1. Terlambat

251K 7.8K 180
                                    

Selamat membaca!

Jam yang menempel di dinding telah menunjukan waktu pukul 4 sore lewat 25 menit, Hanum baru saja menyelesaikan sholat Asharnya di sebuah Masjid berkubah emas yang berada tak jauh dari tempatnya bekerja sebagai seorang perawat di sebuah Rumah Sakit ternama di daerah Bogor, Jawa Barat.

    Perempuan berkerudung putih itu tengah sibuk merapikan mukena yang telah ia pinjam dari pihak Masjid sebelum dimasukan ke dalam susunan rak berbahan kayu yang menempel di dinding, sesekali Hanum juga mengalihkan arah matanya ke sebuah benda berbentuk pipih yang sempat ia letakan di atas sajadah tebalnya.

    Sebuah ponsel yang ia harapkan muncul deretan notifikasi jika pesan berisi permintaan untuk dijemput pulang yang ia kirimkan telah mendapatkan jawaban, tetapi hingga ia berada di teras masjid, Wildan—sang suami yang seharusnya telah menampakkan batang hidungnya itu tak kunjung memberi kabar.

    Sembari memejamkan kedua mata Hanum membuang napasnya pasrah, dengan lesu perempuan berusia 26 tahun itu merapikan kerudung dan pakaian kerjanya sebelum bangkit, menenteng sebuah tas berukuran sedang yang berisi beberapa barang penting yang ia butuhkan ketika bekerja.

    Mungkin hari ini akan sama seperti hari sebelumnya, dimana ia harus kembali ke rumah seorang diri tanpa pendamping dengan menaiki taksi yang ia temui di tepi jalan.

    Wildan akhir-akhir ini sangat sulit untuk dihubungi, untuk mengirim pesan saja, jangankan mendapat jawaban, sekadar dibaca saja rasanya tidak mungkin.

    Dari apa yang Hanum dengar dari ucapan suaminya itu, Wildan tengah mendapat pekerjaan yang cukup berat di luar kota, membuatnya sibuk seharian hingga pulang larut malam, bahkan tak jarang ia sampai tak pulang dan menginap di tempat kerjanya.

    Hanum berjalan dengan tatapan kososng, kedua kakinya berjalan dengan lamban meninggalkan area Masjid, "Pulang sendiri lagi?" pertanyaan itu kembali keluar dari mulut Jia—teman karib Hanum sejak masa perkuliahan yang masih berlanjut hingga sekarang, perempuan itu tiba-tiba saja sudah berjalan berdampingan dengannya.

    Hanum hanya memberi respon dengan mengembangkan senyuman tipis, entah sudah kali keberapa pertanyaan itu terlontar dari mulut Jia setiap temannya selesai bekerja.

    Kadang Hanum merasa iri begitu melihat teman-temannya yang lain dijemput pulang oleh sang suami, perempuan itu tahu jika iri adalah sifat yang tak seharusnya ia terapkan di hati, tapi apa boleh buat? Hanum hanya ingin merasakan bagaimana rasanya mendapatkan perhatian lebih dari suaminya.

    Rasanya hal itu sangat sulit dilakukan oleh Wildan, laki-lakinya itu lebih memilih berkutat dengan setumpuk perkejaannya dibanding mendampingi Hanum—istrinya sendiri.

    Sikap laki-laki itu sekarang sangat berbeda dibanding ketika mereka masih berada di masa-masa awal pernikahan, dulu hampir setiap saat Wildan mengeluarkan kata-kata manis hanya untuk menggoda Hanum, membuat kedua belah pipi istrinya memerah bagai tomat.

    Namun seiring berjalannya waktu perhatian demi perhatian itu mulai memudar, bahkan tak jarang Wildan yang biasanya selalu menyempatkan diri untuk menanyai kabar Hanum itu kini tak lagi terjadi.

    Hanum hanya bisa tersenyum pilu begitu otaknya memutar kembali kenangan-kenangan  indah yang mereka lalui bersama, apa bisa hal itu terjadi lagi? Jujur. Hanum sangat merindukan sosok suaminya yang dulu, suaminya yang selalu memperhatikan dirinya.

    "Mau ikut? Mas Alan tadi juga lagi ada di Masjid ikut salat, kebetulan tadi dia pulang cepet, mungkin sekarang lagi jalan ke tempat parkir buat ambil mobil." ajakan Jia menyadarkan Hanum dari alam lamunan.

   Hanum menggeleng pelan."Nggak perlu, kamu duluan aja."

    "Kamu yakin? Nanti ujung-ujuangnya naik taksi lagi kayak kemaren? Mending ikut aku aja, nanti kami yang anterin kamu sampai rumah." seperti peramal, Jia tahu apa yang sebenarnya akan terjadi, suami sahabatnya itu tentu tidak akan tiba.

    Hanum kembali menggeleng, tetapi kini gerakan kecil itu diiringi oleh senyuman tipis yang ia kembangkan di wajah eloknya. "Nggak papa, kok! Insha Allah dia udah di jalan, mungkin sebentar lagi datang, aku juga udah kirim pesan buat dijemput." jawab Hanum nampak meyakinkan, perempuan itu meletakkan kedua tangannya ke atas pundak Jia, mnegusapnya lembut dengan ibu jarinya.

    Tanpa aba-aba Jia menghambur ke pelukan Hanum, memeluk sahabatnya itu erat, "Kamu kalo ada apa-apa cerita sama aku, ya? Kamu udah aku anggap kayak saudara aku sendiri, Num." ucap Jia dengan mata berkaca-kaca sembari melepaskan pelukan mereka.

    Hanum hanya menganggukan kepalanya pelan, disaat yang bersamaan sebuah mobil MPV berwarna merah berhenti di sebelah mereka, begitu kaca mobil mulai bergerak menurun baru wajah seorang laki-laki terlihat jelas.

    Laki-laki itu adalah Alan, sahabat Wildan yang sekarang juga menyandang gelar sebagai Dokter spesialis jantung di sebuah Rumah Sakit yang tak jauh dari tempat ia dan Jia berkerja.

    "Ya udah, aku duluan, ya?" Jia berjalan meninggalkan Hanum, namum sebelum itu ia kembali memeluk sang sahabat, meyalurkan kasih sayangnya walau hanya sesaat, "Assalamualaikum." ucap Jia pilu sembari memutar tubuhnya ke belakang, berjalan ke arah sang suami yang telah menunggunya di balik kemudi.

    "Waalaikumsalam."  jawab Hanum melebarkan senyumannya.

•••

    Sudah hampir satu jam waktu berlalu, tapi belum ada tanda-tanda jika Wildan akan datang dan menjemputnya pulang, panggilan yang ia kirimkan pada sang suami pun selalu berujung tak terjawab.

    Hanum mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru arah, langit sudah mulai gelap,  mungkin tak lama lagi adzan Maghrib akan berkumandang, ia harus pulang secepatnya.

    Dengan ragu Hanum merangkaikan kata demi kata pada Wildan melalui pesan, perempuan itu takut jika suaminya akan tiba ketika ia telah pergi lebih dulu.

   To: Mas Wildan

"Mas? Aku pulang duluan aja, ya? Ini udah mau maghrib, aku takut waktu sampai rumah udah keburu Isya, kamu jangan lupa salat dan makan, istirahat juga, aku tunggu di rumah, ya?"

    Setelah memastikan pesan terkirim Hanum berdiri di tepi jalan, memberhentikan sebuah taksi berwarna biru yang baru saja menurunkan penumpang, perempuan itu masuk ke dalam dan duduk di kursi belakang sebelum menyebutkan alamat rumahnya.

    Perlahan tapi pasti taksi melaju dengan kecepatan sedang, membelah kota Bogor yang sudah mulai ramai oleh pengemudi.

    Ini adalah hari yang cukup melelahkan bagi Hanum, seluruh tubuhnya terasa kaku, mungkin malam ini ia akan tidur lebih cepat dari biasanya.

    Tentu ia akan baru tidur ketika Wildan telah pulang, jika tidak, mungkin ia akan begadang lagi dan menunggu sang suami di ruang tamu, menonton acara TV yang sebenarnya tak terlalu menarik untuk disaksikan.

~bersambung~

Terima kasih sudah membaca!

Sampai jumpa di bagian berikutnya! Jangan lupa tinggalkan jejak berupa vote atau comment agar aku kian semangat untuk update!

Instagram : @/gadistampan.story

Madu (terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang