#29

361 18 0
                                    

Ketika jarak harus terpisah ribuan kilometer dan rindu harus bersabar untuk lepas dari belenggu. Apa yang bisa kulakukan selain menulis semua yang kurasakan?

Rindu. Satu kata, tak mudah luntur walau hari demi hari berganti bahkan rasa itu malah semakin menebal, bagaikan debu yang tak pernah di bersihkan. Menebal, berkerak, membekas.

Dengarkan aku, sudah berapa kali kamu tidak menyapa aku yg selalu menunggu disini? Masihkah engkau ingat aku? Atau engkau sudah menemukan sesosok yg lebih hebat dariku? Aku tidak butuh kemarahanmu, aku hanya ingin tahu seberapa baik-baiknya kamu disana.
Aku hanya perlu menuntaskan rasa keingintahuanku, menuntaskan rasa rindu yang membatu hingga tak ada lagi sisa serpihan yang menyakitkan. Kamu tak usah tanyakan aku apakah aku baik-baik saja? Tentu jawabannya kamu tahu, bahwa aku tidak pernah kuat menahan rindu. Beritahu aku bagaimana cara merindukan tanpa perasaan sedih?

Bagaimana cara merindukan tanpa perasaan sedih? Beritahu aku, agar aku bisa puas merindukanmu tanpa bersedih sedikit pun, agar aku bisa puas memikirkanmu tanpa mengacaukan pikiranku, agar aku bisa puas membayangkanmu ada dihadapanku tanpa benar-benar menginginkanmu hadir di depanku. Karena aku tahu, bertemumu sama saja kembali mengorek luka yang baru saja tergores. Akan terasa pedih, akan terasa sakit.

Walaupun aku tahu, jarak antara kamu dan aku itu dekat. Hanya sejengkal untuk memencet tombol hijau di hpmu. Lalu kita berbicara mengenai banyak hal yang perlu aku ketahui. Apakah sesibuk itu sampai kamu lupa untuk selalu bercerita? Jika kamu terlalu sibuk, tak perlu kamu menceritakan sepenuhnya apa yg terjadi. Cukup kamu memberitahukan, sudah mampu membuat penasaranku hilang. Dibalik rasa penasaran, ada banyak harapan dan doa yg selalu aku dengungkan. Kamu tak perlu khawatir, aku mendoakan yang terbaik dalam hidupmu. Tak perlu risau, sebab doa-doaku akan selalu melindungi. Biarlah sekarang kau lupa dengan diriku yang ikut tenggelam bersama kesibukanmu. Sebab mimpimu lebih penting daripada apa yg ada dihadapanmu.

Aku tidak berniat untuk mengganggumu, tapi, salahkah jika aku ingin mengetahui kabarmu? Salahkah jika aku ingin mendengar suaramu yang selalu kurindukan? Salahkah jika aku hanya ingin memastikan kalau kamu baik-baik saja di sana? Sungguh, rasa khawatir ini tak bisa ku kontrol. Semua berjalan tanpa bisa kukendalikan, rasa rinduku, rasa khawatirku dan rasa penasaranku. Mereka semua seakan bersekongkol, menyiksaku dan memaksaku untuk tahu kabarmu. Mereka memaksaku untuk meminta sedetik dari 24 jam waktu yang kau punya. Percayalah, ini hanya sayang yang terlalu dalam padamu.

Bukankah aku pernah berterus terang tentang rindu yang semakin hari menggrogoti hatiku? Bagai penyakit ganas yang mematikan, bagai virus flu yang tidak bisa hilang, dia akan menghilang tapi jika daya tahan tubuh tidak stabil, dia akan kembali. Begitu juga dengan rinduku, jika aku berusaha sejenak melupakanmu dengan mencoba menyibukan diri, rindu itu akan hilang. Namun, jika sepi kembali kurasa, dia akan kembali, tanpa permisi, tanpa kupersilakan.

Aku memang pernah dan sering berterus terang tentang rinduku padamu, tapi, jarang sekali kau meresponku. Entah, apa yang kau rasa? Tidak kah ada rindu di hatimu? Tidak kah ada aku di hatimu? Tidak kah ada aku dipikiranmu? Jika iya, kau benar-benar tega, membiarkanku tersiksa oleh rinduku sendiri, oleh rindu sepihak.

Namun aku sadar ini semua karena kesalahanku, jika kau ingin pergi, aku siap. Semua ini memang salahku, yang bersikap seolah sangat dibutuhkan. Pergi dan kembali sesuka hatiku. Tapi, bukankah kau tahu? seseorang di masa lalu telah membuat diriku bukanlah diriku. Ya, aku tahu. Untuk alasan apapun, aku tak berhak untuk bersikap semauku. Mempermainkanmu. Pergilah, sebelum rasaku terlalu dalam, pergilah sebelum aku memberikan seluruh hatiku untukmu, pergilah sebelum aku memaksamu untuk tetap tinggal. Sungguh, jauh di lubuk hatiku yang paling dalam. Ada rasa tak ingin kau pergi, namun aku sadar atas semua kesalahanku, kau berhak pergi.

Jika kau merasa aku bersikap semauku, pergi dan datang dalam waktu lama. Itu memanglah benar, aku benar-benar melakukan itu, perasaanmu benar, tidak salah sedikit pun. Aku begini, bukankah kau tahu tentang cerita masa laluku? Tentang seorang pria yang pernah menghancurkan hatiku? Ribuan hari kulewati sendiri, mengobati luka sendiri. Lalu kau datang, mengisi hari-hari kosongku. Aku merasa kaulah orang pertama yang mampu membuatku kembali membuka hatiku untuk orang lain--setelah sekian lama kututup rapat, tapi ternyata itu hanyalah rasa sementara, aku mencoba menghindarimu, mencoba membuatmu benci padaku. Setelah, itu berhasil, aku malah sakit, melihatmu tak lagi peduli padaku, menerima kenyataan bahwa kau mungkin saja sudah menanggalkan semua tentangku dari hati bahkan pikiranmu, kini aku seperti orang bodoh, sendiri dan menyepi, meratapi rindu yang tak berbalas.

Dan sebenarnya, aku tak pernah paham dengan perasaan yang selalu menusuk kalbu, entah itu benci atau sebaliknya. Kamu mengajarkan perasaan itu berulang-ulang hingga mematikan rasa. Tak dapat ku pungkiri bahwa hati memang mudah rapuh. Hingga aku bertanya-tanya apa yang terjadi? Mengapa jauh darimu begitu menyakitkan hati? Mengapa mulutku diam membisu ketika bertemu denganmu? Tak bisakah aku menemukan cara yang lebih baik daripada hanya sekedar memikirkan kamu? Semua tanda tanya itu terus mengelilingi pikiran seperti planet yang berotasi pada porosnya. Salah satunya adalah, mengapa aku bisa begitu mudah merindukanmu? sedangkan rasanya begitu sulit menmbencimu.

Tunggu, membencimu? Bukankah harusnya kau yang membenciku? Atas dasar apa aku harus membencimu? Setelah apa yang kau beri sepenuh hati untukku, aku memang wanita yang tak tahu terima kasih. Sekarang, aku malah membicarakan soal benci padahal akulah yang pantas untuk dibenci, mungkin rindu tengah menertawakan kekonyolanku. Aku menjadi malu, oh tidak. Apakah wanita sepertiku mempunyai malu? Bahkan berkata rindu padamu saja aku berani, bahkan dengan lantang mengatakan itu. Sungguh, aku tak mengerti tentang apa tengah kubicarakan ini.

Yang jelas, semua ini tentang rindu. Rindu yang terus mengusik dan menyiksa, rindu yang selalu hadir di setiap degup jantungku, rindu yang mengalir dalam darahku. Rindu, rindu, rindu! Aku memang pecandu rindu, kamu yang selalu aku rindukan, mungkinkah kau merasakan itu? Setelah sekian lama kita tak bertegur sapa, setelah sekian lama kucoba simpan rindu dalam sunyi, setelah kucoba bisikan rindu pada angin, setelah kucoba titipkan rindu pada bintang, setelah kucoba dengungkan rindu pada gelegar petir saat hujan. Semoga segala upaya yang kulakukan mampu membuat sedikit getar di hatimu, lalu memerintah otakmu untuk kembali mengingatku, sedetik. Hanya sedetik, aku tak meminta lebih.

Pada akhirnya, aku hanya menginginkan kau kembali menyapaku, membagi resah yang selama ini kurasa. Tidak mengapa jika kau sudah tak ingin mengingatku, tidak usah risau dengan keadaanku yang semakin lemah karena rindu. Aku hanya ingin menunggu, entah sampai kapan, yang jelas sampai kau kembali padaku dan berkata rindu. Hanya itu yang ku mau. Hanya itu.

Tangerang, Bogor,
28102016, 16:25

Note: kolaborasi tulisan dari Salma Damayanti dan Siti Aulia Nadya.

Tentang Kamu; FatamorganakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang