SEPATU 5

101 27 62
                                    

Farhan terus memainkan salah satu game pertarungan online yang sedang booming di ponselnya, sedangkan Fadli sedari tadi hanya menggonta-ganti saluran televisi di rumah cowok tinggi itu. Malam ini Farhan sengaja meminta agar Fadli menginap di rumah berukuran besar milik keluarganya, orangtuanya yang sibuk kerja mengakibatkan rumah sepi bagai tak berpenghuni ditambah tidak adanya asisten rumah tangga, semakin membuat kesan menakutkan bagi seorang Farhan Miquel. Cowok dengan berbagai kejahilan di sekolah.

Karena itulah, ia meminta Fadli menemaninya malam ini. Sebenarnya bukan malam ini saja, tapi hampir setiap malam. Alasan yang selalu ia lontarkan jika sahabatnya itu mengatainya penakut adalah 'Bukan takut, cuma bosen aja gak ada temen ngobrol.' tentu itu merupakan kebohongan yang tidak perlu dipercaya. Mungkin Fadli juga sudah mengetahui hal itu.

"Acara di TV lu gak ada yang bagus," keluh Fadli, langsung melemparkan remot kesembarang arah. Tangannya kini beralih mengambil ponsel yang berada di atas kasur. Membuka benda pipih tersebut untuk mengecek notifikasi di setiap sosial media yang ia miliki.

"Semua TV acaranya sama aja," seru Farhan dengan mata yang terus fokus menatap layar persegi di tangannya. Seakan-akan jika ia berpaling sedetik saja benda persegi itu hilang dari tempat semula.

"Tapi di TV rumah gua jam segini biasanya ada film tayo, lu tau kan tayo!! yang bis kecil suka bikin kegaduhan di tengah jalan."

"Bego! Tayo itu yang sering gua taro di bekelnya bu Santi."

"Itu Mayo," teriak Fadli sehingga menciptakan pantulan suara nyaring dalam ruangan itu.

"Sama aja."

Tiada hari tanpa kejahilan. Mungkin kalimat itulah yang selalu dibanggakan oleh Farhan, cowok tinggi itu tak pernah absen untuk membuat onar kelas maupun sekolah dengan kejahilan yang ia ciptakan sendiri. Dan ujung-ujungnya ruang BK menjadi tempat yang akan siap menampung setiap alasan atas kejahilannya.

"Besok latihan kaga?" Fadli mencoba mencari topik pembicaraan lain, setelah dirasa suasana hening menyelimuti karena kehilangan topik.

"Kaya biasa, turnamen juga tinggal beberapa hari lagi."

"Kata lu ada cewek yang lu curigain, dia anak basket?" tanya Fadli antusias atau mungkin lebih tepatnya kepo akan hal itu. Memang beberapa hari lalu Farhan sempat bilang, bahwa ada cewek yang di curigai cowok itu. Entahlah, maksud dari kata 'di curigai' itu apa.

"Temennya Sabil."

"Yang putih itu?" cowok berjambul itu mencoba mengingat seseorang yang dimaksud Farhan.

"Emang dia putih?"

"Makanya gua nanya!"

"Mungkin, pokoknya dia temennya Sabil."

"Berpaling hati ceritanya?"

"Dari?"

"Yang dua tahun lalu, kan lu ngefans banget sama tu cewe."

"Ngungkit masa lalu mulu. Bilang aja lu yang gak bisa move on dari cewek tomboy itu."

"Lu juga ngungkit masa lalu terus."

Fadli kini mulai bangkit dari tidurnya, berjalan keluar kamar.

"Ngapain lu?" tanya Farhan yang membuat Fadli seketika menghentikan langkahnya di ambang pintu.

"Nyari makan, laper perut gua."

"Jangan ngeberantakin kulkas gua!" teriak Farhan saat Fadli sudah mulai keluar kamar. Entah cowok berjambul itu dengar atau tidak, karena tidak ada jawaban setelahnya.

<<<<<>>>>>

"Ini siapa yang ngeberantakin kulkas?!"

Teriakan melengking itu langsung menggelegar hingga lantai atas, sehingga sukses membangunkan Fadli dan Farhan bersamaan, sepertinya tak ada waktu untuk mencuci muka sekarang. Keduanya sontak saling pandang sebelum akhirnya berlari untuk turun ke bawah.

"Mama ko tumben udah pulang? Kira Farhan mama bakal nginep kaya kemaren," ucap Farhan begitu mendapati wanita paruh baya yang masih menggunakan seragam kantor berdiri di dapur sambil berkacak pinggang.

"Kenapa kulkas bisa berantakan?! Siapa yang ngeberantakin?!"

Farhan menyikut seseorang disampingnya, memberi kode agar mengaku saja. Karena keduanya bisa telat bila di hukum untuk membersihkan dapur. Waktu bahkan sudah menunjukkan pukul 06.20 sekarang.

"Maaf tante, gak sengaja. Tadi malem itu mau ngambil makanan terus ada cicak jatoh, jadi makanannya kelempar semua," dalih Fadli, berharap agar Mama Farhan dapat percaya atas ucapannya.

"Kamu juga ngambil daging sama sayuran mentah? Buat apa?!" pertanyaan itu langsung membungkan mulut Fadli seketika. Ia baru sadar ternyata ada beberapa bahan makanan yang berserakan di lantai.

"Itu ...." cowok berjambul itu menggantungkan ucapannya, mencoba mencari alasan yang lebih tepat, "Saya mau masak, tapi baru inget saya gak bisa masak. Terus gak jadi deh."

Kalimatnya itu sontak mengundang tawa Farhan yang sedari tadi menjadi pendengar baik.

"Jadi siapa yang mau ngebersihin ini semua?" tanya wanita paruh baya itu sambil menunjuk kekacauan yang terjadi.

"Mama aja, soalnya kita udah telat sekolah," jawab Farhan yang langsung berlari menuju lantai atas diikuti Fadli di belakangnya.

"Anak kurang ajar memang!!"

<<<<<>>>>>

Meliana terus memperhatikan penjelasan guru di hadapannya dengan malas, setiap materi yang disampaikan Pa Muji terlalu bertele-tele dan sulit di pahami. Terkadang Guru senior itu terlihat bingung sendiri dengan yang baru saja di sampaikan, sehingga mengulangnya lagi. Namun, dengan pengertian yang berbeda. Membingunkan.

Ada satu hal yang paling ditakutkan dalam pelajaran guru itu yaitu buku absen yang dikeluarkan sehabis penyampaian materi, untuk menanyakan semua yang sudah disampaikan. Beruntunglah bagi murid yang tidak dipanggil, namun bagi yang dipanggil seperti sebuah bencana. Mendengarkan saja sudah malas, jadi apa yang harus dijawab dari pertanyaan guru itu?

Satu-satunya yang bisa menyelamatkan kelas XI AP dari belenggu pelajaran produktif adalah jam istirahat yang kini seakan berjalan lambat.

"Baru tadi dijelaskan, ayo yang lancar menjawabnya," perintah Pa Muji membuat Yulia -murid yang ditanya- hanya dapat berkode-kode dengan teman di sekitarnya karena tidak tau harus menjawab apa. Sepertinya otak gadis itu seketika blank.

"Makanya kalo lagi dijelaskan itu dicatat, jangan paham-paham saja," lanjutnya sambil menepuk pundak gadis berkerudung itu. Aksinya tersebut langsung mendapat gelak tawa satu kelas. Sedangkan yang menjadi sasaran guru itu hanya dapat mendumel pelan.

"Besok ulangan Kepegawaian." Ucapan Pa Muji hanya mendapat jawaban 'iya' serempak dari beberapa murid. Namun tak jarang sebagian lainnya menjawab ucapan guru senior itu yang tentunya tak mendapat respon apapun dari Pa Muji.

"Kenapa besok?"

"Sanss kita mah."

"Ya, O aja."

Itulah beberapa jawaban yang di lontarkan sebagian murid perempuan dalam ruangan itu dan lainnya kini sudah mulai bercanda sembari menggosip seperti biasa. Bagaikan kelas tak ada guru.

Jam istirahat berbunyi, membuat desahan lega bagi setiap murid. Setelah pikiran mereka terkuras oleh pelajaran kini waktunya bagi mereka untuk mengisi perut yang sudah mulai berdemo meminta asupan makanan.

"Sekarang tanya ke Farhan lagi ya," pinta Meliana sambil berjalan beriringan dengan Sabil menuju kantin.

"Nanti aja lah, pas lagi ekskul. Rame tau di kantin." Bukannya tidak mau, hanya saja kepadatan di kantin tak akan membuat aksi introgasi itu berjalan mulus.

"Tapi bener ya."

"Iya, santai aja."

SEPATU [Completed✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang