Bag. 23, Jangan Diam Saja!

966 55 0
                                    

Naomi Pov's

Pada saat itu aku berpikir, apa aku telah melakukan semuanya di luar batas? Aku terus saja diam. Aku bukannya bingung harus melakukan apa, tetapi hal ini tentu saja membuatku tak percaya. Ketika aku membuka pintu kamar dengan muka masamku, aku melihatnya. Senyum penuh kemurnian. Dia berjalan mendekatiku dengan beberapa robekan tertera di tubuhnya. Langsung saja mataku membulat dan kakiku terasa kaku untuk beranjak. Aku ingin mundur karena ia bertambah maju.

Never mind the darkness

Ucapnya dengan sangat pelan. Bukan. Ini bukan ucapan. Ini adalah lirik lagu itu. Aku ingat. Aku sangat mengingatnya. Hari dimana kami, sekeluarga berlibur di danau dekat desa. Dan hari terakhir aku bertemu dengan Ayah.

Never mind the storm

Tidak, aku tak bisa mendengarkannya lagi. Ini terlalu menyakitkan untuk menjadi baik. Maafkan aku, bu. Aku terlalu jahat untuk tidak mengakuimu pada saat ini. Setiap hari yang aku lakukan seperti tak berguna di matamu. Aku tidak takut tapi juga bukan tak peduli. Kali ini aku bingung harus memilih keduanya. Aku bahkan tidak tau definisi dari 'kasih sayang seorang ibu'. Mungkin aku sudah benar-benar gila pada saat itu. Aku.. aku--

Never mind the blood red moon

"Berhenti! Ja-Jangan.. jangan lanjutkan lagu itu lagi. Aku, aku mohon"

Tapi kurasa responku kurang bagus terhadapnya. Tubuhnya seolah memohon ampun kepadaku walau sekejap menundukan kepala dan kembali tersenyum manis padaku. Aku terjatuh pada saat ia mulai maju dan terus maju mendekatiku. Badannya dipenuhi oleh lebam-lebam. Aku.. harus bagaimana?

The night will be over soon

Lanjutnya lagi sembari terduduk menatapku serius. Mata kami beradu namun aku melihat bulir demi bulir mengalir di wajahnya ketika melihatku memberikannya ekspresi takut yang tak bisa diartikannya dalam kata-kata. Wajah ibu sudah hancur. Darah dimana-mana. Apa yang telah terjadi padanya? Atau aku yang bodoh tak tau harus melakukan apa? Dia. Dia gila kurasa. Mengapa dia menangis dan bernyanyi seperti itu?
"Apa yang terjadi, bu?"

The night will be over soon

Lagi-lagi ia tak mau menjawab. Ini semakin menakutkan. Aku tidak mau melihat rupanya lagi. Aku merasa sesuatu dalam hatiku bak tertusuk pedang rasanya sangat menyakitkan. Tapi aku yang lebih bodoh dari suasana itu tak bisa melakukan apa-apa.

"Naomi. Bisa lanjutkan lagu ibu?"
"Ha..apa?"
"Kau merindukan ayah, bukan? Ibu ingin menyusul"

Seketika itu juga aku tertekan. Aku paham semuanya. Aku mengerti dan aku harus menghentikan omong kosong wanita ini. Tuhan, inikah cobaan yang kesekian kalinya? Ataukah ini peringatan atas dasar semua perilaku diriku yang sudah salah arah. Ibu. Apa kau tau anakmu ini melanggar aturan? Tunggu, ini bukan waktunya mengucapkan selamat tinggal! Dia masih bisa punya waktu untuk bertahan.

"Kenapa? Berpikir untuk menghubungi bantuan? Lupakan, sayang. Turuti permintaan ibu"

Brush away the sorrow
Brush away the tears
Sing away your heavy-- heart

Aku harus berdiri. Aku harus menghubungi polisi atau apalah itu untuk menolong ibu. Ah, apa? Ibu tersenyum legit padaku sembari menyentuh kedua pipiku menggunakan tangannya. Bau amis yang sedikit terasa tercengang malah membuatku meneteskan air mata saat melihat keteguhan hatinya.

The night will be over soon

Aku melanjutkannya. Lagu buatan ibu dan ayah untukku. Aku melanjutkannya. Tapi, apakah aku masih pantas? Aku yang dulunya periang sekarang menjadi menyedihkan. Aku menjadi manusia tak punya hati. Dingin dan keras. Lagu itu untuk Naomi masa kecil. Sebelum menjadi orang yang berada di luar batas. Aku sama sekali tak punya pikiran lagi untuk melakukan pertolongan kepada ibu. Ia serasa menghipnotisku agar tidak beranjak sedikitpun darinya.

Sick LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang