Bag. 22, Kenyataan

948 76 1
                                    

Lagi-lagi perempuan berambut panjang sepunggung itu masuk ke dalam kamarnya sembari melempar pintu dengan kerasnya. Ia berteriak sangat keras sampai bisa mengalahkan derasnya hujan di luar. Hatinya begitu sakit bisa merasakan sebuah penderitaan di rumahnya itu. Sebelumnya mereka baik-baik saja. Bahkan ada maupun tanpa Kinal, keluarga itu tidak bermasalah.

Kenapa harus sekarang kalian menawarkannya padaku? Kenapa tidak lama dahulu sebelum aku menyentuh dan mengenal perasaan ini kepadanya..

Dadanya terus bergetar cepat saat otaknya dipenuhi oleh banyaknya keputus asaan dengan tiba-tiba. Hatinya berkecamuk tidak terima melihat semua kenyataan ini harus jatuh kepada dirinya yang belum siap seutuhnya. Veranda memang sangat ingin ke Jerman sejak kecil dan itu tak menutup kemungkinan kalau keluarganya tau mengenai hal itu. Alasannya kali ini berbeda, ia tidak bisa begitu saja membiarkan gadis seperjuangannya berada di Indonesia sendiri.

"Gimana kalau tiba-tiba dia lupa sama aku? Gimana kalau Kinal beneran gak bisa nunggu aku untuk nyelesain kuliah?! Ha-Hanya itu yang aku takutin, Pa.. Ma.."

Keluhnya sambil menggigit bibir menahan tangis dengan susah payah walau sebenarnya sudah mengalir dan membasahi wajahnya yang terlihat kacau itu. Petir menyambar dengan suara lumayan keras diiringi teriakan dari perempuan berpipi tembam yang bersedih itu.

"AKU MAU DISINI AJA!"

Serunya berharap kedua orang tuanya itu bisa memahami keadaan hati dan fisiknya. Ia benar-benar tak bisa meninggalkan Kinal sebatang kara tanpa tau apakah gadis berambut pendek itu akan kembali ke orang tuanya dahulu. Yang penting sekarang adalah cintanya yang mungkinkah bisa terwujud untuk bersatu selamanya. Veranda menggeleng perlahan sambil sesenggukan merasakan tangisnya yang membuncah hebat itu. Ia tidak yakin impian itu akan terjadi.

Tapi yang sebenarnya aku khawatirkan adalah-- bagaimana kalau ia tidak bisa mengerti keinginan terbesarku yang kedua ini? Aku sama sekali tak pernah menceritakan hal ini sebelumnya.

Semua umpatan keluar begitu saja dalam pikirannya dan tentu untuk dirinya sendiri yang tak bisa mengontrol suasana seperti sebelumnya. Ia bahkan sampai tak percaya kalau Papanya sudah mencurigainya sekarang. Perempuan cantik bak bidadari itu tau kalau ini awalnya sebuah alibi, tetapi harapannya untuk menetap di rumah itu memang lebih dikuatkan lagi saat mendengar tekad Kinal yang membara untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi bersamanya.

"Apa aku perlu.. gak usah naik kelas sekalian biar batal ke Jerman? Hmp. Bodoh. Mana yang katanya mau membahagiakan orang tua?"

Gumamnya sendiri setiap saat untuk bisa mencari solusi terbaik dalam memecahkan masalah yang tidak tau akan terselesaikan atau tidak. Lalu derap langkah seseorang tiba dengan perlahan di depan pintunya. Ia mengetuk pintu dengan pelan dan berperasaan.

"Jessica, sayang.. ayo keluar nak. Kita bicarain ini semua baik-baik"

Itu adalah suara Mamanya yang sedang memanggil anak semata wayangnya sedang menangis tersedu-sedu mencoba menolak impian berharganya itu. Namun ketika menyadari sebutan itu lagi keluar dari mulut wanita paruh baya tersebut, keadaan kembali seperti di sore hari saat ia masih bersama Kinal tadi. Anehnya.. kali ini ia terlihat seperti mematung dan harus segera menuruti keinginan Mamanya itu. Tapi ia masih ragu untuk menjawab atau malah memilih menyetujui ajakan orang yang ada di luar pintu.

"Kamu gak mau ini semua terlambat, 'kan?"

*****

"Hwayoloooooh! Tiap pagi ngelamun mulu perasaan"

Gadis berambut panjang yang menghela nafas akibat dikejutkan oleh Kinal itu akhirnya hanya memanyunkan bibir tak berniat membalas kicauan yang senantiasa muncul mengitari harinya. Veranda masih sibuk berkutik dengan buku pelajaran untuk Try Out kedua hari ini, sampai-sampai di jalan menuju sekolah pun ia masih kekeuh membacanya.

Sick LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang