Suasana kelas XI RPL nampak lebih ramai dari hari biasa, apalagi setelah mereka mendapatkan topik baru di sekolah. Kelas yang hampir berisi cowok semua itu tak luput dari yang namanya bergosip, berita yang masih hot selalu jadi bahan pembicaraan yang mengasyikkan. Seperti emak-emak jika telah bertemu di tukang sayur.
Lain bagi Farhan, yang hari ini nampak lebih cuek, tak ada perbuatan jahil dari cowok tinggi itu. Bahkan sedari tadi ia hanya memainkan game di ponselnya. Mood kejahilan Farhan turun drastis, karena semalaman ia telah berhasil membuat Meliana marah dan salting. Anggap saja, kejahilannya hari ini telah terbayar karena gadis ber bolamata cokelat itu.
"WOY!!"
Satu gebrakan di meja, hampir membuat ponsel di genggaman Farhan jatuh ke lantai. Untung tangannya dapat dengan lihai menangkap kembali. Sedangkan biang rusuhnya, langsung mendudukkan diri ke sebelah Farhan. Tanpa rasa bersalah.
"Eh, kembarannya hulk, lu gak pernah di ajarin sopan santun sama ortu? Untung HP mahal gua gak ke cium sama lantai," umpat Farhan sambil menatap Fadli tajam dan seperti biasa, cowok berjambul itu hanya menyunggingkan senyum lebar.
"Pagi-pagi itu kita harus rileks jangan marah-marah."
"Lu tau murid baru di sekolah kita gak? Katanya cantik, breyy," lanjut Fadli sangat antusias.
Sepertinya kelamaan jomblo dan keseringan di tolak cewek membuat temannya itu seperti mendapat uang se-truk, jika ada masalah menyangkut kaum hawa. Nantinya Fadli akan maju lebih depan, walaupun ujung-ujungnya akan di tolak lagi.
"Cantiknya kaya Lita gak?" Farhan mulai mematikkan ponselnya dan memasukkan ke dalam saku celana. Waktu bermain game-nya sudah habis, ketika Fadli mulai bercerita panjang mengenai cewek-cewek cantik.
"Gak bakal ada yang menandingi kecantikan seorang Lita," ucap Fadli sedikit berteriak, membuat seseorang cewek dengan rambut pendek ombre, wajah dan bibir yang memancarkan warna merah mencolok langsung menatap keduanya dengan tatapan mematikan. Keduanya sontak tertawa bersamaan. Wajah cewek itu mirip seperti ondel-ondel betawi apalagi dengan make-up yang berlebih.
"Campuran luar negeri dia, mukanya itu putih, bagai susu sapi yang iklannya naga dan kemasannya gambar beruang."
"Bego! Bilang aja kaya susu beruang, gak usah di jelasin ketidak jelasan produknya."
Fadli hanya tertawa samar. "Nanti istirahat gua mau minta nomer HP, alamat rumah, nama ortunya, cari tau keluarganya."
"Buat apaan?! Ujung-ujungnya juga lu di tolak," ucap Farhan sarkatis.
"Biar gampang, kalo mau ngelamar dia sama ngucap ijab qobul."
"Ngayal lu ketinggian, orang."
<<<<<>>>>>
Pak Muji memasuki kelas yang seketika riuh. Bukan karena guru senior itu tapi, gadis yang bersamanya.
"Cewek itu yang tadi gua ceritain."
"Serius dia masuk kelas kita?"
"Gua harus temenan sama dia, siapa tau ketularan hits."
"Mukanya bening banget."
"Bakalan kalah saing gua."
Beberapa bisikan itu langsung terdengar jelas di ruang kelas XI AP. Ada beberapa yang senang atas kehadiran gadis tersebut dan sebagian lainnya terus-terusan menatap sinis tak suka.
"Loh, loh, kenapa jadi ribut? Kalian bukan anak TK lagi," ujar Pak Muji, semua murid kembali tenang.
"Seharusnya kelas AP sudah tidak menerima murid, sebanyak kalian saja susah di atur apalagi di tambah satu lagi."
"Perkenalkan nama kamu," lanjut guru senior itu, mempersilahkan.
Gadis itu hanya memasang senyum manis, hingga membuat matanya menjadi lebih sipit.
"Perkenalkan nama saya Aracella Liquen, biasa di panggil Cella, pindahan dari salah satu SMK di Kota Jakarta. Saya berharap bisa menjadi teman baik." Gadis itu mengakhiri kalimatnya dengan menarik kembali sudut bibirnya ke atas.
"Kamu duduk di samping Okta. Jangan berisik atau nanti Bapak suruh belajar di lapangan," ujar Pak Muji memperingatkan, sebelum akhirnya berlalu dari kelas yang kini sudah mulai kembali berisik.
"Hai Cella, nama gua Sabil," sapa Sabil, setelah Cella mulai duduk di tempatnya. Gadis berlesung pipi itu harus memutarkan badannya menghadap belakang, agar dapat melihat teman barunya dengan jelas.
"Gua Meliana," timpal Meliana, gadis ber bolamata cokelat itu juga harus memutarkan badannya, seperti Sabil.
"Cella."
"Muka lu putih banget sih, pake apaan?" pertanyaan Sabil langsung mendapat cubitan manis dari Meliana di bagian paha -Pertanyaan sahabatnya itu selalu saja terdengar konyol-Membuat sang empunya meringis kesakitan.
"Sakit Ana." Tangan Sabil terus mengelus-elus bagian pahanya yang terkena cubitan maut Meliana. Sahabatnya itu memiliki badan kecil tapi, cubitan gadis itu seperti gado-gado pedas dengan karet dua.
"Kenapa?" tanya Cella, merasa aneh oleh tingkah laku dua orang di hadapannya.
"Gak apa-apa Cel. Oh iya Bil, lu bukannya harus latihan buat turnamen?" arah bicara Meliana kini tertuju pada Sabil. Membuat gadis berlesung pipi itu menepuk jidat sebelum akhirnya berjalan atau lebih tepatnya berlari keluar kelas.
"Turnamen apa emangnya?" Meliana kembali menatap Cella di tempatnya.
"Basket, mau liat latihannya?"
"Emang boleh?"
"Boleh, palingan gak ada guru. Kalo ada guru, bilang aja kita habis ijin ke kamar mandi."
"Ayo," ajak Meliana sambil berjalan terlebih dahulu menuju lapangan, di ikuti Cella di belakangnya.
"Kita mau nonton dimana?" Cella celingak-celinguk di pinggir lapangan, mencari tempat duduk untuk menonton latihan basket.
"Di sini aja," ucap Meliana yang langsung duduk di salah satu kursi panjang di depan Lab. Perbankan. Kebetulan, kursi itu langsung menghadap ke arah lapangan dan hanya dibatasi oleh besi berlubang. Cella pun mulai duduk di samping Meliana.
Terlihat jelas, Sabil dan beberapa peserta lainnya sedang pemanasan sebelum melakukan sesi latihan. Cella nampak antusias dengan pemandangan itu, berbanding terbalik dengan Meliana yang hanya selalu memberi semangat, tanpa tau apa yang mereka sedang lakukan.
"Lu suka basket Cel?"
"Gak terlalu suka banget, tapi dulu sering nganterin temen buat latihan basket, jadi ke ikutan suka," jawab Cella di ikuti tawa yang menyelingi ucapannya.
Sepertinya bukan hanya wajah gadis itu, namun perilaku dan sikap ramah yang dapat menyihir orang di sekelilingnya dengan cepat. Bahkan sedari tadi, banyak cowok lewat dan berusaha mencuri pandang jika melewati keduanya namun, tujuan mata cowok itu hanya tertuju pada Cella.
"Temen lu anak basket?"
"Iya, dia jago banget main basketnya. Bahkan kalo main sama dia kalah terus." Wajah Cella terus menyunggingkan senyum manis, seakan-akan ceritanya itu sedang ia saksikan secara langsung.
"Berarti bukan lawan yang sebanding, siapa tau kalo main sama Sabil bisa kalah."
"Kayanya Sabil deh yang bakal nyerah."
"Ko gitu?"
"Karena temen gua itu cowok, kalo cewek bisa aja Sabil yang menang."
"Kirain gua cewek."
Mata keduanya mulai kembali menatap lapangan, semua peserta sudah mulai berlatih. Meliana hanya terfokus pada Sabil yang selalu ingin merebut bola basket dari gadis lain tapi, tak pernah dapat.
Kasian sekali temannya itu.
"Farhan," teriak Cella tiba-tiba, membuat Meliana langsung tersentak kaget. Mata Meliana menatap Cella dan objek gadis itu bergantian.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEPATU [Completed✓]
Teen Fiction⚠️ Aku saranin baca dari awal, biar gak bingung sama alur ceritanya ⚠️ 🍒🍒🍒🍒 Meliana membenci Farhan bahkan sejak pertemuan pertama mereka. Farhan yang notabennya adalah kapten basket paling di gemari seantero sekolah, tidak lantas membuat Melian...