih menerka-nerka kebenarannya tapi ia yakin tentang sepatu itu yang sama dengan sepuluh tahun silam.
"Mungkin hanya sama."
"Ana juga mikir kaya gitu, tapi kenapa bisa mirip banget?"
"Coba kamu tanya sama yang punya sepatu."
"Gak mau!! orang yang punya sepatu bikin Ana naik darah terus," ujar Meliana sambil melipat tangannya di dada. Memikirkan semua hal yang dilakukan cowok tinggi itu saja bisa merubah moodnya dengan cepat.
"Kamu hanya belum kenal sama dia."
Ibunya itu memang selalu bisa ia andalkan tentang segala sesuatu tapi, untuk kali ini sepertinya ia tidak sependapat.
"Yasudah, tidur sekarang jangan sampai besok kamu kesiangan." Wanita paruh baya itu mengecup dahi Meliana sebelum beranjak keluar kamar.
<<<<<>>>>>
Selama semalaman penuh gadis ber bolamata cokelat itu memikirkan berbagai cara agar ia dapat menemukan kebenaran dari sepatu yang ditemukannya di rumah Farhan dan orang yang dapat membantunya adalah Sabil, karena sahabatnya itu satu ekskul dengan Farhan. Sehingga lebih gampang dalam mencari tau informasi sebenarnya.
Setelah kegiatan tadarus selesai di laksanakan, Meliana langsung membicarakan tentang rencananya kepada Sabil yang kini menatapnya aneh.
"Cuma gara-gara sepatu kepala lu sampe pusing kemaren?!" Sabil mengerjit tak percaya.
"Iya. mau kan bantuin gua," ucap Meliana dengan senyum mengembang di bibirnya dan puppy eyes yang ia keluarkan sebagai jurus andalan ketika memohon.
"Demi sepatu?!" apa sahabatnya sudah gila, demi sepasang sepatu gadis itu meminta dirinya mengintrogasi Farhan. Konyol sekali.
"Itu bukan sepatu biasa."
"Sepatunya bisa terbang? Menghilang? Berubah? Atau apa?" rasanya Sabil ingin tertawa kencang kalau saja, jika mereka berada di alam terbuka. Kalimat 'bukan sepatu biasa' sangatlah aneh untuk di dengar.
Apa sahabatnya itu harus di ruqyah sekarang juga?
"Ih bukan itu maksud gua!!" sangkal Meliana dengan bibir yang dibuat mengerucut menyerupai bebek.
"Terus maksud lu gimana? Lagian aneh banget sih."
"Ceritanya panjang. Intinya lu mau kan bantuin gua? Pliss ya bantuin," pinta Meliana sambil memadahkan tangannya di hadapan Sabil, aksinya itu tentu saja membuat tawa gadis berlesung pipi itu tak tertahankan.
"Kenapa ketawa?!"
"Lucu lagian. iya iya gua bantuin," ucap Sabil akhirnya dengan tawa yang masih mengiringi kalimatnya.
Sesuai kesepakatan awal, kini Sabil tengah mengintrogasi Farhan di kantin sedangkan Meliana menjauh untuk bersembunyi agar tidak terlihat oleh cowok tinggi itu. Setelah beberapa menit akhirnya Sabil berjalan menghampiri Meliana yang sedari tadi menunggu di depan ruang Tata Usaha, wajah gadis itu datar. Apa yang terjadi memangnya?
"Gimana? Apa katanya?" Meliana sangat kepo sekarang, ia sangat butuh jawaban dari Sabil. Agar kebenaran mengenai sepatu itu terungkap.
"Kata dia gini, 'bilangin sama Ana, masa keponya sama sepatu, sama gua gak?' gitu katanya," jelas Sabil dengan nada bicara yang dibuat semirip mungkin dengan Farhan, tapi suara gadis itu malah terdengar konyol di kuping Meliana.
"Dia jawab gitu doang?"
"Gak sih, tapi semua kalimatnya itu gak guna buat gua sampein ke lu. Bisa-bisa lu ke kamar mandi buat muntah."
"Emang dia ngomong apa aja?" sungguh, kekepoan Meliana sudah akut kini.
"Dia cuma ngegombal doang, semua pertanyaan gua gak ada jawaban yang bener," keluh Sabil. Membuat senyum Meliana sirnah seketika. Padahal hanya itu cara yang paling tepat untuk mendapatkan kebenaran.
"Kalau mau mending lu yang nanya langsung ke dia," saran Sabil sebelum meneguk air mineral yang tadi di beli gadis itu.
"Saran yang buruk," ucap Meliana sambil menggeleng kepala kuat-kuat.
Apalagi yang lebih buruk dibandingkan dekat dengan cowok tinggi itu, awal pertemuannya saja sudah buruk, bagaimana jika harus bertanya secara langsung kepada cowok itu. Mungkin ia akan minta untuk segera menghilang dari dunia, agar dirinya tidak akan bertemu dengan makhluk seperti Farhan ataupun sejenisnya.
Setelah lama terdiam dengan pikirannya sendiri, Meliana memutuskan agar Sabil terus membantunya.
"Kenapa gak lu aja yang nanya sendiri, gua itu sibuk buat turnamen nanti." Terdengar jelas nada penolakan dari ucapan Sabil.
"Bantu kali ini aja, gua janji turnamen lu gak bakal keganggu sama sekali."
Untuk kedua kalinya, gadis berlesung pipi itu hanya bisa membuang nafas pasrah.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEPATU [Completed✓]
Teen Fiction⚠️ Aku saranin baca dari awal, biar gak bingung sama alur ceritanya ⚠️ 🍒🍒🍒🍒 Meliana membenci Farhan bahkan sejak pertemuan pertama mereka. Farhan yang notabennya adalah kapten basket paling di gemari seantero sekolah, tidak lantas membuat Melian...